Senin, 24 Maret 2014

The Judges/ Sang Hakim

Judul: The Judges / Sang Hakim
Penulis: Elie Wiesel
Alih bahasa: Sofia Mansoor
Penerbit: BENTANG (PT Bentang Pustaka)
Tahun: 2005, cetakan I
Tebal: xiv + 365 hal.


Elie Wiesel adalah peraih Nobel Perdamaian tahun 1986, saat itu usianya lima puluh delapan tahun. Ia telah menghasilkan lebih dari empat puluh buku. Di antaranya yang paling terkenal adalah La Nuit (1958), yang ditulisnya sebagai memoar selama ia menjalani masa tahanannya di kamp konsentrasi Buchenwald. Dia adalah saksi hidup sejarah pahit orang-orang Yahudi yang mengalami sendiri kekejaman kemanusiaan oleh NAZI Jerman. Maka, tidaklah mengejutkan jika karya fiksinya banyak berlatar belakang peristiwa holocaust itu. Ia memang Yahudi keturunan Rumania.
Namun, dalam The Judges (Sang Hakim), yang terbit pertama kali tahun 2002, Wiesel menyajikan cerita lain, meski tetap menampilkan sisi humanisme yang selalu disuarakannya tanpa henti. Ironisnya, seperti ditulis dalam pengantar penerbit di buku ini, Wiesel justru diam seribu bahasa tatkala Zionis Israel melakukan pelanggaran kemanusiaan terhadap Bangsa Palestina. Sebagai seorang yang gencar mengampanyekan isu-isu kemanusiaan, ia memilih membungkam menyaksikan pelanggaran HAM yang terjadi di depan hidungnya itu. Bagaimana bisa ia yang pernah merasakan sendiri kepedihan akibat direnggutkannya hak-haknya sebagai manusia bebas oleh NAZI bersikap mendua seperti itu? Ah..ternyata, bahkan seorang "pahlawan" pun sulit bersikap objektif mana kala dihadapkan pada kepentingan kebangsaannya. Rasa kebangsaannya mengatasi rasa kemanusiaannya.
The Judges berkisah tentang lima orang penumpang dari pesawat yang terpaksa melakukan pendaratan darurat di sebuah lapangan udara kecil di Connecticut akibat badai salju yang hebat. Pesawat yang sedianya akan membawa mereka dari Amerika Serikat menuju Israel itu, untuk sementara tak bisa melanjutkan penerbangan.
Setengah jam kemudian, datanglah sejumlah mobil yang lalu mengangkut seluruh penumpang ke tempat-tempat penampungan sementara sambil menunggu cuaca membaik. Ke lima orang yang akan dikisahkan ini secara kebetulan berada dalam mobil yang sama. Mereka adalah : Claudia, George, Bruce, Yoav, dan Razziel.
Mobil tersebut membawa mereka ke sebuah rumah balok kayu di sebuah desa terpencil dekat pegunungan antara New York dan Boston. Tuan rumah yang menerima mereka adalah seorang lelaki yang menyebut dirinya Sang Hakim, bersama seorang pelayan dengan panggilan Si Bongkok. Alih-alih menolong para korban, ternyata Sang Hakim malah menjadikan mereka berlima sebagai tawanan yang harus ikut serta dalam permainan yang telah disiapkannya. Pada akhir permainan nanti, salah seorang dari mereka -- yang paling tidak berharga -- harus mati.
Jika Wiesel dengan kisahnya kali ini hendak bermaksud menciptakan sebuah ketegangan bagi para pembacanya, maka ia tak terlalu berhasil, walaupun sempat muncul juga pertanyaan tentang siapakah yang akan mati? Siapakah Sang Hakim? Yang saya tangkap justru satu cerita tentang cinta dan kehidupan ketimbang sebuah kisah thriller. Selimut misteri yang berusaha dibangun, dengan susah payah hadir -- meski tidak maksimal -- di tengah cerita. Alhasil, kejutan yang saya harapkan ada di akhir cerita sebagai klimaksnya -- seperti pada kisah-kisah misteri -- tak sesuai harapan. Atau jangan-jangan, The Judges ini memang bukan kisah misteri ya?
Melalui para tokohnya yang dibiarkan bertutur sendiri-sendiri (memakai gaya orang ke tiga) pada saat mereka mengingat kembali perjalanan hidup mereka selama ini, Wiesel mengalirkan jalan ceritanya. George si Juru Arsip, Claudia, si cantik yang bekerja di sebuah teater, Bruce yang playboy, dan Yoav, seorang tentara, serta Razziel, seorang guru agama. Ke limanya menyodorkan persoalan yang tengah mereka hadapi, mengajak pembaca menggali ke kedalaman perasaan seorang manusia. Semuanya merasa berhak untuk terus melanjutkan hidup yang berharga ini. Tak ada yang rela mati demi yang lain, sebab di suatu tempat di dunia ini, masih ada orang-orang tercinta yang menanti kedatangan mereka : istri, kekasih, anak-anak, ayah, sahabat.... Ah, mengapa kita, manusia, selalu saja terlambat menyadari betapa beruntungnya diri ini karena memiliki orang-orang yang dengannya kita dapat berbagi rasa cinta?
Novel-novel Elie Wiesel yang lain adalah : La Nuit/Night(1958), Dawn (1960), The Accident (1961), A Jew Today (1978), The Fifth Son (1985) dll. Dan mengingat ia adalah seorang yang telah dianugerahi Nobel Prize for Peace, saya amat berharap, satu hari nanti ia akan membuka mata hatinya lebih luas lagi agar dapat lebih adil dalam melihat dan menyikapi perseteruan antara Israel dan Palestina.[*]

--Endah Sulwesi

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar