Judul:
Sejuta Hati Untuk Gus Dur, Sebuah Novel dan Memorial
Penulis: Damien Dematra Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama Cetakan: I, Januari 2010 Tebal: 384 halaman Harga: Rp. 45. 000 Peresensi: Mashudi Umar*) |
Pada
saat pemakaman almarhum Gus Dur, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono
(31/12/2009) mengatakan bahwa, Gus Dur sebagai tokoh beragama Islam telah
memberikan inspirasi besar bagi bangsa Indonesia. Pemikiran Gus Dur mengenai
keadilan keadamaian dan toleransi sangat dihormati oleh bangsa Indonesia,
bahkan seluruh dunia. Gus Dur telah mengajarkan kemajemukan. Gus Dur menurut
SBY, adalah Bapak Pluralisme dan Multikulturalisme Gus Dur menyadarkan
sekaligus melembagakan penghormatan kepada kemajemukan ide dan identitas yang
bersumber dari perbedaan agama, kepercayaan, etnik, dan kedaerahan.
Kepergian
Gus Dur yang begitu cepat sungguh mengejutkan bukan hanya masyarakat Indonesia,
tapi juga dunia internasional. Doa senantiasa menggema di jagat republik ini,
termasuk dalam pesta malam Tahun Baru 2010 yang lalu dan klimaksnya saat
tahlilan ketujuh hari baik di Tebuireng Jombang Jawa Timur dan Ciganjur Jakarta
Selatan, belum lagi 40 harinya. Lautan manusia Muslim dan non-Muslim bersatu
berkumpul untuk mendoakan guru bangsa, pembela minoritas dan waliyullah menurut
masyarakat NU.
Banyak
julukan diberikan kepada Gus Dur, tetapi mayoritas orang menyebutnya adalah
guru bangsa. Karena ia mengabdikan dirinya demi bangsa. Bangsa yang tetap
menjiwai dan dijiwai keanekaragaman. Itulah integritas yang dipertahankan dengan
seutuhnya dalam seluruh kehidupannya. Itu terwujud dalam pikiran dan
tindakannya hampir dalam semua dimensi eksistensinya.
Dalam
komitmennya yang penuh terhadap Indonesia yang plural, Gus Dur muncul sebagai
tokoh yang sarat kontroversi. Dia lahir dan besar di tengah suasana keislaman
tradisional yang mewataki NU, tetapi di kepalanya berkobar pikiran modern.
Bahkan dia dituduh terlalu liberal dalam pikiran tentang keagamaan.
Karier
yang dianggap paling kontroversi -dalam kapasitasnya sebagai seorang tokoh
agama sekaligus ketua umum PBNU- dan mengundang cibiran adalah ketika menjadi
ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahunn 1983. Ia juga menjadi ketua juri
dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986 dan 1987.
Pada
tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa
al-’aqdi yang diketuai KH As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan
Ketua Umum PBNU pada Muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali
dikukuhkan pada Muktamar ke-28 di Pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan
muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan Ketua Umum PBNU kemudian
dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI ke-4 dalam sebuah drama demokrasi
tahun 1999 yang dipilih langsung oleh anggota DPR/MPR RI.
Meskipun
sudah menjadi presiden, ke-nyleneh-an Gus Dur tidak hilang, bahkan
semakin diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat. Dahulu, mungkin hanya
masyarakat tertentu, khususnya kalangan nahdliyin yang merasakan kontroversi
gagasannya. Sekarang seluruh bangsa Indonesia ikut memikirkan kontroversi gagasan
yang dilontarkan oleh Gus Dur, ”gitu aja koq repot.”
Di
sisi yang lain, catatan perjalanan karier Gus Dur adalah membentuk dan menjadi
ketua Forum Demokrasi (Fordem) untuk masa bakti 1991-1999, dengan sejumlah
anggota yang terdiri dari berbagai kalangan, khususnya kalangan nasionalis dan
non-Muslim. Sebagai tokoh agama (NU), Gus Dur justru menolak masuk dalam
organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang dibentuk atas
kehendak Presiden Sueharto. Tidak hanya menolak, Gus Dur bahkan menuduh
organisai kaum ‘elit Islam’ tersebut dengan organisasi sektarian.
Gus
Dur juga memperlakukan kelompok-kelompok minoritas, terutama mereka yang
tertindas, sebagai warga negara yang mempunyai hak sama di depan hukum. Tatkala
menjadi Presiden ke-4 RI, Gus Dur juga memulihkan hak politik etnis Tionghoa.
Gus Dur selalu menegaskan bahwa kelompok minoritas mempunyai hak sipil-politik
ataupun hak ekonomi, sosial, dan budaya yang sama dengan hak-hak kelompok
”pribumi”. Eksistensi mereka dilindungi oleh konstitusi. Dalam hal ini,
pemikiran tentang pluralisme sejalan dengan spirit demokrasi, bahkan makin
memperkukuh. Keduanya tidak bertentangan, bahkan saling menguatkan dan
melengkapi.
Gus
Dur ingin membangun Indonesia baru yang damai tanpa prasangka dan bebas dari kebencian.
Untuk itu, masa lalu yang kejam, kelam, serta tidak toleran harus diputus.
Partisipasi masyarakat mesti dibangun, yang lemah tidak ditinggalkan. Dengan
kesetiakawanan yang luas dan menyeluruh itu kita baru bisa membangun Indonesia
yang kuat. Untuk itu Gus Dur tidak keberatan untuk meminta maaf kepada korban
1965 yang diserang oleh Banser NU. Meskipun Gus Dur mengatakan bahwa ia juga
memiliki kerabat yang terbunuh dalam peristiwa Madiun 1948. Namun, balas dendam
itu tidak ada gunanya dilanjutkan. Kita tidak akan mampu mewujudkan
rekonsiliasi tanpa menghilangkan stigma atau kecurigaan terhadap suatu
kelompok.
Novel
bertajuk, “Sejuta Hati Untuk Gus Dur” adalah karya kreatif Damien
Dematra, seorang novelis, sutradara dan pelukis yang diadapatasi dari skenario
film Gus Dur: The More, yang awalnya direncanakan akan diputar di
bioskop-bioskop Indonesia untuk menyambut ulang tahun Gus Dur yang ke-70 pada
bulan Agustus 2010. Namun berpulangnya sang tokoh pluralisme pada Sang Pencipta
sangat mengejutkan semua pihak. Sehingga Damien, penulis novel, langsung
banting setir dan spontan untuk menyelesaikan novel ini dalam waktu yang sangat
singkat yaitu tiga hari tiga malam.
Dalam
novel ini, Damien mengajak pembaca untuk menyelami kehidupan seorang Gus Dur
dari sebelum kelahirannya hingga akhir hayatnya. Juga sebuah kisah kehidupan
anak manusia yang sungguh besar jasanya bagi bangsa dan kemanusiaan. Sungguh
sulit menemukan tokoh seperti Gus Dur di Indonesia dalam 100 tahun mendatang.
Menariknya lagi, novel ini dilengkapi dengan wawancara esklusif dengan Ibu
Shinta Nuriyah Wahid beserta putri-putri Gus Dur.
Tidaklah
berlebihan, Ahmad Syafii Ma’arif (Mantan Ketua Umum PP. Muhammadiyah)
mengomentari Gus Dur dalam novel ini, ”Abdurrahman Wahid telah berangkat
menghadap penciptanya untuk waktu tak terbatas. Bangsa ini telah kehilangan
pahlawan humanis yang tidak mudah dicari penggantinya. Dengan novel ini,
kenangan manis terhadap sahabat kita ini akan terus hidup dan segar dalam
lipatan kurun yang panjang.” [*]
*) Mantan Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam (PMII) Cabang Probolinggo Jawa Timur
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar