Judul
Buku: The White Tiger
Penulis : Aravind Adiga Penerbit: Andi Publisher Cetakan: Pertama, 2010 Tebal Buku : 352 halaman
Peresensi: Lutfi Rakhmawati*)
|
Para penulis dan
pembuat film India adalah para diplomat sastra dan kebudayaan yang sebenarnya.
Melalui karyanya, mereka membangun citra India di dunia. Industri film India
menghasilkan tidak kurang dari 500 film per tahun. Semua bercerita tentang
India, lengkap dengan kain sari warna-warni dan tarian kompaknya.
Saking gilang
gemilangnya film-film India, penduduk India lebih dikenal orang-orang seantero
dunia daripada penduduk negara lain. Tanya saja sembarang penduduk di pulau
pelosok. Mungkin dia belum pernah melihat salah satu hasil karya terhebat
perfilman Indonesia, Eliana Eliana. Tapi, tanyalah tentang film India.
Penggambarannya pasti cocok. Shah Rukh Khan belum pernah menang Oscar, tapi
namanya pasti lebih tenar daripada Sean Penn.
Berbagai film
India, lengkap dengan tarian, nyanyian, dan tangisan hebohnya, memang sukses
mencitrakan masyarakat India. Tapi, belakangan, karya yang ditampilkan lumayan
berbeda. Tidak melulu berisi warna dan tawa. Berani menampilkan India yang
lebih kumuh, kasar, gelap, dan miskin, itulah ciri khas baru karya film India.
Ternyata, film itu diterima audiens dengan sukses.
Berani menampilkan
India yang lebih suram. Hal itu juga ditemukan di berbagai karya sastranya.
Karya sastra India mulai berkembang ke arah lebih kaya. Mungkin itu akan jadi
babak baru dalam dunia sastra India karena nyatanya, India toh bukan wajah baru
dalam sastra dunia. Jangan lupa, orang pertama Asia yang berhasil memenangi
Nobel Sastra adalah orang India. Dialah Rabindranath Tagore yang memenangi
Nobel pada 1913.
Sekarang era 2010.
Tagore sudah lama pergi. Dunia sastra India sekarang dipimpin penulis-penulis
muda ”blasteran”. Sebab, meski lahir sebagai orang India, kebanyakan mereka
lahir, tumbuh, atau bermukim di luar India.
Misalnya, Arundhati
Roy dan Jhumpa Lahiri. Karya kedua novelis itu diakui dunia. Lahiri bahkan
pernah menang Pulitzer. Mereka adalah penulis-penulis India-Amerika. Pengalaman
hidup di luar negaranya membuat mereka punya cara pandang berbeda terhadap
negara mereka sendiri. Berbeda dalam makna positif. India versi mereka adalah
sebuah negara yang menghadapi banyak masalah, namun memiliki kekuatan untuk
menyelesaikan masalah itu dengan cara yang lebih logis daripada sekadar joget
bersama, tentu.
Aravind Adiga
adalah nama baru yang mengupas India dengan cukup berani dan berbeda.
Kebobrokan moral para politikus sangat kental menghiasi berbagai halaman
bukunya, The White Tiger. Novel pertama Aravind tersebut langsung menjadi
winner book of the man booker prize.
Sebagai orang yang
hidup di luar India -lahir di Madras namun dibesarkan di Australia-, Aravind
cukup detail memotret setiap sudut kehidupan di kota metropolis Mumbai.
Penggambarannya yang cukup mendetail tentang kondisi jalanan dan lalu lintas
yang karut-marut bisa membuat kita sontak mencari kipas terdekat.
Kecermatan Aravind
menggambarkan kondisi kota sama baiknya dengan kecermatannya menggambarkan
manusia-manusia penghuni Mumbai. Golongan tajir yang berprofesi sebagai
majikan, politisi korup, dan anggota dewan yang lebih korup adalah mereka yang
menduduki puncak tertinggi hierarki sosial. Membuat teh untuk diri sendiri
sudah merupakan tindakan hina dan tidak terhormat.
Berlebihan ya? Bagi
kita, mungkin iya. Bagi mereka, itu hal biasa. Bukankah manusia tercipta ke
dalam kasta-kasta sesuai dengan kewajibannya? Kasta pembuat teh akan diturunkan
dari generasi ke generasi. Begitu pula kasta pembuat manisan. Atau, kasta
penggembala.
Balram yang lahir
dari kasta penarik rickshaw yang beruntung naik pangkat jadi sopir pribadi
akhirnya berani menggugat nasib. Berani mengubah jalan hidup yang seolah sudah
digariskan. Bila ada lebih banyak orang India seperti dia, mungkin sistem kasta
tidak akan selamanya bercokol di negeri Taj Mahal itu.
Sudah pasti akan
ada kekacauan sosial jika semua orang memberontak terhadap sistem kastanya.
Saya yakin Aravind juga tidak berharap semua sopir menggorok leher majikannya
dan membawa kabur uangnya, sebagaimana kisah utama dalam The White Tiger.
Spirit
pemberontakan ala Balram memperkaya wajah India baru yang ditunjukkan kepada
dunia. Sebagai diplomat, toh sudah tugasnya menceritakan keadaan di negaranya.
Diplomat yang baik tentu tidak akan berbohong demi citra baik negerinya, bukan?
Dan, novel ini merupakan diplomasi sastra melawan dominasi kasta. (*)
*) Pencinta karya
sastra India, alumnus Hubungan Internasional Fisipol Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta
Sumber:
Jawa Pos, 16 Mei
2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar