Judul:
The Unknown Errors of Our Lives
(Kesalahan-kesalahan yang Tidak
Diketahui
dalam Hidup Kita)
Penulis: Chitra Banerjee Divakaruni Alih bahasa: Gita Yuliani K Penerbit: Gramedia
Peresensi:
Retnadi Nur’aini
|
Butuh waktu untuk
menguraikan luka. Karena seperti yang dituliskan Amy Tan dalam The Joy Luck
Club, melalui tokoh An-mei: “Dan begitulah kejadiannya dengan suatu luka. Luka
itu mulai menutup sendiri untuk melindungi apa yang terasa sakit. Dan sekali
sudah tertutup, kita tak lagi melihat apa yang ada di bawahnya, apa yang
menyebabkan rasa sakitnya.”
Sebagian orang
mungkin akan membiarkannya berlalu begitu saja. Sebagian lagi mungkin akan
kelewat enggan untuk menguraikan benang kusut kompleksitas penyebab lukanya.
Dan sebagian lagi, mungkin bahkan lupa, bahwa luka itu pernah ada. Namun, tidak
demikian halnya dengan seorang Chitra Banerjee Divakaruni.
***
Dalam buku kumpulan
cerpen yang terdiri atas sembilan cerpen ini, Chitra berusaha menguraikan luka
para tokohnya, para wanita India yang menjadi imigran di Amerika. Ada Nyonya
Dutta (dalam cerpen: Nyonya Dutta Menulis Surat) yang terkucilkan dalam
keluarga anak dan menantunya karena gegar budaya. Ada tokoh seorang kakak
perempuan (dalam cerpen: Kecerdasan Benda-benda Asing) yang merasa bersalah
karena terlalu lama mengabaikan adik lelakinya yang datang ke Amerika. Ada
Leela (dalam cerpen: Kehidupan Benda-benda Asing) yang berusaha keluar dari
zona soliter hidupnya di Amerika dengan mengunjungi India dan mengikuti acara
ziarah.
Ada Monisha (dalam
cerpen: Cinta Seorang Pria Baik) yang menyimpan dendam pada ayah kandung yang
meninggalkan dirinya dan ibunya untuk hidup di Amerika. Ada Aparna (dalam
cerpen: Apa yang Diketahui Tubuh) yang berusaha memulihkan dirinya lahir batin
setelah berbulan-bulan dirawat di rumah sakit karena mengalami penyakit usai
melahirkan putranya.
Ada sepasang kakak
beradik (dalam cerpen: Anak-anak yang Terlupakan) yang melarikan diri dan
pikiran mereka dalam khayalan, menghindari perilaku abusif ayah mereka yang sering
mabuk. Ada Mira dan Radikha (Masa Kaktus Berbunga) dengan latar belakang
berbeda yang memiliki kesamaan: trauma pada kaum pria. Ada Ruchira (dalam
cerpen: Kesalahan-kesalahan yang tidak Diketahui dalam Hidup Kita) yang pada
tiga hari sebelum pernikahannya bertemu dengan seorang wanita yang dihamili
calon suaminya.
Ada seorang ibu
(dalam cerpen: Nama-nama Bintang dalam Bahasa Bengali) yang mencoba beradaptasi
kembali dengan India dan bernostalgia dengan masa lalunya, saat membawa
anak-anaknya dari California ke Calcutta untuk mengunjungi nenek anak-anaknya.
***
“Happiness is a very elusive quality,” ujar
Dee Frankfurter, seorang penulis. Dan inilah yang berusaha dipahami oleh
sebagian tokoh dalam buku ini, dengan cara mereka masing-masing.
Aparna misalnya,
pada awalnya menggantungkan kebahagiaan dengan jatuh cinta pada dokter
bedahnya, Byron. Setiap pagi Aparna akan menggosok lipstick ke bibirnya yang
retak-retak, menggelapkan mata yang tenggelam dengan jari gemetar, dengan tas
make-up yang dibawakan Umesh, suaminya, demi menyambut waktu pemeriksaan Byron.
Sampai Aparna jatuh cinta pada bayinya, Aashish. “Tatapan si bayi yang tajam,
penuh perhatian, caranya memandang keluar ke dunia dengan perhatian yang murni
dan sempurna. Aparna bahagia olehnya dan juga menjadi rendah hati karenanya.
Dia juga ingin belajar seperti itu.” (halaman 142)
Atau kebahagiaan
imajiner yang dikhayalkan tokoh sepasang kakak beradik. Penat dengan kemiskinan
dan sikap abusive sang ayah yang gemar mabuk, mereka berusaha memahami kebahagiaan
dengan definisi yang berbeda. “Dalam khayalan kami, tidak ada yang menyeret
kami di jalan masuk mobil yang sudah retak-retak sehingga batanya yang terbuka
menggosok punggung kami. Di garasi yang gelap, tidak ada yang menyalakan korek
dan mendekatkannya begitu dekat sehingga kami merasakan panasnya pada kelopak
mata kami. Dalam khayalan kami, berbagai bagian perbendaharaan kata sudah
lenyap sama sekali dari kamus: takut, remuk, amuk, maut, ayah.” (halaman 156)
Atau bahkan dalam
sepucuk surat yang ditulis Nyonya Dutta untuk sahabatnya, Roma. “Aku tidak bisa
menjawab pertanyaanmu tentang apakah aku bahagia, karena aku sudah tak yakin
apa sebenarnya kebahagiaan. Yang kutahu hanya bahwa kebahagiaan bukan seperti
yang kusangka. Bukan tentang rasa dibutuhkan. Bukan juga tentang berkumpul
bersama keluarga. Ada hubungannya dengan cinta, aku masih beranggapan begitu,
tetapi dengan cara yang berbeda dengan yang kuyakini dulu, suatu cara yang
tidak bisa kujelaskan. Mungkin kita bisa memikirkannya bersama, dua wanita tua
minum cha di flat lantai bawahmu (karena kuharap kau mau menyewakannya kepadaku
sekembaliku ke sana), sementara di sekitar kita gosip beredar—tetapi ringan
saja, seperti hujan musim panas, karena itu saja yang kita bolehkan terjadi.
Kalau aku beruntung—dan mungkin, walau semua yang sudah terjadi, aku memang
beruntung—kebahagiaan itu letaknya dalam memikirkannya.” (halaman 44-45)
***
Manusia adalah
makhluk yang dinamis. Dalam Autobiography of My Mother, Jamaica Kincaid
menulis: “Siapa dirimu adalah misteri yang tak bisa dijawab siapapun, tidak
juga oleh dirimu sendiri.”
Dan yang saya
kagumi dari buku ini, selain dari–ditulis dengan demikian indahnya oleh Chitra
dan diterjemahkan dengan indah pula– adalah: tentang penerimaan diri para tokoh
atas diri mereka sendiri, dengan segala absurditas, kompleksitas, dan
kontradiksinya. Suatu proses yang butuh waktu panjang dan kerendahan hati untuk
menelaah dalam diri.
Seperti yang
ditulis Hal Stone & Sidra Winkelman dalam Embracing Each Other: “If we wish
to surrender to the process of consciousness, we must surrender to it in all
its complexities and contradictions. If we want to be loving human beings, we
must learn to love our own wolves and jaguars and snakes and dragons, and
stupidity and irritability and weakness and vulnerability and darkness as much
as we love our loving and rational, competent, caring, and light-oriented
selves.” [*]
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar