Judul
buku: Sekedar Mendahului
Penulis: Abdurrahman Wahid Penerbit: Penerbit Nuansa, Bandung Cetakan: Pertama, 2011 Tebal buku: 342 Halaman Persensi: Danuji Ahmad*) |
Membaca tulisan Gus
Dur dalam buku ini adalah pembaca telaga air yang menyejukkan. Gagasannya
brilian, mudah dicerna, recah, mengalir, serta pembaca digiring untuk merenungi
di setiap baris, kalimat serta paragraf dari tulisan-tulisannya. Sesekali Gus
Dur juga menggoyang pikiran kita untuk kembali mempertanyakan sesuatu yang
sudah lumrah (common
sense) untuk direnungi kembali. Bahkan Gus Dur acapkali menciptakan
perspektif baru dari penafsiran tunggal yang terkadang jauh dari api panggang
pokok permasalahan. Inilah yang membuat tulisan Gus Dur luas, kritis dan segar.
Melihat urgensi
pemikiran Gus Dur itulah, kawan-kawan atau orang-orang yang pernah dekat
Gus-Dur mencoba menyatukan serpihan-serpihan gagasannya yang berserakan dan
pertebaran dimana-mana, untuk dijadikan dalam buku utuh yang berjudul Sekedar Mendahului ini.
Sebuah judul yang seksi dan menarik. Sudah pasti, isi bukunya juga tidak kalah
menarik dengan judulnya.
Dalam buku ini, Gus
Dur tidak hanya menawarkan gagasan para pemikir Barat, tetapi juga menyelami ke
dalam khazanah epistimlogi Nusantara. Lewat cerita-cerita rakyat, serat-serat
yang menyentuh dan menyentil kesadaran diramu dalam kata yang sederhana dan
mendalam. Model-model tulisan semacam itulah yang dituangkan Gus Dur dalam
esai-esai kata pengantar dalam buku yang berbentuk bunga rampai ini.
Dalam kata
pengantar buku Humor dan
Budaya, Gus Dur mencoba menawarkan sebuah cerita-cerita masyarakat
kecil, tetapi patut diteladani dan direnungi. Al kisah, ada seorang raja yang
bernama Gonzales sedang bertamasya keliling kota dengan mengendarai kuda.
Tetapi ketika melewati sebuah jembatan sungai, sang presiden itu jatuh, lalu
terbawa arus sungai yang deras. Hingga pada akhirnya sang raja tersebut
ditolong oleh seorang pengail ikan yang miskin. Kerena, sang pengail telah
menyelamatkan nyawa sang raja, hadiah besarpun sudah disipkan kepada sang
pengail.
Hal yang
mengagetkan dan tidak terduga ternyata keluar dari mulut pengail miskin itu.
Sang pengail itu ternyata menolak seluruh hadiah yang telah dipersipkan raja
Gonzales. Lalu sang pengail itu berujar “Saya hanya meminta agar sang raja tidak
menceritakan peristiwa ini kepada siapun”. Akhir dari cerita humor yang
diangkat dari kehidupan nyata ini seakan menyetak kesadaran kita serta
memberikan kritik tajam dan sindiran terhadap hal-hal yang salah dalam
kehidupan. Pun, orang miskin ternyata memiliki caranya tersendiri menggunakan
kearifan mereka. Kearifan untuk ikhlas beramal tanpa jasa, ditengah kemiskinan
yang melilitnya, merupakan sebuah tindakan arif yang patut diapresiasi.
Cerita humor lain,
beda substansi juga ditampilkan Gus Dur, semisal lelucon bangkitnya Lenin dari
mausoleum, Kremlin. Presiden Rusia yang meninggal 1924 itu, mendadak bangkit
dan membuat pusing seluruh rakyat Rusia. Kebangkitan Lenin ini mendadak aneh.
Murung di kamar dan tidak bisa diganggu. Pada akhirnya karena para prajurit
curiga, pintu kamar itupun didobrak. Anehnya, sang presiden itu tidak berwujud
ditempat, tetapi ditengah kertas-kertas yang berserakan. Lenin menuliskan pesan
singkat yang berbunyi “Revolusi telah gagal. Saya akan menyiapkan diri ke
Jenewa untuk mempersiapkan revolusi lagi.” Begitulah kira-kira humor yang
berasal dari negara bekas negara Uni Soviet itu. (Hlm, 56)
Rasa humor dari
masyarakat adalah bukti ketahanan hidup yang tinggi terhadap terpaan badai
kepahitan dan kesengsaaraan. Keberanian menertawakan diri sendiri merupakan
tuntunan hati akan kesadaran kebutuhan dan kesadaran akan keterbatasan diri.
Terpaan badai masalah yang dibarengi dengan pengatahuan serta menerima segala
risiko akan kesengsaraan tanpa patah semangat dalam hidup dengan inilah humor
memiliki nilai sublimasi dari kearifan masyarakat.
Membicarakan kata
pengantar Gus Dur dalam buku politik juga tidak kalah menariknya juga tentang
humor. Tawaran Gus Dur tentang carut-marutnya perpolitikan negeri ini, buah
dari pertikaian beda ideologi, kelompok, partai politik serta kepentingan dan
kebijakan menjadi kajian Gus Dur dalam mengantarkan buku Ribka Tjiptaning
dengan judul buku ”Aku
Banggga Menjadi Menjadi PKI.” Gus Dur berpendapat dalam hal-hal
yang bertentangan dalam pandangan politik bisa dipersatukan dalam bingkai
kemanusiaan. Rasa kemanusiaan inilah yang pada akhirnya memberikan titik temu
dari segala pertengan-pertengan politik yang ada.
Gus Dur juga
mengeksplorasi tentang kehidupan administrasi bangsa Indonesia yang tercerabut
dari akar tradisi nenek moyangnya. Adigium “nenek moyangku seorang pelaut” yang
terimplementasikan lewat karya empu Tantular, Bhinneka Tunggal Ika, meski
berbeda-beda tetapi tetapi satu, mengalami perubahan dari laut ke daratan.
Titik awal perubahan itu di mulai dari pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo
abad ke-17. Pada masa inilah orientasi negara kelautan secara drastis menuju
orientasi darat. Orientasi administrasi kita harus ditata ulang karena tidak
bersesuaian dengan akar tradis,” tanda Gus Dur dalam buku ini.
Refleksi
tulisan-tulisan yang ada dalam buku ini sangatlah menarik untuk direnungi
kembali untuk membangun kehidupan bangsa dan negara. Esai-esai kata pengantar
dari Gus Dur ini siap memberikan pencerahan dan membuka cakrawala baru tentang
apa yang dinamakan spirit nasionalisme dan wawasan kebangsaan.[*]
*) Pengelola Taman Baca Jagad Aksara, Yogyakarta
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar