Judul: The Judges / Sang
Hakim
Penulis: Elie Wiesel
Alih bahasa: Sofia Mansoor Penerbit: BENTANG (PT Bentang Pustaka) Tahun: 2005, cetakan I Tebal: xiv + 365 hal. |
Elie Wiesel adalah peraih Nobel Perdamaian tahun 1986, saat itu
usianya lima puluh delapan tahun. Ia telah menghasilkan lebih dari empat puluh
buku. Di antaranya yang paling terkenal adalah La Nuit (1958), yang ditulisnya
sebagai memoar selama ia menjalani masa tahanannya di kamp konsentrasi
Buchenwald. Dia adalah saksi hidup sejarah pahit orang-orang Yahudi yang
mengalami sendiri kekejaman kemanusiaan oleh NAZI Jerman. Maka, tidaklah
mengejutkan jika karya fiksinya banyak berlatar belakang peristiwa holocaust
itu. Ia memang Yahudi keturunan Rumania.
Namun, dalam The Judges (Sang Hakim), yang terbit pertama kali
tahun 2002, Wiesel menyajikan cerita lain, meski tetap menampilkan sisi
humanisme yang selalu disuarakannya tanpa henti. Ironisnya, seperti ditulis
dalam pengantar penerbit di buku ini, Wiesel justru diam seribu bahasa tatkala
Zionis Israel melakukan pelanggaran kemanusiaan terhadap Bangsa Palestina.
Sebagai seorang yang gencar mengampanyekan isu-isu kemanusiaan, ia memilih
membungkam menyaksikan pelanggaran HAM yang terjadi di depan hidungnya itu.
Bagaimana bisa ia yang pernah merasakan sendiri kepedihan akibat
direnggutkannya hak-haknya sebagai manusia bebas oleh NAZI bersikap mendua
seperti itu? Ah..ternyata, bahkan seorang "pahlawan" pun sulit
bersikap objektif mana kala dihadapkan pada kepentingan kebangsaannya. Rasa
kebangsaannya mengatasi rasa kemanusiaannya.
The Judges berkisah tentang lima orang penumpang dari pesawat yang
terpaksa melakukan pendaratan darurat di sebuah lapangan udara kecil di
Connecticut akibat badai salju yang hebat. Pesawat yang sedianya akan membawa
mereka dari Amerika Serikat menuju Israel itu, untuk sementara tak bisa
melanjutkan penerbangan.
Setengah jam kemudian, datanglah sejumlah mobil yang lalu
mengangkut seluruh penumpang ke tempat-tempat penampungan sementara sambil
menunggu cuaca membaik. Ke lima orang yang akan dikisahkan ini secara kebetulan
berada dalam mobil yang sama. Mereka adalah : Claudia, George, Bruce, Yoav, dan
Razziel.
Mobil tersebut membawa mereka ke sebuah rumah balok kayu di sebuah
desa terpencil dekat pegunungan antara New York dan Boston. Tuan rumah yang
menerima mereka adalah seorang lelaki yang menyebut dirinya Sang Hakim, bersama
seorang pelayan dengan panggilan Si Bongkok. Alih-alih menolong para korban,
ternyata Sang Hakim malah menjadikan mereka berlima sebagai tawanan yang harus
ikut serta dalam permainan yang telah disiapkannya. Pada akhir permainan nanti,
salah seorang dari mereka -- yang paling tidak berharga -- harus mati.
Jika Wiesel dengan kisahnya kali ini hendak bermaksud menciptakan
sebuah ketegangan bagi para pembacanya, maka ia tak terlalu berhasil, walaupun
sempat muncul juga pertanyaan tentang siapakah yang akan mati? Siapakah Sang
Hakim? Yang saya tangkap justru satu cerita tentang cinta dan kehidupan
ketimbang sebuah kisah thriller. Selimut misteri yang berusaha dibangun, dengan
susah payah hadir -- meski tidak maksimal -- di tengah cerita. Alhasil, kejutan
yang saya harapkan ada di akhir cerita sebagai klimaksnya -- seperti pada
kisah-kisah misteri -- tak sesuai harapan. Atau jangan-jangan, The Judges ini
memang bukan kisah misteri ya?
Melalui para tokohnya yang dibiarkan bertutur sendiri-sendiri
(memakai gaya orang ke tiga) pada saat mereka mengingat kembali perjalanan
hidup mereka selama ini, Wiesel mengalirkan jalan ceritanya. George si Juru
Arsip, Claudia, si cantik yang bekerja di sebuah teater, Bruce yang playboy,
dan Yoav, seorang tentara, serta Razziel, seorang guru agama. Ke limanya
menyodorkan persoalan yang tengah mereka hadapi, mengajak pembaca menggali ke
kedalaman perasaan seorang manusia. Semuanya merasa berhak untuk terus
melanjutkan hidup yang berharga ini. Tak ada yang rela mati demi yang lain,
sebab di suatu tempat di dunia ini, masih ada orang-orang tercinta yang menanti
kedatangan mereka : istri, kekasih, anak-anak, ayah, sahabat.... Ah, mengapa kita,
manusia, selalu saja terlambat menyadari betapa beruntungnya diri ini karena
memiliki orang-orang yang dengannya kita dapat berbagi rasa cinta?
Novel-novel Elie Wiesel yang lain adalah : La Nuit/Night(1958),
Dawn (1960), The Accident (1961), A Jew Today (1978), The Fifth Son (1985) dll.
Dan mengingat ia adalah seorang yang telah dianugerahi Nobel Prize for Peace,
saya amat berharap, satu hari nanti ia akan membuka mata hatinya lebih luas
lagi agar dapat lebih adil dalam melihat dan menyikapi perseteruan antara
Israel dan Palestina.[*]
--Endah Sulwesi
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar