Selasa, 25 Maret 2014

World Class Family Business: Membangun Perusahaan Keluarga Berkelas Dunia

Judul Buku: World Class Family Business: Membangun
                  Perusahaan Keluarga Berkelas Dunia
Penulis: A. B. Susanto
Penerbit: Quantum (Kelompok Mizan)
Tahun Terbit: Cetakan I, Maret 2005
Tebal: xvi + 222 (termasuk indeks)
Peresensi: M. Haninul Fuad*


Robert T. Kiyosaki, seorang “maha guru” bisnis, dalam bukunya (The Business School for People Who Like Helping People) mengatakan, “Kebanyakan orang tidak pernah menjadi kaya karena mereka menghabiskan hidupnya mengurus bisnis orang lain.” Kata-kata Kiyosaki memang terkenal boombastis dan persuasif. Tetapi, kata-kata itu belum terbukti mampu mengantarkan pebisnis menapaki sukses dalam membangun usahanya. Dan, belakangan terbukti kata-kata itu hanya mampu mengantarkan penulisnya menjadi penulis dan instruktur bisnis yang banyak dicari orang.
Pada buku lain, “World Class Family Business: Membangun Bisnis Keluarga Berkelas Dunia” A. B. Susanto (ABS), seorang managing partner the Jakarta Consulting Group (JCG), memberi tawaran baru tentang pengelolaan bisnis keluarga. Kata-kata dalam buku ini memang tidak seboombastis buku-buku seri “Rich Dad” Kiyosaki. Untuk menjawab permasalahan pengelolaan bisnis keluarga, buku ini layak untuk menjadi rujukan.
Buku ini serasa lengkap dengan disajikannya hasil penelitian tentang bisnis keluarga yang dilakukan oleh JCG. Selain itu, ABS juga memberikan langkah-langkah praktis dalam menjalankan bisnis keluarga agar menjadi bisnis berkelas dunia.
ABS membagi perusahaan keluarga menjadi dua macam. Pertama adalah family owned enterprise (FOE), yaitu perusahaan yang dimiliki oleh keluarga tetapi dikelola oleh profesional yang berasal dari luar lingkaran keluarga. Keluarga hanya berperan sebagai pemilik dan tidak melibatkan diri dalam operasi di lapangan. Perusahaan seperti ini merupakan bentuk lanjutan dari usaha yang semula dikelola oleh keluarga yang mendirikannya.
Jenis perusahaan keluarga yang kedua adalah family business enterprise (FBE), yaitu perusahaan yang dimiliki dan dikelola oleh keluarga pendirinya. Perusahaan tipe ini dicirikan oleh dipegangnya posisi-posisi kunci dalam perusahaan oleh anggota keluarga. Jenis perusahan keluarga yang kedua (FBE) inilah yang banyak terdapat di Indonesia (halaman 3).
Batasan lain tentang perusahaan diberikan oleh John L. Ward dan Craig E. Arnoff. Menurutnya, suatu perusahaan dinamakan perusahaan keluarga apabila terdiri dari dua atau lebih anggota keluarga yang mengawasi keuangan perusahaan. Sedangkan menurut Robert G. Donnelley dalam bukunya “The Fanily Business” suatu organisasi dinamakan perusahaan keluarga apabila paling sedikit ada keterlibatan dua generasi dalam keluarga itu dan mereka mempengaruhi kebijakan perusahaan.
Dunia bisnis dan dunia keluarga memang memiliki perbedaan yang amat curam. Jelas, dalam sebuah keluarga kepentingan keluarga akan mengalahkan kepentingan-kepentingan yang lain. Padahal, perusahaan menuntut sikap yang profesional. Termasuk juga dalam masalah kompensasi atau pembagian keuntungan.
Perusahaan profesional akan mendasarkan pemberian gaji pada nilai pasar dan riwayat kerja (kinerja) seseorang. Sedangkan keluarga mendasarkan pemberian gaji pada kebutuhan. Di sini terlihat betapa keluarga memiliki standar yang tidak jelas.
Dari masalah-masalah yang sering muncul dalam bisnis keluarga, terutama masalah profesionalisme, akhirnya muncul mitos, “generasi pertama membangun, generasi kedua menikmati, dan generasi ketiga menghancurkan”. Dan, ABS sengaja membahas masalah kepemimpinan dalam perusahaan keluarga, masalah konflik yang sering terjadi dalam bisnis keluarga, suksesi, kompetensi, dan budaya dalam perusahaan keluarga sebagai tawaran paradigma baru dalam bisnis keluarga. Semua ini tidak lain sebagai counter attack terhadap mitos: “generasi pertama membangun, generasi kedua menikmati, dan generasi ketiga menghancurkan”.
Dengan adanya perubahan pasar dan persaingan, muncul lima paradigma baru dalam lingkungan intern bisnis keluarga. Pertama, karyawan merupakan generasi baru yang berbeda dengan pendiri perusahaan. Yang perlu diperhatikan oleh pengelola bisnis keluarga, karyawan yang memiliki tingkat pendidikan tinggi (karyawan tingkat atas) mengharapkan adanya transparasi. Dan, karyawan tingkat bawah memiliki keberanian untuk melakukan tuntutan-tuntutan.
Paradigma kedua, meningkatnya isu-isu yang berkaitan dengan perburuhan, pemogokan, dan lain-lain. Ketiga, tingkat profesionalitas keluarga sudah mulai meningkat. Keempat, tuntutan adanya kompensasi yang adil dan sama (fair and equiptable compensation) baik melalui sistem kompensasi yang dikaitkan dengan kompetisi, kinerja, ataupun kontribusi. Dan yang kelima, yang terakhir, lebih transparannya sistem organisasi (halaman 39).
Masalah terpenting dalam keberlanjutan bisnis keluarga adalah masalah suksesi. Suksesi memang bukan satu-satunya penentu kelanggengan bisnis keluarga. Tapi, mau tidak mau generasi pendahulu harus memberikan tongkat estafet perusahaan kepada generasi berikutnya. Suksesi tidak hanya berarti pata tingkat pimpinan dan managerial saja, termasuk pada kebijakan-kebijakan perusahaan.
Dalam buku ini, ABS, memberikan tujuh langkah dalam melakukan suksesi perusahaan keluarga: mengevaluasi struktur kepemilikan; mengembangkan gambaran struktur yang diharapkan setelah suksesi; Mengevaluasi keinginan keluarga; mengembangkan proses pemilihan, melatih dan memonitoring penerus masa depan; Melakukan aktivitas team building dari keluarga; Menciptakan dewan direksi yang efektif; Yang terakhir, memasukkan penerus pada saat yang tepat, yaitu ketika pendiri berusia 50 tahun dan penerus berusia 30 tahun.
Buku karangan ABS ini sarat dengan istilah ekonomi. Tapi, untuk membacanya kita tidak perlu membuka kamus ekonomi. Dan, inilah salah satu kelebihan buku ini.[*]

*) Pengulas Buku, tinggal di Malang

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar