Judul
buku: Rahasia Kenikmatan Beribadah
Penulis: Badiuzzaman Said Nursi Penerjemah: Fauzi Bahreisy Penerbit : Zaman, Jakarta Cetakan: I, 2011 Tebal : 129 halaman Peresensi: Muhammad Itsbatun Najih*) |
Di
tengah kehidupan materialistik seperti sekarang ini, urusan ukhrawi dipandang
menjemukan. Apalagi bila agama dirasa tidak memberi efek langsung pada
pengikutnya. Berbeda misal ketika bekerja; pagi berangkat ke kantor, pabrik,
pasar dsb, pastilah setidak-tidaknya akan memperoleh hasil (baik sedikit atau banyak).
Tapi, hal yang sama tidak dijumpai ketika misal dalam ritual peribadatan.
Shalat; sebagai tiang agama dan janji dalam nash firman Tuhan bahwa siapa saja
yang menunaikannya akan menjadi tameng melakukan perbuatan keji dan munkar.
Tapi toh, sekali lagi, justru ada kesan bahwa menunaikan shalat atau tidak
menjalankannya, hasilnya sama saja.
Shalat
dianggap sebagai penggugur kewajiban agama semata, tidak ada penghayatan
atasnya. Maka, wajar saja jika shalat tidak membuahkan perilaku yang santun dan
bermoral. Tetapi, akan semakin meneguhkan anggapan bahwa jika ritual ibadah
jika dijalankan ‘asal-asalan’, maka akan menghasilkan pribadi yang ‘sama saja’.
Taka ada bekas atau labet (Jawa) yang dihasilkan setelah
beribadah.
Hal
itu setidaknya tercermin pada maraknya kasus korupsi di negeri ini. Hari demi
hari, tak henti-hentinya berita kasus korupsi baru bermunculan. Mulai dari
kelas elite sampai kaum alit. Toh, pelakunya adalah orang yang mengaku
beragama. Artinya, ritual ibadah seperti shalat tentu menjadi rutinitas
kesehariannya. Namun, sekali lagi ternyata dalam kasus tersebut, shalat
terkesan tidak ada efek baiknya, justru terkesan sebaliknya.
Selain
itu, shalat yang secara terus-menerus dikerjakan dari usia balig sampai akhir
hayat, kadang-kadang timbul dari sanubari manusia akan rasa kebosanan untuk
menjalaninya. Rasa bosan itu selalu timbul ketika waktu shalat tiba. Atau
setidak-tidaknya timbul rasa malas yang membuncah dalam diri manusia. Apalagi,
waktu antara shalat satu dengan yang lain cukup berdekatan. Bayangkan
saja, dalam sehari ada lima waktu shalat. Dimulai subuh; di mana
kebanyakan manusia sedang asyik-asyiknya menikmati waktu tidur. Zuhur; di mana
pekerjaan masih banyak dan menumpuk sehingga shalat terus ditunda-tunda
pelaksanaannya. Demikian juga ashar. Sedangkan maghrib dan isya’ merupakan
waktunya bercengkrama dengan keluarga dan melepas lelah.
Narasi
di atas rasanya benar demikian jika alur berpikir seperti itu telah dicampuri
oleh kepentingan nafsu. Namun, justru di waktu-waktu itulah, Allah SWT
sebenarnya menyimpan hikmah yang besar bagi yang mau merenung. Allah tidak akan
memperberat mahluk-Nya dengan kewajiban shalat yang waktunya berdekatan
dan dianggap sebagian manusia telah menghambat aktivitas keduniaan. Persoalan
itu rupanya telah dijawab secara apik oleh penulis buku ini, Badiuzzaman Said
Nursi perihal hikmah waktu shalat. Waktu isya’, misalnya, diibaratkan sebagai
manifestasi akhir perjalanan manusia di dunia yang singkat sebagai representasi
dari seharian bekerja yang juga dirasa terlalu cepat berlalu. Jadi, pesan yang
ingin disampaikan tak lain adalah manusia tak akan abadi untuk terus disibukkan
dengan bekerja, bergaul dengan handai tolan ataupun soal beristirahat. Namun,
shalat yang ‘hanya’ meluangkan waktu tak lebih beberapa menit saja justru
menjadi bekal untuk mengarungi keabadian manusia di akhirat kelak.
Badiuzzaman
juga menyodorkan rahasia agar shalat tak dirasa membosankan karena
terus-menerus diulang setiap hari; yakni, pertama, usia manusia tak ada yang tahu
kapan habisnya. Ajal tiba adalah perkara gaib dan hanya Allah saja yang
mengetahuinya. Boleh jadi tahun depan, bulan depan atau esok hari, usia ini
akan berakhir. Jadi, berpikirlah jika shalat yang akan dilaksanakan merupakan
shalat untuk terakhir kalinya. Kedua, setiap hari manusia selalu
membutuhkan asupan makanan. Pagi dengan sarapan roti, kemudian siang dengan
menyantap nasi dan lauk pauknya, malam pun masih meluangkan waktu untuk
kebutuhan perut. Artinya, secara tidak sadar maupun sadar, makan dan minum merupakan
pekerjaan yang sama namun diulang-ulang terus-menerus tanpa rasa bosan. Nah,
agar shalat tidak dirasa demikian, maka shalat harus dijadikan sebagai
kebutuhan ruhani atau jiwa yang harus dipenuhi pula setiap hari layaknya makan
sebagai kebutuhan perut.
Ketiga, dengan kesabaran.
Sekali lagi, umur manusia tidaklah terlalu panjang. Namun, balasan Allah berupa
kenikmatan di akhirat tidak mengenal batas waktu. Artinya, shalat yang hanya
dilakukan beberapa tahun rasanya tidak sebanding jika diganjar dengan surga
yang abadi. Namun, itulah kemurahan Allah. Keempat, soal janji Allah yang sifatnya
pasti. Jika seorang akan memberikan upah tinggi kepada kita untuk bekerja
selama seminggu saja, maka praktis pekerjaan itu akan dilaksanakan secara
sunguh-sungguh dan maksimal walau kemungkinan dia akan memungkirinya sangat
besar. Tapi jika yang berjanji adalah Allah, maka jaminan diganjar dengan surga
tak perlu lagi diragukan. Maka, analoginya mendirikan shalat haruslah dengan
giat dan bersungguh-sungguh pula. Kelima, pada hakikatnya manusia
diciptakan untuk beribadah. Jadi tidak pas rasanya jika seluruh waktu hidup
manusia digunakan untuk bekerja dan bekerja. Tentunya ada ruang tersendiri
untuk meluangkan waktu menyiapkan bekal (shalat) pada kehidupan akhirat kelak.
Rasanya
jika lima resep di atas bisa diresapi dan dihayati, maka shalat tidak akan
menjadi bosan dan menjemukan. Justru akan memunculkan gairah dan semangat yang
menggebu-gebu untuk menunaikannya. Shalat tidak sekadar ibadah vertikal, namun
menyimpan relasi horizontal. Maka, jika shalatnya berangkat atas dasar
keikhlasan serta kepasrahan total tanpa paksaan pastinya akan berimbas pada
tumbuhnya perilaku yang santun dan bermartabat. Itulah intisari dari buku yang
bisa dibilang tipis ini, namun kaya akan pencerahan.[*]
*) Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar