Judul
Buku: Sadur; Sejarah Terjemahan
di
Indonesia dan Malaysia
Penyunting: Henri Chambert-Loir Penerbit: KPG, Jakarta Cetakan: Pertama, 2009 Tebal: 1.160 halaman
Peresensi:
Bandung Mawardi*)
|
Negeri ini kerap
alpa sejarah atau terlambat menyadari karena malas atau mungkin
ketidaksanggupan untuk menulis sejarah sendiri. Pandangan ironis itu tampak
pada penerbitan buku setebal bantal ini dengan sajian karangan-karangan dari
para sarjana ampuh. Mayoritas 65 karangan dalam buku itu ditulis sarjana asing
dengan kompetensi dan keseriusan mereka untuk membaca dan menilai Indonesia
secara historis. Buku tersebut mungkin melegakan kehausan sejarah bagi pembaca,
tapi juga memberi tanda seru atas kemiskinan intelektual negeri besar ini
dengan ratusan juta penduduknya.
Buku ini merangkum
sekian pandangan tentang terjemahan dari bahasa asing ke bahasa lokal di
Nusantara mulai abad ke-9 sampai abad ke-20. Pujian pantas diberikan untuk buku
ini karena telah mendokumentasikan jejak-jejak sejarah Nusantara lewat
publikasi terjemahan. Konsentrasi atas proyek terjemahan memang sejak lama
terabaikan dalam naluri sejarah negeri ini. Pengabaian itu hendak ditebus
dengan pemberian informasi, penjelasan, bukti, dan argumentasi mengenai
pernik-pernik terjemahan dalam berbagai tendensi.
Pengetahuan negeri
seperti terjelaskan dalam mozaik karangan mengenai terjemahan dari
bahasa-bahasa asing ke dalam bahasa Jawa, Melayu, Batak, Sunda, Bali, Sasak,
Aceh, Bugis, dan Makassar. Pembaca bakal merasakan petualangan sejarah
mengasyikkan karena mampir ke ruang-ruang kultural yang membentang di
Nusantara. Kepakaran para penulis memang mengagumkan dipahami dari ketekunan
mereka melacak dan menguraikan sekian data agar bisa ditafsirkan pada masa
sekarang secara relevan dan produktif. Para pakar itu, antara lain, A.H. Johns,
Vladimir Braginsky, Leo Suryadinata, Doris Jademski, Uli Kozok, Imran T.
Abdullah, Ajip Rosidi, Claude Guillot, James Siegel, Roger Tol, Benedict
Anderson, Johan Meuleman, Jennifer Lindsay, Henri Chambert-Loir, Mikhiro
Moriyama, Keith Foulcher, Edi Sedyawati, Melani Budianta, Michael H. Bodden,
dan Vincent J.H. Houben.
***
Nama-nama tersebut
memiliki sugesti atas sekian fokus terjemahan dalam perspektif linguistik,
sastra, politik, sosial, ekonomi, agama, dan kultural. Setiap pakar memiliki
kekhasan untuk menjelaskan sejarah terjemahan dengan kerangka kerja ilmiah dan
penuh data. Houben dalam karangan Menerjemahkan Jawa ke Eropa: Kiprah Keluarga
Winter mengajukan konklusi bahwa para penerjemah bahasa Jawa memainkan peran
sangat penting dalam menjembatani budaya kolonial Belanda awal abad ke-19
dengan budaya Jawa selama berlangsungnya transisi jangka panjang dari sebuah
negara kerajaan menjadi negara yang berkebudayaan canggih. Keluarga Winter
merupakan contoh model peran penerjemah dalam bayang-bayang kolonial dan hasrat
membumikan modernitas di Jawa.
Peran penerjemah
juga tampak dalam keluarga Hadji Muhammad Moesa dalam sastra Sunda. Mereka ikut
menerjemahkan sastra Eropa ke bahasa Sunda: Robinson Crusoe, Dongeng-Dongeng
Pieteungeun, Tristan and Isolde, dan lain-lain. Moriyama dalam Penerjemahan
Cerita Eropa di Sunda menjelaskan bahwa proyek itu dipengaruhi revolusi mesin
cetak pada abad ke-19. Faktor menentukan adalah ”banyak orang Sunda merasa
perlu menemukan cara pandang baru yang dapat memberikan arti pada dunia modern
di sekeliling mereka”. Proyek penerjemahan membuat masyarakat Sunda dihadapkan
pada imajinasi dan fakta perubahan zaman. Hal itu memicu keinginan orang untuk
menjadi modern dengan ketegangan tarikan terhadap dunia tradisional dan godaan
modernitas melalui praktik budaya kolonial.
Lakon-lakon
penerjemahan pada masa lalu itu selalu meninggalkan jejak atau bekas mendalam
yang memberi orientasi untuk proyek-proyek lanjutan. Peran penerjemah penting dan
digenapi dengan peran Balai Pustaka, media massa cetak, serta institusi
pendidikan dan kebudayan pada abad ke-20. Sastra masih mendapatkan perhatian
besar karena secara efektif dan efisien bisa memberikan pengaruh pada kaum
elite di Hindia Belanda. Pengaruh itu berbeda dengan proyek penerjemahan kitab
suci dalam bahasa-bahasa lokal. Perbedaan pengaruh juga ditentukan dari
mekanisme produksi dan distribusi buku. Penerjemahan dalam perkara itu memang
menjadi juru bicara untuk mempertemukan perbedaan dengan kunci bahasa.
***
Uraian memukau
tampak dalam karangan Keith Foulcher berjudul Menjadi Penulis Modern:
Penerjemahan dan Angkatan 45 di Jakarta Masa Revolusi. Judul tersebut sudah
menyarankan hubungan-hubungan intim antara elemen sastra, politik, dan kondisi
dunia modern. Penerjemahan sastra Eropa kentara memberi pengaruh signifikan
dalam membentuk konvensi estetik modernisme di Indonesia. Efek dari proyek
penerjemahan oleh pengarang-pengarang ampuh pada masa revolusi adalah
pemunculan kisah kelahiran kebudayaan Indonesia modern. Penerjemahan telah jadi
perantara yang genit tapi menentukan.
Kondisi itu berbeda
dengan keajaiban mutakhir mengenai kelimpahan penerbitan buku-buku terjemahan
ke dalam bahasa Indonesia. Chambert-Loir mengungkapkan bahwa akhir-akhir ini
telah terjadi banjir buku terjemahan dari bahasa Inggris, Jepang, Arab, dan
Prancis yang mungkin melebihi angka produksi buku bukan terjemahan. Kondisi
tersebut mengagetkan jika ditilik dari jenis buku terjemahan dan pola konsumsi
baca dari publik. Chamber-Loi mencatat terjemahan novel Harry Potter,
novel-novel John Grisham, buku-buku Chicken Soup for the Soul dalam angka
penjualan kerap lebih laris ketimbang novel Laskar Pelangi, Ayat-Ayat Cinta,
atau Saman.
Dilihat dari kisah
masa silam dan masa sekarang, sudah terasa ada keganjilan dan kontras.
Penerjemahan memang terus menjadi proyek tak selesai untuk menandai konstruksi
peradaban Nusantara dalam persilangan pengaruh peradaban-peradaban besar.
Kepakaran dalam penerjemahan adalah bukti kesadaran atas laju perubahan tanpa
harus konsumtif untuk menerjemahkan buku-buku dari bahasa asing ke bahasa
Indonesia. Ikhtiar untuk mewartakan buku-buku garapan anak negeri agar
diterjemahkan ke bahasa asing juga pantas jadi agenda penting. Buku setebal
bantal ini telah mengajarkan tentang ingatan sejarah dan etos dalam menekuni
proyek penerjemahan sebagai salah satu fondasi peradaban. Begitu. [*]
*) Peneliti Kabut
Institut Solo dan pemimpin redaksi Jurnal Tempe Bosok
Sumber:
JawaPos, 27
Desember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar