Judul: Sejarah Mazhab Frankrfurt:
Imajenasi
Dialektis dalam perkembangan Teori Kritis
Penulis: Martin Jay Penerbit: Kreasi Wacana, Yogyakarta Cetakan: Agustus, 2005 Tebal: xlix + 544 Halaman (Termasuk Indeks) |
Kekuatan Nazisme di Jerman, dan kemudian timbulnya perang ideologi
antara Barat dan Timur (Kapitalisme dan Sosialisme), berdampak buruk bagi
kalangan cendikiawan yang konsen dalam kajian sosia khususnya. Cendikiawan,
dengan pemikiran kirinya harus menerima keterasingan, bahkan diasingkan jauh
dari negaranya.
Kenyataan pahit ini diterima oleh cendikiawan pada kelompok kajian
yang tergabung dalam Institut Fįr Sozialforschung (Institut Penelitian
Sosial), di Frankfurt. Namun ditengah pengasingan, para cendikiawan Institut
itu tetap melakukan proses penelitiannya hingga mereka bersatu kembali pada
1950, setelah beberapa tahun pindah ke Amerika.
Mereka gelisah, mereka cemas dan oleh karena itu merasa harus
bertindak dengan cara mereka sendiri demi mempertanggungjawabkan karunia
kecerdasan dan hati nurani yang mereka miliki. Hingga akhirnya karya-karya
mereka, baik yang berbentuk buku maupun makalah, menjadi kajian penting bagi
cendikia diluar mereka. Latar belakang inilah yang menyatukan mereka ke dalam
sebuah visi dan misi sekaligus aksi yang kemudian mengkristal menjadi sebuah
mazhab, yakni Mazhab Frankfurt.
Satu alasan utama bagi relevansi Mazhab Frankfurt adalah sangat
kaya dan bervariasinya karya yang dibuat bedasarkan pengaruh tokohnya, semisal
Max Horkheimer, Eric Fromm, Theodor W Adorno dan lainnya yang sangat terkenal
akan kebrilianan pemikirannya.
Termasuk generasi penerus pemikiran mereka, semisal Jurgen
Habermas, Alfred Schmitt, dan Albrecht Wellmer. Bahkan, seperti dikutip
penulis, Foucaolt sendiri pernah mengatakan; "Jika saja aku mengenal
Mazhab Frankfurt sewaktu muda, besar kemungkinan aku tidak akan tergoda untuk
melakukan apapun dalam hidupku kecuali mengomentari mereka. Namun, pengaruh
mereka terhadapku tetap retrospektif, pengaruh mereka padaku kurasakan ketika
aku tidak lagi di usia "penemuan-penemuan" intelektual."
(hlm.xxv)
Sejarah Mazhab Frankfurt yang ditulis oleh Martin Jay ini mencoba
memotret dinamika yang terjadi dalam Mazhab Frankfurt, proses yang harus
dilewatinya dalam melahirkan karya-karya brilian yang hingga saat ini masih
diperhitungkan dikencah kajian ilmu-ilmu sosial, sampai perbentukan pemikiran
dan kepentingan dengan pihak kawan maupun lawan.
Ketika Mazhab Frankfurt hadir, kapitalisme Barat dengan Jerman
sebagai salah satu wakil yang terkemuka telah memasuki tahap yang secara
kualitatif baru, sedangkan keberhasilan sosialisme Uni Soviet terkesan ambigu.
Disinilah, menurut Martin Jay, Teori Kritis semakin dipaksa menempati posisi
transendan seiring dengan semakin pudarnya kelas pekerja revolusioner.
Teori Kritis, sebagaimana namanya, diekspresikan melalui
serangkaian kritik terhadap pemikiran dan tradisi-tradisi filasafat lain.
Perkembangannya kemudian berlangsung melalui dialog. Kelahirannya berkarakter
dialektis sebagaimana metode yang ingin diterapkan kepada fenomena sosial. Maka
tak heran bila inti dari Teori Kritis, menurut Martin Jay adalah kebencian
terhadap sistem filosofis yang tertutup. (hlm.57)
Teori Kritis tidak melihat dirinya hanya sebagai ekspresi
kesadaran sebagai satu kelas, melainkan menyatukan dirinya dengan kekuatan
'progresif' yang berkeinginan untuk 'menyatakan kebenaran'. Ketika lahirnya
Teori kritis, filsafat dialektika yang diterapkan Hegelian dan Marxisme tak
lain hanyalah merupakan imajinasi dealiktis belaka. Oleh sebab itu, Teori Kritis
menolak memberhalakan pengetahuan sebagai sesuatu yang terpisah dan lebih
penting dari pada tindakan.
Selain melahirkan Teori Kritis, sesungguhnya masih banyak hal lain
yang diupayakan Mazhab Frankfurt. Di antaranya adalah pengawinan Marxisme
dengan psikoanalisis, studi tentang otoritarianisme dan kritik budaya massa,
yang kajiannya dilakukan dalam rentang waktu 1925 sampai 1950, sebagaimana
terekan dalam buku ini.
Dengan membaca Sejarah Mazhab Frankfurt, bisa jadi buah yang akan
diperoleh adalah tentang betapa berharganya integritas dan loyalitas pada
kebenaran bagi seorang cendikiawan. Tak kurang dari itu, akan disadari pula
betapa pentingnya tradisi pemikiran yang telah menggembeleng seseorang hingga
menjadi cendikia-cendikia.[*]
*) Abd. Rahman Mawazi, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar