Judul:
Sekularisasi; Membongkar Kerancuan
Pemikiran Nurcholish Madjid
Penulis: Prof Dr H Faisal Ismail, MA Penerbit: Nawesea Press, Yogyakarta Cetakan I: Desember, 2008 Tebal: 252 halaman Peresensi: Lukman Santoso Az*) |
Di
Indonesia, gerakan pembaruan Islam telah tumbuh sebelum kemerdekaan, terutama
pada era 1920-an. Gerakan ini ditandai dengan upaya pemurnian kembali ajaran
Islam pada sumber utama, yakni Al Quran dan Hadits. Tokoh-tokoh gerakan ini,
antara lain KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta, Haji Rasul di Minangkabau, dan A.
Hassan di Bandung.
Selain
mengusung tema purifikasi ajaran Islam, gerakan ini juga mewacanakan penggunaan
ijtihad dalam pemaknaan teks-teks keagamaan. Mata rantai kesinambungan gerakan
pembaharuan Islam itu kemudian terus berlanjut hingga era 1970-an. Pada era
ini, salah satu pelopor tokoh pembaharu, Nurcholish Madjid, mengangkat ide
sekularisasi. Ia pertama kali mempublikasikan ide pembaruannya itu di majalah Arena
dan kemudian mempertegasnya kembali dalam ceramahnya di Taman Ismail
Marzuki, Jakarta.
Sejak
itu, ide pembaruan Cak Nur—panggilan akrab Nurcholish Madjid—semakin populer di
ranah Islam Nusantara. Ide pokok yang Cak Nur klaim sebagai sekularisasi itu
berangkat dari pola pemikiran dan visi pemahamannya bahwa, "Islam
sebenarnya dimulai dengan proses sekularisasi dan ajaran tauhid merupakan
pangkal tolak sekularisasi secara besar-besaran". Cak Nur kemudian
memperluas, mengembangkan dan mengelaborasi ide pembaruannya sekaligus
menjustifikasinya dengan cara pandang dan pemahamannya sendiri terhadap
ajaran-ajaran Islam.
Dari
situ kemudian lahirlah gagasan turunannya yang Cak Nur klaim sebagai ide
‘rasionalisasi’ dan ‘desakralisasi’ yang tidak terpisahkan dari ide
sekularisasinya. Ide sekularisasi inilah kemudian yang membuat banyak kalangan
muslim merasa shock, kaget, terkejut, dan terombang ambing, sekaligus
menimbulkan kontroversi.
Buku
ini merupakan respons sekaligus catatan kritis-konstruktif Ismail Saleh
terhadap ide sekularisasi Cak Nur tersebut. Sebelum Ismail Saleh, sebenarnya
sudah banyak kritik yang dilontarkan para pemikir Islam Indonesia terhadap
kerancuan gagasan sekularisasi Cak Nur ini, baik melalui buku atau lewat
berbagai karya ilmiah lain. Prof H M. Rasjidi (1972) salah satunya, dalam buku "Koreksi
terhadap Drs Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi". Rasjidi
mengeritik keras cara-cara Cak Nur dalam menggunakan istilah yang dapat
menimbulkan pengertian yang menyesatkan di kalangan muslim.
Dengan
mengampanyekan "sekularisasi", menurut Rasjidi, Cak Nur telah melukiskan
seolah-olah Islam memerintahkan sekularisasi dalam arti Tauhid. Padahal,
istilah sekularisasi merupakan istilah yang ‘mapan’ dan tidak bisa begitu saja
digunakan secara serampangan. Apalagi, istilah yang muncul dalam latar belakang
tradisi Kristen-Barat itu kemudian dicangkokkan begitu saja ke dalam khazanah
tradisi Islam.
Cangkok
mencangkok satu istilah–tanpa melalui proses adopsi dan adapsi yang tepat–akan
menimbulkan dampak yang fatal. Karena masing-masing peradaban memiliki
konsep-konsep khas yang disimbolkan dalam istilah-istilah yang khas pula.
Misal, istilah ‘syahadat’, ‘taqwa’, ‘sholeh’, ‘salaf’, ‘tajdid’, dan
sebagainya, merupakan istilah yang khas dalam khazanah peradaban Islam.
Selain
Rasjidi, Ahmad Wahib (1981), juga melontarkan kritikan tentang kerancuan
gagasan sekularisasi Cak Nur yang simplistik itu. Dalam buku "Catatan
Harian Ahmad Wahib", ia menuturkan, "Adalah kurang terus terang
bila Nurcholish mengartikan sekuler semata-mata dengan dunia atau masa kini dan
sekedar mengatakan bahwa semua yang ada kini dan di sini adalah hal-hal
sekuler: nilai sekular, masyarakat sekular, orang sekular dan lain-lain."
Dari berbagai kritik ini, lantas apa sebenarnya yang membedakan gagasan yang
ditulis Ismail Saleh ini dengan buku-buku sebelumnya?
Melalui
buku ini, Ismail Saleh dengan latar belakang keilmuan yang mapan dan juga
pernah menjadi salah satu mahasiswa Cak Nur di McGill University ketika
menyelesaikan studi doktor, berupaya membongkar secara lebih gamblang
kerancuan-kerancuan pemikiran Cak Nur. Kritik yang ditulis Ismail dalam buku
ini tidak sebatas pada kerancuan ide sekularisasinya Cak Nur yang telah
dikritik para pemikir Islam, tetapi juga mencakup akan kesalahan pemaknaan
semantik, latar belakang kerancuan ide sekularisasinya, serta poin-poin penting
yang mengiringi ide sekularisasi itu. Khususnya gagasan Cak Nur tentang
peniadaan Tuhan dalam kalimat syahadat (pertama) yang bersifat terbatas (tidak
mutlak), tentang tauhid yang merupakan pangkal tolak sekularisasi secara
besar-besaran, tentang pembagian sekularisasi menjadi dua macam (sekularisasi
yang dilarang dan sekularisasi yang diperintahkan) serta tentang ilmu
pengetahuan bersifat otonom (terpisah dari masalah-masalah keagamaan).
Cak
Nur yang mengatakan bahwa peniadaan tuhan dalam kalimat syahadat itu bersifat
terbatas (tidak mutlak) tidak sejalan dengan ajaran Islam yang memberlakukan
makna, esensi dan tujuan syahadat itu secara mutlak (tidak terbatas). Jika
sifat dan nilai terbatas ini diterapkan kepada peniadaan tuhan dalam kalimat
syahadat, maka esensi makna dan jangkauan tujuan syahadat itu bersifat terbatas
karena dibatasi ruang dan waktu serta terkait dengan kondisi-kondisi tertentu.
Yaitu sebatas untuk membebaskan animis dari kepercayaan lamanya. Padahal,
sejatinya, menurut Ismail, tidak ada Tuhan yang sah dan wajib disembah oleh
orang Islam selain Allah. Seorang muslim, mutlak mempertuhankan Allah, karena
peniadaan tuhan dalam kalimat syahadat yang dilafalkan itu bersifat mutlak,
tidak terbatas. Karena itu, kalimat syahadat hendaknya dipahami tidak saja dari
pengertian linguistik tetapi juga dari segi pemaknaan teologis.
Inkoherensi
dan konfusi berpikir Cak Nur menurut Ismail juga tercermin dalam pernyataannya,
"maka dengan tauhid itu, bagi seorang animis, terjadi proses sekularisasi
secara besar-besaran." Dari argumentasi ini, Cak Nur tampak masih
memandang animis yang beralih ke kepercayaan tauhid itu tetap sebagai animis,
sehingga pemahamannya terlihat rancu. Maka, dari sinilah asal muasal, letak dan
sumber kerancuan pemikiran Cak Nur semakin menyebabkan terjadinya tumpang
tindih baik secara terminologi maupun segi substansi pemikirannya. Meski
terkait hal ini, banyak kalangan menilai bahwa akar kontroversi tersebut
sebenarnya hanya berkisar pada masalah semantik (arti sekularisasi itu
sendiri).
Akhirnya,
buku ini menjadi sangat penting untuk dibaca. Bukan sekadar menambah wawasan
keilmuan seputar gerakan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia, tetapi juga
menjadi referensi penting untuk mengetahui sejauhmana sebenarnya kerancuan dari
konsep ‘sekularisasi’ Cak Nur hadir di tengah-tengah arus pembaruan pemikiran
Islam Indonesia. Terlepas dalam pemahaman Cak Nur bahwa sekularisasi memperoleh
maknanya dalam desakralisasi segala sesuatu selain hal-hal yang benar-benar
bersifat ilahiyah (transendental), hanya belantara pemikiranlah yang
akan bicara, apakah Cak Nur dengan segala ‘sekularisasinya’ akan dipuja atau
justru terkubur bersama lembaran masa lalu? [*]
*) Penikmat Buku dan aktivis Lakpesdam NU DI Yogyakarta
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar