Judul:
Silence; Hening
Pengarang: Shusaku Endo Diterjemahkan dari bahasa Jepang oleh William Johnston Alih bahasa: Tanti Lesmana Penerbit: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 2008
Peresensi: Purnawan
Kristanto
|
Sungguh ngeri
membayangkan penganiayaan yang dialami oleh orang Kristen di Jepang pada masa
pemerintahan Tokugawa Bakufu. Ada yang dimasukkan ke dalam air bercampur
belerang yang mendidih di puncak gunung. Ada yang direndam di pinggir pantai
selama berhari-hari.
Tubuh mereka
diikatkan pada sebatang kayu dan dibiarkan terendam air selama berhari-hari.
Mereka akan mengalami siksaan fisik yang luarbiasa mulai dari kelaparan,
kehausan sampai dengan hipotermia. Mereka lakan mati secara perlahan-lahan.
Akan tetapi jenis
siksaan yang paling mengerikan adalah yang disebut “Siksaan lobang.” Penguasa
membuat lubang seukuran lebih besar sedikit dari kepala manusia. Di dalamnya
diisi dengan kotoran. Cara penyiksaannya, orang Kristen digantung terbalik dan
kepalanya dimasukkan ke dalam lobang itu sebatas bahu. Untuk menambah
penderitaan, maka sang algojo mengiris sedikit di belakang telinga sang korban.
Darah akan keluar sedikit demi sedikit membasahi wajah mereka. Aliran darah ini
ada yang masuk ke lobang telinga. Ada pula yang menutupi pandangan mata.
Siksaan terbukti mampu meruntuhkan iman Christovao Ferreira, provincial
berkebangsaan Portugis, yang melayani di Jepang.
Mengapa orang
Kristen di Jepang mengalami penganiayaan? Padahal ketika Kristianitas pertama
kali diperkenalkan oleh Fransiskus Xaverius, pada tahun 1549 di negeri Sakura
ini, ada nada antusias dalam surat yang ditulisnya. Fransiskus Xaverius
menyebut bangsa Jepang sebagai “pembawa sukacita di hatinya.” “Orang-orang yang
kami jumpai sejauh ini,” tulis Fransiskus kepada rekan-rekannya di Goa, “adalah
yang telah kami temukan dan rasanya tidak akan pernah ada…bangsa lain yang bisa
menandingi bangsa Jepang.”
Benih yang
ditebarkan oleh Fransiskus ini selanjutnya dirawat oleh Alessandro Valignano,
sejak tahun 1579. Di bawah karya misinya komunitas Kristen berkembang pesat
sehingga Valignano berani memimpikan sebuah pulau yang sepenuhnya Kristen di
wilayah Jepang. Kristianitas juga mendapat dukungan dari para daimyo (kalangan
bangsawan Jepang) karena mereka berharap bisa menjalin hubungan dagang dengan
kapal-kapal hitam dari Macao. Para pastor juga memiliki posisi yang baik di
istana.
Tiba-tiba, pada
tanggal 24 Juli 1587, tanpa alasan yang jelas Hideyoshi sang penguasa saat itu,
memerintahkan para misionaris keluar dari negeri itu. Namun kemarahannya cepat
surut dan keputusan pengusiran itu dinyatakan tidak berlaku lagi.
Sepuluh tahun
kemudian, amarah Hideyoshi bangkit kembali. Ini gara-gara bualan pelaut Spanyol
yang terdampar. Untuk mengambil hati orang Jepang, dia mengatakan bahwa para
misionaris selalu mempersiapkan jalan bagi angkatan bersenjata kerajaan
Spanyol. Maka dimulailah perburuan dan pembantaian secara sistematis dan tanpa
ampun terhadap orang Kristen di Jepang.
***
Berlakang belakang
Jepang pada abad ke-17, Shusaku Endo menuliskan pergulatan yang dialami orang
Kristen Jepang. Penulis novel ini adalah orang Jepang yang dibaptis menjadi
Katolik pada usia 11 tahun. Setelah lulus dari fakultas sastra Perancis di Keio
University, dia mendapat beasiswa selama dua setengah tahun di Lyon. Pengalaman
ini kelak dituangkan dalam beberapa novelnya. Salah satunya, Shiroi Hito (The
White Man) yang mendapat penghargaan bergensi Akutagawa.
Novel ini diawali
dengan berita tentang pemurtadan Christovao Ferreira, yang sampai di telinga
tiga mantan muridnya:pastor Juan de Santa, pastor Francis Garrpe dan pastor
Sebastian Rodrigues. Mereka lalu mengajukan diri supaya dikirim ke Jepang untuk
“menggembalakan domba-domba” di sana. Semula pihak gereja enggan mengabulkan,
tetapi karena begitu gigih keinginan mereka, akhirnya mereka diizinkan.
Dalam pelayaran
ternyata pastor Juan de Santa jatuh sakit sehingga harus ditinggal di Macao.
Sementara itu, pastor Francis Garrpe dan pastor Sebastian Rodrigues berusaha
menyelundup ke negeri matahari terbit itu dengan bantuan Kichijiro, orang Jepang
di perantauan. Mereka berhasil mendarat di Jepang dan segera mengerjakan karya
misi secara sembunyi-sembunyi. Di sini, konflik dalam novel mulai meningkat.
Pembaca dibuat bertanya-tanya, apakah kedua pastor itu akan tertangkap?
Umat yang mereka
layani adalah petani yang sangat miskin dan ditindas oleh penguasa dengan
pungutan pajak yang sangat tinggi. Dalam situasi demikian, Kristianitas hadir
untuk memberikan penghiburan kepada mereka. Dalam Kristianitas mereka mendapat
sentuhan lembut kasih dan pengharapan akan adanya kehidupan yang lebih baik
setelah kematian.
Untuk menangkap
para misionaris dan umat Kristen, penguasa mengiming-imingi uang bagi setiap
informasi tentang keberadaan orang Kristen. Hadiah ini cukup menggiurkan bagi
petani miskin karena nilainya sangat besar. Dalam situasi ini kedua pastor ini
hidup dalam bayang-bayang pengkhianatan dari umat yang dilayani. Sewaktu-waktu
mereka bisa diadukan oleh petani miskin yang tergiur oleh hadiah itu. Namun
tanpa disangka, ternyata yang menjadi “Yudas” itu adalah Kichijiro, sang
pemandu mereka. Kichijiro sebenarnya adalah orang Kristen juga, namun pernah
ditangkap oleh penguasa. Karena tidak tahan oleh siksaan, maka dia mengingkari
imannya dengan cara menginjak fumie, yaitu lempengan tembaga yang dipahat
membentuk wajah Yesus.
Pembaca selanjutnya
digiring pada pertanyaan apakah kedua pastor ini tahan terhadap siksaan? Apakah
mereka juga akan menginjak fumie sebagai tanda pengingkaran iman?
***
Alur novel ini
sangat sederhana. Penokohannya sangat sederhana. Hanya satu tokoh yang dapat
mengaduk-aduk emosi pembaca, yaitu Kichijiro. Dia digambarkan sebagai pria
miskin Jepang yang culas, oportunis, licin, dan pandai menjilat. Narasi
penceritaannya pun terasa datar dan banyak mengulang kata-kata yang sama. Misalnya
untuk menggambarkan suasana sunyi yang menggigit, penulis kerap menggunakan
suara jangkrik dan dengung sayap lalat.
Kekuatan novel ini
justru terletak pada problematika yang diangkatnya yaitu bersifat psikologis
dan cenderung kontroversial. Melalui percakapan antara Rodrigues dan Ferreira,
penulis melontarkan sebuah tesis bahwa Kristianitas tidak dapat tumbuh baik
Jepang. Dia mengibaratkan Jepang seperti rawa-rawa yang akan menghisap
habis kekristenan. Benih Kristianitas tidak dapat menancapkan akarnya si
rawa-rawa itu, sehingga daunnya akan layu dan menguning. Inilah pendapat yang
disampaikan oleh Ferreira dengan nada pahit.
“Selama dua puluh
tahun aku bekerja keras menjalankan misiku.” Dengan suara datar tanpa emosi
Ferreira mengulangi kata-kata yang sama itu. “Satu hal yang aku tahu pasti
adalah agama kita tidak bisa berakar di negeri ini.”
“Bukannya tidak
bisa berakar,” Rodrigues berseru dengan suara keras sambil menggelengkan
kepala. “Masalahnya akar-akar itu dicabuti.” [h.234]
Rodrigues tidak sepakat.
Menurutnya, Kristianitas adalah kebenaran yang universal yang dapat tumbuh
dimana saja, dalam kondisi apa pun. Dia lalu mengajukan bukti-bukti tentang
perkembangan komunitas Kristen yang pesat sebelum masa penganiayaan. Namun
Ferreira menanggapinya dengan sinis. Menurutnya, Tuhan yang disembah oleh orang
Kristen di Jepang itu berbeda dengan konsep Tuhan yang dibawa oleh para
misionaris.
“Mereka mengubah
dan memplesetkan Tuhan kita dan menciptakan sesuatu yang berbeda,” seru
Ferreira, mantan pastor yang telah mengingkari imannya itu. “Ibarat kupu-kupu
yang terjerat jaring laba-laba. Mulanya kau yakin dia kupu-kupu. Tapi keesokan
harinya hanya bagian luarnya yang tampak seperti kupu-kupu-sayapnya, badannya.
Realitasnya yang sejati sudah hilang dan menjadi sekadar kerangka saja. Di
Jepang, Tuhan kita persis seperti kupu-kupu yang terjerat jaring laba-laba itu.
Hanya bentuk luar Tuhan yang tersisa, tetapi sudah menjadi kerangka” [h.237].
Problematika lain
yang tak kalah menggetarkan adalah keheningan Tuhan. Endo menggambarkannya
dalam bentuk pergulatan batin Rodrigues. “Sudah duapuluh tahun berlalu
sejak penganiayaan ini dimulai; tanah Jepang yang hitam telah dipenuhi ratap
tangis begitu banyak orang Kristen; darah merah para imam juga telah mengalir
deras di sini; tembok gereja-gereja telah runtuh; dan di hadapan pengorbanan
dahsyat yang tidak kenal kasihan ini, Tuhan tetap hening dan bungkam” [h.100].
Misionaris Portugal ini menyaksikan kebisuan Tuhan ketika petani-petani miskin
Jepang ditenggelamkan ke laut dengan tangan terikat. “Di balik keheningan
menyesakkan laut ini ada keheningan Tuhan… perasaan bahwa sementara manusia
berseru-seru dalam penderitaan mereka kepada-Nya, Tuhan tetap diam dengan kedua
lengan terlipat.” Di manakah Tuhan ketika umat-Nya berseru kepada-Nya?
Pergumulan ini
membawa sang pastor dalam puncak kebimbangan: Apakah yang kuimani selama ini
sudah benar? Pertanyan besar ini menggalayut berat di jiwanya saat dia
dihadapkan pada fumie. Haruskah dia menginjak wajah sang Penebus itu? Dalam
kebimbangan, Rodrigues melihat wajah Yesus dalam lempengan tembaga itu
seolah-olah berseru kepadanya:
“Injaklah! Injak!
Aku lebih tahu daripada siapa pun tentang kepedihan di kakimu. Injaklah! Aku
lahir ke dunia memang untuk diinjak-injak manusia. Untuk menanggung penderitaan
manusialah Aku memanggul salib-Ku.”
Pada bagian lain,
pastor ini berseru menggugat Tuhan:
“Tuhan aku benci
kebungkaman-Mu.”
“Aku tidak bungkam.
Aku ikut menderita di samping-Mu.”
Jawaban inilah yang
menenteramkan batin sang pastor. “Tuhan tidak bungkam. Andai pun Dia bungkam
selama ini, kehidupanku sampai hari ini adalah cukup berbicara tentang Dia,”
katanya dengan semeleh. [*]
Sumber:
Kompasiana, 3
Februari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar