Judul
buku: Soe Hok-gie… Sekali Lagi:
Buku Pesta dan Cinta di
Alam Bangsanya
Editor: Rudy Badil, Luki Sutrisno Bekti,
dan Nessy Luntungan R.
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta Tebal: xl + 512 halaman
Peresensi:
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
|
APA yang masih
mungkin dihikmahkan dari sebuah buku tentang Soe Hok-gie selang 40 tahun
setelah kematiannya? Pada posisi kita yang memang sudah sedemikian meneladani
Hok-gie sebagai sosok yang idealis, humanis, dan moralis; tentulah tidak cukup
memeriksa buku ini sebagai ikhtiar untuk semata mengingat nama Hok-gie.
Tidak cukup bila
diniatkan sebagai resepsi mengekalkan memori belaka. Lebih dari itu, kehendak
macam apa sejatinya yang kini mendorong kita untuk menampilkan figur Hok-gie sekali
lagi? Ya, tidakkah buku Catatan Seorang Demonstran (1983) tersiar masyhur buat
meneladani Hok-gie sebagai ”intelektual muda yang berani, lantang, dan
sekaligus romantis”?
Nah, lewat
penerbitan buku yang penggarapannya dikerubut sejumlah kawan dekat dan pengagum
Hok-gie ini memang tebersit suatu kehendak membikin sekaligus menegaskan sekian
definisi atas Hok-gie. Setidaknya setelah sejarawan Australia John Maxwell
melalui disertasi Soe Hok-gie: A Biography of Young Indonesian Intellectual
(1997) mendefinisikan Hok-gie sebagai intelektual. Satu karakter yang begitu
kuat dan mengakar dengan didukung pemeriksaan atas pemikiran akademik dan
artikel-artikel Hok-gie. Ada skripsi sarjana muda Di Bawah Lentera Merah:
Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-1920 (1964), ada skripsi Simpang Kiri dari
Sebuah Jalan: Kisah Pemberontakan Madiun September 1948 (1969), termasuk
kumpulan artikel Hok-gie yang tersusun dalam buku Zaman Peralihan (1995).
Satu lagi, buku
Catatan Seorang Demonstran terbitan LP3ES -kali pertama dipublikasikan Yayasan
Mandalawangi dengan judul Catatan Seorang Pemuda Indonesia (1972)- yang tampak
menonjolkan kesan progresif Hok-gie yang aktivis. Maka, kalau mau berceletuk
sebentar, kira-kira seperti apa ungkapan Hok-gie melihat energi masyarakat dan mahasiswa
yang belakangan hari kerap diwarnai aksi protes? Sebagaimana dituliskan Rudy
Badil (hlm. 266), mungkin sekali beginilah pernyataan pesan Hok-gie yang
tertuju kepada pemangku kekuasaan, ”Jangan memancing perasaan anak-anak muda
itu. Mereka anak-anak zaman sekarang yang pemarah. Mereka itu angkatan the
angry young men, bukan crossboys lagi, bukan hippies juga.”
***
Hok-gie -dalam
konteks pembahasan aktivisme gerakan mahasiswa- memang merupakan ”tipe langka”
di tengah periode kontestasi politik ideologi masa itu, persisnya pada
senjakala pemerintahan Soekarno dan awal menyingsingnya kekuasaan rezim Orde
Baru. Tipe langka, demikian Rum Aly dalam Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun
1966 (2006:84) mencermati aktivisme Hok-gie. Tipe langka dari eksponen gerakan
mahasiswa ”Angkatan ’66” -yang sepanjang kurun sejarah pascaproklamasi sohor
diidentikkan sebagai tonggak pertama ”gerakan mahasiswa sebagai gerakan (moral)
politik”.
Tipikal Hok-gie itu
merujuk pada rekam jejaknya yang tak menjadi bagian organisasi politik dan
partai ideologis apa pun, bahkan sampai batas akhir hidupnya. Padahal, menurut
Rum, masa itu ”mahasiswa Jakarta pada umumnya jauh lebih lebur sebagai bagian
atau bahkan perpanjangan tangan dari kelompok-kelompok politik ideologis yang
ada dalam struktur Nasakom”. Yang perlu dicatat di sini, aktivitas gerakan di
era kontestasi politik ideologi tak mungkin dilepaskan dari aspek pergaulan dan
kesesuaian pemikirannya. Untuk kasus Hok-gie, dia dekat dengan aktivis Gemsos
(Gerakan Mahasiswa Sosialis) dan sempat menaruh simpati ke PSI (Partai Sosialis
Indonesia).
Meski demikian,
Hok-gie yang nonpartisan tak larut tercemari. Contoh soal, ketika awal 1969,
KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) mulai ditinggal ranjang
organisasi-organisasi mahasiswa. Sejak itu, KAMI pun secara de facto telah
bubar. Padahal, dua tahun sebelumnya (1967), Hok-gie sudah mengkritik virus
pengaruh partai politik di tubuh KAMI yang tersuntikkan di bawah selubung
ideologi. Maka, Hok-gie menyerukan supaya ”bagaimana mengurangi dan akhirnya
menghapuskan pengaruh-pengaruh partai politik dalam tubuh organisasi-organisasi
mahasiswa”. Wajar sajalah, bagaimana mungkin sikap moral organisasi mahasiswa
mampu konsekuen. Sebab kalau konsekuen, ”semang” bakal menyerang ”induk”-nya.
Yang tak kalah
krusial untuk disimak agar jadi bahan teladan pada masa gawat kini ialah
pandangan Hok-gie terhadap sistem demokrasi terpimpin. Secara normatif, Hok-gie
tidak menyenangi pemimpin yang justru menjadikan sistem demokrasi sebagai
instrumen untuk menindas partai politik lain. Tidak juga terhadap sistem
demokrasi yang direkayasa untuk memperluas ranjang kekuasaan dan otoritas
politik segelintir elite. Tak ayal, Hok-gie pun lebih bersimpati kepada Sutan
Sjahrir karena figurnya tulus dan jujur sehingga jarang ditemukan dalam diri
pemimpin politik lain kala itu. Tidakkah ludesnya rasa tulus dan sikap jujur
pemimpin begitu mencemaskan kehidupan negara-bangsa kita sekarang?
Buku yang
digadang-gadang untuk menampilkan (sekali lagi) kesosokan Hok-gie ini paling cocok
dicerna sebagaimana tuturan Jakob Oetama -yang mengenal Hok-gie antara
1965-1969 bersamaan dengan seringnya Hok-gie memasukkan artikel ke kantor
Kompas. ”Di tengah krisis rasa keadilan, hilangnya rasa malu, dan gencarnya
semangat menggugat hukum saat ini, sosok Soe Hok-gie pantas ditampilkan,”
tulisnya (hlm. xiv).
Pantas dengan cara
bagaimana? Jakob menganjurkan dengan jernih akal, ”Dilakukan tidak dengan
maksud mengultusindividukan,… melainkan menawarkan nilai-nilai keteladanan,
utamanya integritas dan kebersihan hati.” Pembaca, kita ditantang untuk itu.
[*]
*) Aktivis pers
mahasiswa, kuliah di Jogjakarta
Sumber:
JawaPos, 7 Maret
2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar