Judul: Wajah Liberal
Islam Di Indonesia
Penyunting: Luthfi Assyaukanie Penerbit: Teater Utan Kayu dan Jaringan Islam Liberal Cetakan: 2002 Tebal: xx + 300 halaman Pengantar: Daniel S. Lev |
Setahun lalu, ketika wacana Islam liberal pertama kali muncul dalam
bentuk mailing list (islamliberal@yahoogroups.com), banyak orang yang
menyangsikan masa depannya. Kini, terbukti mailing list itu telah menjadi
sebuah wadah intelektual yang menarik, berbobot, dan berpengaruh, baik atas
pengertian agama Islam maupun (mudah-mudahan) atas penciptaan kembali negara
Indonesia.
Orang yang tak suka dengan tantangan intelektual yang serius, atau
malas memikirkan gagasan-gagasan yang tak biasa, atau sudah merasa nyaman
dengan apa yang ada, sebaiknya menjauhkan diri dari buku ini. Isinya lain dari
yang lain. Membaca kembali diskusi, perdebatan, analisis, argumentasi,
tafsiran, dan pertukaran pendapat yang terkandung dalam buku ini bukan hanya
tak membosankan, malah semakin menggairahkan pikiran (dan kadang-kadang
mengejutkan), seperti pertama kali saya membacanya dalam bentuk e-mail pagi
hari setelah menghidupkan komputer.
Setahun lalu, ketika wacana Islam liberal pertama kali muncul
dalam bentuk mailing list (islamliberal@yahoogroups.com), banyak orang yang
menyangsikan masa depannya. Kini, terbukti mailing list itu telah menjadi
sebuah wadah intelektual yang menarik, berbobot, dan berpengaruh, baik atas
pengertian agama Islam maupun (mudah-mudahan) atas penciptaan kembali negara
Indonesia.
Dari satu sisi, dapat diduga bahwa gerakan Islam liberal menjadi
begitu cepat berkembang karena fenomena hipermodern komputerisasi dan e-mail,
yang berimplikasi hanya pada kaum terdidik dan pengguna komputer (terutama dari
generasi muda) yang tak takut dengan dunia “modern,” yang bisa ikut dalam
wacana Islam liberal. Hal ini, sebagian mungkin betul. Tapi pandangan ini
terlalu gampang dan kurang mendalam, karena kini Islam liberal sudah masuk
koran dan radio, yang berindikasi pada kalangan peminat yang lebih luas dan
kompleks. E-mail menolong perluasan pandangan Islam liberal, tapi tanpa
landasan intelektual yang serius dan kuat serta audiensi besar yang haus
terhadap pengertian baru, gerakan semacam ini tidak mungkin bertahan lama.
Dapat dimengerti jika di antara para pembaca buku ini akan ada yang
merasa terkejut atau kagum atau bahkan marah dan jengkel. Kemarahan dan
kejengkelan akan terlihat di dalam buku ini antara yang berdebat keras tentang
satu atau lain isu. Ketegangan kelas tinggi sama sekali bukan hal baru dan
tidak mengherankan dalam perdebatan tentang soal-soal agama mana pun juga.
Malah dapat dikatakan bahwa dalam urusan agama (seperti juga dalam filsafat dan
apalagi politik) yang sangat berbahaya adalah ketenangan yang keterlaluan.
Persoalan pokok adalah bahwa yang menafsirkan prinsip-prinsip
agama, pada akhirnya, adalah manusia, dan kalau manusia itu tidak lagi berdebat
tentang isi kepercayaannya, atau menyerahkan tugas itu pada kalangan pimpinan
agama yang terlalu terbatas, akibatnya pembekuan agama terjadi. Justru
ketegangan itu mengisyaratkan bahwa satu agama (atau filsafat, atau politik)
belum mati, masih hidup dan masih melayani keperluan komunitasnya.
Sejak lama, setiap agama besar, yang mencoba memonopoli satu
ajaran, pada suatu waktu pasti akan ditentang. Dengan kata lain, pertentangan
itu adalah evolusi, perubahan, adaptasi, yang pelan atau cepat, pada keperluan
manusia dalam sejarah yang terus-menerus mengalami perubahan. Tentunya, proses
itu tidak gampang dan tak jarang menyebabkan perang, pembunuhan, siksaan, dan
lain-lain sebagainya— sering atas nama Tuhan—yang bertujuan mencegah
transformasi. Agama yang berhasil mengelak ketegangan itu, seperti juga negara
yang berhasil menindas perdebatan politik, makin lama makin statis dan
berorientasi pada kalangan pemuka (dan kepentingan) yang sangat sempit.
Mendobrak keadaan semacam itu tak mungkin tanpa perdebatan, ketegangan
intelektual, ideologis, dan juga politik. Dan untuk itu kadang-kadang perlu
mempertanyakan ide dan prinsip yang paling mendasar, termasuk hingga pada akar
eksistensi agama. Tanpa itu, sulit mengharapkan rekonstruksi.
Hanya saja, untuk menantang pemahaman agama tertentu demi menuju
pemahaman lain (menyangkut nilai dan norma agama), menuntut keberanian yang
luar biasa, kepercayaan diri yang cukup mendalam, rasa bertanggung jawab yang
besar, selain imajinasi baru dan pengetahuan agama yang tebal. Dan perlu juga
semacam sensitivitas pada titik sejarah yang mungkin terbuka pada pandangan
baru. Semua itu—keberanian intelektual, rasa tanggung jawab, imajinasi, pengetahuan—terlihat
jelas dalam kumpulan diskusi dan perdebatan dalam buku ini. Buku ini bakal
memaksa siapa saja yang suka membaca akan terus membacanya hingga lupa makan
dan tidur.
Orang mungkin akan bertanya: mengapa pandangan Islam Liberal
begitu menonjol justru di Indonesia, dan justru sekarang? Tentu saja, seperti
dapat tergambar buku ini, pandangan itu juga terdapat di Timur Tengah dan
India-Pakistan sejak dulu, tapi jarang sebegitu terang dan terbuka seperti di
Indonesia dalam setahun terakhir ini. Pertanyaan ini sulit dijawab. Tapi saya
kira, perubahan mendalam memang lebih gampang di “pinggir” daripada di “pusat,”
justru karena di “pusat” konstelasi agama (dan politik juga) lebih gampang
diawasi supaya tetap terjaga “kemurniannya.” Dalam sejarah agama Katolik,
misalnya, pergolakan dan pembaruan mulai dari luar Italia. Atau mungkin juga
Indonesia agak lain dari yang lain karena ukurannya, karena sejak dulu agama
Islam di Indonesia jauh lebih kompleks dan telah cukup lama terbiasa dengan
konflik tentang isu-isu agama.
Pertanyaan kedua, kenapa sekarang?—lebih sulit lagi. Mungkin ada
beberapa sebab, termasuk kebetulan sejarah yang terbuka untuk perubahan besar,
karena negara sedang lemah, suasana politik dan sosial serta intelektual sangat
labil, dan masyarakat mengharapkan perubahan. Selain itu, selama hampir empat
puluh tahun sedang dibentuk dan dipersiapkan generasi baru pemikir agama yang
terdidik, yang tidak merasa diri terisolasi dari kalangan intelektual lain,
yang bisa membaca tentang agama lain, yang juga tidak malu memikirkan kembali
sejarah agamanya (dan negaranya), dan malah tidak terlalu banyak mempersoalkan
asal-usulnya (misalnya apakah ia dari Muhammadiyyah atau Nahdlatul Ulama).
Momen istimewa ini cukup penting. Seperti diterangkan dalam buku ini,
pandangan liberal bukan hal baru dalam sejarah Islam, apakah di Timur Tengah
atau di Indonesia sendiri. Pada tahun 1950-an para pemimpin partai Islam pernah
melontarkan isu-isu pokok agama, tetapi jarang sekali secara terbuka.
Pertentangan politik pada zaman itu menjadi hambatan pembicaraan, seolah-olah
perdebatan tentang dasar agama merupakan pengakuan kelemahan prinsip partai
yang berlandasan Islam (hal sama juga dialami Partai Katolik dan Parkindo).
Hanya orang yang terbebas dari tuntutan politik sehari-hari, seperti Pak
Hazairin, yang rela mengajukan pandangan baru secara blak-blakan.
Pimpinan Orde Baru, yang meminggirkan kepartaian agama, agak
membebaskan umat Islam untuk memikirkan agamanya, lepas dari implikasi atau
konsekuensi politik. Pada permulaan tahun 1970-an orang yang sebelumnya
menjauhkan diri dari simbol-simbol agama tampak mulai bersembahyang lagi, ikut
ke masjid, dan turut aktif dalam grup diskusi Islam—Islam sebagai agama, bukan
Islam sebagai landasan politik. Dalam suasana itu, Nurcholish Madjid
mencetuskan pandangan barunya (sebetulnya tidak sama sekali baru) yang
merupakan salah satu langkah pertama dalam perjuangan Islam liberal. Dalam
ceramah dan karangannya, dia berani memisahkan Islam sebagai sumber pandangan
etika dan moralitas di satu sisi dari agama sebagai landasan politik di sisi
lain, dan menekan pada yang pertama sebagai tujuan terpenting dan menolak yang
kedua. Hanya saja, pada waktu itu tampaknya belum ada cukup banyak pemikir yang
rela menerima anjuran Nurcholish sebagai pembukaan suatu debat baru yang sangat
perlu. Saat itu keadaan belum matang.
Zaman sekarang lain, dan suasana juga lain. Islam liberal, yang
berlandasan jiwa intelektual yang berani, terbuka, jujur, dan rela berisiko,
memiliki akar yang kokoh dan karenanya hampir tak mungkin jika tak memiliki
pengaruh. Dalam buku ini, yang menarik, isu-isu yang sangat peka dan “sensitif”
dihadapi dengan santai. Setuju atau tidak setuju tidak jadi soal buat yang
menyumbang pandangannya, dan semestinya tidak jadi soal juga buat pembaca.
Sesudah diskusi pertama tentang Islam liberal di Timur Tengah, perdebatan makin
hangat tentang agenda Islam liberal di masa depan, soal sekularisasi,
rekonstruksi sejarah Alquran, dan teologi untuk negara modern. Dengan semua
daya tariknya, buku ini bakal menarik perhatian orang (yang beragama Islam atau
bukan), semoga semakin banyak yang mau membacanya, dan semoga buku-buku sejenis
lainnya akan terbit sesudahnya (dan mudah-mudahan juga akan diterjemahkan ke
dalam bahasa-bahasa lain).
Satu hal lagi sebelum kata pengantar ini saya akhiri. Persoalan
agama jarang terbatas maknanya pada agama saja. Sejak munculnya negara modern
pada abad ke-17, ketegangan antara negara dan agama hampir tak pernah lenyap,
dan harus diakui agama merupakan salah satu penjaga negara yang sangat penting.
Pembaruan agama mau tak mau akan mempengaruhi juga pembaharuan negara. Yang
menarik dalam gerakan Islam liberal adalah kehadiran—malah dapat dikatakan
dominasi-- generasi muda, seperti juga terlihat pada gerakan reformasi lain
sejak tahun 1998. Buku ini, meski secara eksplisit berbicara tentang agama,
secara implisit juga mencakup nasib negara Indonesia. [*]
Seattle, 24 Januari 2002
--Daniel S. Lev
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar