Judul: Where The Mountain Meets The Moon
Peresensi: Truly Rudiono Penulis: Grace Lin Penerjemah: Berliani M. Nugrahani Penyelaras: Ida Wajdi Terbit: November 2010 Penerbit: Atria |
Setelah
berlama-lama menikmati penampilan fisik, akhirnya buku ini mulai saya baca
kemarin. Tentunya dengan kecepatan gigi satu. Setiap bab berhenti sekian lama
guna menikmati aneka ilustrasi yang disajikan. beberapa baris dibaca ulang,
kadang malah menajdi satu halaman dibaca ulang. Saya jadi terobsesi dengan buku
ini. Saya menuntut kesempurnaan! Itu makanya saat saya menemukan
sebuah hal kecil yang mengganjal, saya langsung merasa kesal. Ok..ok..ok..
teramat sangat KESAL!
Hal kecil
memang, namun saat menemukannya, kedua alis saya segera bertemu! Buku ini
merngambil latar belakang Budaya China. Dalam Bahasa China terdapat
keunikan yang khas. Kita tidak akan menemukan huruf A, B, C dan seterusnya.
Setiap huruf yang ada memiliki bunyi dan arti yang berbeda.
Beberapa huruf memiliki aturan tersendiri. Misalnya huruf D dibaca T,
lalu huruf T dibaca The. Huruf B dibaca P, sementara huruf P dibaca PH. Masih
tak mengerti kenapa kesempurnaan saya ternodai?
Baiklah saya
perjelas. Dalam buku ini, terdapat panggilan untuk ayah dan ibu. Kata ibu,
disana biasa disebut Mama tentunya tetap ditulis dan dibaca Mama. Sementara
untuk ayah atau bapak biasa disebut papa dibaca Papa dari tulisan
Baba! Jadi bayangkan bagaimana terganggunya saya saat membaca tulisan Ma
dan Ba, waduh…………..!
Seluruh isi buku
ini menyebutkan kedua orang tua Minli dengan Ma dan Ba. Kenapa tidak dengan Ma
dan Pa? Berapa banyak orang Indonesia yang memahami Bahasa Mandarin, sehingga
bisa mengerti bahwa Ba yang dimakasud dalam buku ini adalah Pa untuk Papa.
Tentunya mereka yang tidak mengerti akan mengerutkan alis di awal cerita. Nah,
mengerti khan kenapa kesempurnaan saya terasa ternodai.
Tapi dari sisi
kisah yang disajikan jangan ditanya! Buku ini mengajarkan banyak hal! Ceritanya
sebenarnya sangat sederhana, mengingat buku ini ditujukan untuk remaja usia
8-12 tahun. Ceritanya tentang semangat mengubah nasib seorang gadis kecil
bernama Minli. Tapi pesan yang ingin disampaikan teramat menyentuh.
Keluarga Minli
tidak hanya miskin, namun miskin sekali sehingga memelihara seekor ikan sudah
merupakan beban. Mereka tinggal di kaki Gunung Nirbuah. Disebur Gunung
Nirbuah karena tidak ada hewan atau tumbuhan yang hidup disana. Setiap hari
kedua orang tuanya bekerja keras, demikian juga penduduk desa yang lain. Namun
orang tua Minli tetap tidak memiliki apa-apa. Mereka tak
memiliki benda berharga, kecuali dua buah uang tembaga yang diterima
Minli saat ia lahir. Minli bertekat mengubah peruntungan keluarganya.
Minli sangat
menyukai dongeng yang diceritakan ayahnya. Itu juga yang membuatnya tidak
kelihatan coklat dan suram seperti warga desa yang lain. Setiap kali sang ayah
bercerita, mata hitamnya bersinar-sinar bagaikan titik-titik air hujan yang
terpapar sinar matahari. Salah satu cerita yang sangat disukainya adalah
tentang Kakek Rembulan yang serba tahu.
Minli sangat ingin
menemui kakek rembulan dan memintanya mengubah peruntungan keluarganya.
Minli nekat meninggalkan rumahnya seorang diri. Berbekal seadanya
dan koin tembaga terakhir yang dimilikinya, Minli mulai menempuh perjalanan
panjang, yang sudah pasti bukan perjalanan biasa. Ia banyak
menemukan rintangan dan hambatan, namun Minli juga menemukan banyak sahabat
baru.
Secara tak
langsung, buku ini membawa budaya dan pemikiran ala China dalam diri kita. Kita
diberi tahu kenapa Bangsa China sangat menyukai memelihara Ikan Mas, terutama
terkait dengan Feng Shui. Bagaimana takdir tidak bisa dihindari, namun
kita perlu berusaha mengubahnya. Lalu rasa puas justru membuat kita tidak
pernah bsia mensyukuri apa yags udah kita raih. Kalimat favorit dalam buku ini
adalah Jika kau membahagiakan mereka yang ada di dekatmu, mereka yang jauh
darimu akan datang.
Grace Lin
membuat cerita ini karena tersinspirasi dari kisah-kisah cerita rakyat
yang membuatnya terpesona saat kecil. Naga dan ikan mas merupakan
binatang yang kerap muncul dalam cerita-cerita rakyat China. Selain memanjakan
kita dengan aneka ragam ilustrasi, buku ini juga mengandung cerita dalam
cerita. Cara bercerita sang penulis serta caranya merangkaikan kata-kata
sungguh menarik Setiap cerita yang diceritakan setiap tokoh dalam buku
ini ternyata merupakan sebuah rangkaian . Setiap cerita mendasari sebuah
peristiwa yang sedang berlangsung.
Dalam pembuatan
buku yang menawan ini, Grace Lin sebenarnya juga ingin menitipkan sebuah pesan
perdamaian. Setiap pembaca pasti memiliki interpretasi dan pemahaman yang
berbeda menegnai isi i cerita. Tapi Grace Lin ingin menyampaikan bahwa
selama kita memiliki seseorang untuk mencintai dan dicintai, kita adalah orang
yang beruntung dan memiliki keberuntungan yang harus syukuri. Dan ia a
benar-benar percaya akan hal itu. [*]
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar