Judul Buku: Tiga Kiai Khos
Penulis: Ainur Rofiq Sayyid Ahmad Penerbit: LKiS, Yogyakarta Cetakan: I, September 2008 Tebal: xiii+154 Halaman Peresensi: A. Syaiful A'la*) |
Saat
konflik di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pecah, muncullah istilah yang
dicetuskan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan nama kiai khos dan kiai
kampung. Buku yang ditulis Ainur Rofiq Sayyid Ahmad bukan berarti untuk
membedakan antara kiai khos dan kiai kampung. Tetapi yang dimaksud penulis
adalah untuk menjelaskan kepada publik, mana kiai yang harus menyandang gelar warasatul
al-anbiya’ (pewaris nabi)? Karena banyak kiai di beberapa daerah sekarang
ini yang tidak mencerminkan sebagai pewaris nabi ketika terjun dalam politik
praktis. Yang seharusnya menjadi kiai khos berubah menjadi kiai “kaos”, kiai
kampong—seorang kiai yang bersentuhan langsung dengan masyarakat—malah menjadi
kiai “kampungan” yang selalu membodohi masyarakatnya.
Disadari
atau tidak, kiai atau ulama telah dianggap sebagai pewaris para nabi –
sebagaimana disebutkan dalam sebuah Hadits—al ulama waratsatul anbiya’.
Dalam konteks ini, kiai berarti mempunyai dua fungsi. Pertama, li khilafati
an nubuwwah fi hirasati ad din (pemilik otoritas menegakkan agama). Kedua, wa
fi hirasati siyasati ad dunya, yakni membimbing umat manusia. Dalam
praktiknya, kemasyarakatan dan kenegaraan, idealnya nilai-nilia moral keulamaan
yang mengontrol kehidupan masyarakat dan moral ulama pula yang mengendalikan
sebuah kekuasaan.
Al-Ghazali
dalam kitabnya, Ihya’ al Ulumiddin, membagi ulama dalam tiga tingkatan.
Yakni al-ulama al dunya (hidup dan perjuangannya yang selalu diukur
dengan materi), al ulama ukhrawi (seorang ulama yang mengedapan amalan
ritual, penghambaan diri kepada Allah) dan al ulama’u su’un (menghalalkan
sesuatu dengan berbagai cara untuk kepentingan dirinya pada akhirnya
menjerumuskan dirinya pada jurang ketidakpastian).
Kata
“ulama akhirat” yang didefinisikan Imam Al-Ghazali sebenarnya bukanlah
pengetian yang cukup sederhana, yakni bukan hanya ulama berkutat pada sebuah
ritual mahdah, pengahambaan diri kepada Allah tanpa mempertimbangkan
atau memperhatikan apa yang terjadi sekitarnya. Melainkan ulama dalam arti yang
lebih luas, hakIkat dari ulama akhirat adalah bahwa karakteristik ulama selalu
menjadi ruh dan inspirasi bagi setiap kehidupan sosial, politik dan kultur
masyarakat. Dan, yang demikian itu, seperti yang dicontohkan ketiga kiai dari
Banyuwangi, Jawa Timur, dalam buku ini.
Pertama,
KH Zarkasi Djunaidi bukanlah seorang politisi praktis, namun hampir tidak satu
proses politik yang terjadi di Banyuwangi tidak luput dari sentuhan tangan
lembutnya. Di samping itu pula, dalam keseharian hidupnya, ia dikenal sebagai
sosok yang bijak. Ia mengerti dengan siapa ia berhadapan. Kalau berkumpul
dengan anak-anaknya menggunakan kata-kata layaknya kanak-kanak. Begitu juga
ketika berkumpul dengan orang tua, ia juga dengan gaya bahasa orang tua atau
dewasa (yukrim kabirana wa yarham shaghirana).
Kedua,
KH Mukhtar Syafaat bukanlah seorang ekonom, namun kontribusi terhadap
pemberdayaan ekonomi umat tidak kecil. Pengaruhnya semakin kuat dalam
pemberdayaan ekonomi kerakyatan ketika ia menyandang jabatan Mustasyar Pengurus
Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Banyuwangi. Hal itu sevisi dengan cikal bakal
berdirinya jam’iyah Bintang Sembilan itu, bahwa salah satu pilar berdirinya NU
adalah pemberdayaan ekonomi umat yang dikenal dengan jam’iyah Nahdlatut Tujjar
(kebangkitan para saudagar/pengusaha) yang digagas Hadratus Syeikh KH Hasyim
Asy’ari dan beberapa kiai semasanya.
Ketiga,
KH Askandar bukanlah pemegang tampuk kekuasaan negara atau militer, namun
perjuangannya untuk terus memberikan kesadaran terhadap masyarakat dan membela
Tanah Air (semangat nasionalisme) melawan penjajah tidak dapat disepelekan.
Perjalanan panjang yang dilaluinya dalam mengisi kemerdekaan, sebagai pengasuh
pesantren tetap tidak melupakan pesantrennya sebagai pusat pendidikan (education
center) bagi masyarakat. Bahkan, ketika masuk dalam perpolitikan nasional,
ia berkabung ke kepengurusan NU (Partai NU pada waktu itu). Tetapi kesibukan
dalam dunia politik tidak membuatnya lupa pada pesantrennya dan tunggung
jawabnya untuk membina masyarakat.
Kiai dan Politik
Selama
ini, politik oleh banyak orang selalu dikonotasikan yang negatif. Secara
substansinya seperti memang dari “sononya”. Melainkan, akibat terkait dengan
implementasinya yang justru menyimpang seperti yang dipertontonkan para
politikus saat ini. Akhirnya, masyarakat menyimpulkan sendiri bahwa kiai yang
terjun dalam politik praktis juga dicap jelek.
Yang
ironis, dalam percaturan politik, kiai terkadang memainkan segala peran untuk
memenuhi ‘syahwat’ politiknya guna tercapainya tujuan yang diinginkan.
Kata-kata “demi umat”, “ukhuwah”, “pembangunan”, “demokrasi”, “rakyat” sudah
menjadi ‘nasi’ dan ‘sayur’ bagi mereka untuk mengais perhatian. Dalil Al-Quran
pun sudah mereka lahap dengan nikmatnya, sekalipun tidak dalam konteks yang
sesungguhnya.
Buku
ini perlu dibaca para kiai atau calon kiai (santri) untuk menjadi rujukan bahwa
ketiga figur kiai di atas adalah benar-benar tidak terpengaruh dengan tawaran
duniawi yang sifatnya sementara (fana’). Tapi, lebih (selalu)
mengedepankan nilai-nilai kepentingan umat dalam jangka waktu panjang.
Melalui
buku ini, kita pun akan jernih melihat persoalan politik yang dimainkan kiai,
jalan panjang demokrasi kita. Misal, politik yang selalu distempel jelek
keterlibatan kiai dalam politik praktis. Sehingga mengakibatkan kehilangan jati
diri atau identitas ke-kiai-annya.[*]
*) Aktivis pada Komunitas Baca Surabaya
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar