Judul Buku: World Class
Family Business: Membangun
Perusahaan Keluarga Berkelas Dunia
Penulis: A. B. Susanto Penerbit: Quantum (Kelompok Mizan) Tahun Terbit: Cetakan I, Maret 2005 Tebal: xvi + 222 (termasuk indeks) Peresensi: M. Haninul Fuad* |
Robert T. Kiyosaki, seorang “maha guru” bisnis, dalam bukunya (The
Business School for People Who Like Helping People) mengatakan, “Kebanyakan
orang tidak pernah menjadi kaya karena mereka menghabiskan hidupnya mengurus
bisnis orang lain.” Kata-kata Kiyosaki memang terkenal boombastis dan persuasif.
Tetapi, kata-kata itu belum terbukti mampu mengantarkan pebisnis menapaki
sukses dalam membangun usahanya. Dan, belakangan terbukti kata-kata itu hanya
mampu mengantarkan penulisnya menjadi penulis dan instruktur bisnis yang banyak
dicari orang.
Pada buku lain, “World Class Family Business: Membangun Bisnis
Keluarga Berkelas Dunia” A. B. Susanto (ABS), seorang managing partner the
Jakarta Consulting Group (JCG), memberi tawaran baru tentang pengelolaan bisnis
keluarga. Kata-kata dalam buku ini memang tidak seboombastis buku-buku seri
“Rich Dad” Kiyosaki. Untuk menjawab permasalahan pengelolaan bisnis keluarga,
buku ini layak untuk menjadi rujukan.
Buku ini serasa lengkap dengan disajikannya hasil penelitian
tentang bisnis keluarga yang dilakukan oleh JCG. Selain itu, ABS juga
memberikan langkah-langkah praktis dalam menjalankan bisnis keluarga agar
menjadi bisnis berkelas dunia.
ABS membagi perusahaan keluarga menjadi dua macam. Pertama adalah
family owned enterprise (FOE), yaitu perusahaan yang dimiliki oleh keluarga
tetapi dikelola oleh profesional yang berasal dari luar lingkaran keluarga.
Keluarga hanya berperan sebagai pemilik dan tidak melibatkan diri dalam operasi
di lapangan. Perusahaan seperti ini merupakan bentuk lanjutan dari usaha yang semula
dikelola oleh keluarga yang mendirikannya.
Jenis perusahaan keluarga yang kedua adalah family business
enterprise (FBE), yaitu perusahaan yang dimiliki dan dikelola oleh keluarga
pendirinya. Perusahaan tipe ini dicirikan oleh dipegangnya posisi-posisi kunci
dalam perusahaan oleh anggota keluarga. Jenis perusahan keluarga yang kedua
(FBE) inilah yang banyak terdapat di Indonesia (halaman 3).
Batasan lain tentang perusahaan diberikan oleh John L. Ward dan
Craig E. Arnoff. Menurutnya, suatu perusahaan dinamakan perusahaan keluarga
apabila terdiri dari dua atau lebih anggota keluarga yang mengawasi keuangan
perusahaan. Sedangkan menurut Robert G. Donnelley dalam bukunya “The Fanily
Business” suatu organisasi dinamakan perusahaan keluarga apabila paling sedikit
ada keterlibatan dua generasi dalam keluarga itu dan mereka mempengaruhi
kebijakan perusahaan.
Dunia bisnis dan dunia keluarga memang memiliki perbedaan yang
amat curam. Jelas, dalam sebuah keluarga kepentingan keluarga akan mengalahkan
kepentingan-kepentingan yang lain. Padahal, perusahaan menuntut sikap yang
profesional. Termasuk juga dalam masalah kompensasi atau pembagian keuntungan.
Perusahaan profesional akan mendasarkan pemberian gaji pada nilai
pasar dan riwayat kerja (kinerja) seseorang. Sedangkan keluarga mendasarkan
pemberian gaji pada kebutuhan. Di sini terlihat betapa keluarga memiliki
standar yang tidak jelas.
Dari masalah-masalah yang sering muncul dalam bisnis keluarga,
terutama masalah profesionalisme, akhirnya muncul mitos, “generasi pertama
membangun, generasi kedua menikmati, dan generasi ketiga menghancurkan”. Dan,
ABS sengaja membahas masalah kepemimpinan dalam perusahaan keluarga, masalah
konflik yang sering terjadi dalam bisnis keluarga, suksesi, kompetensi, dan
budaya dalam perusahaan keluarga sebagai tawaran paradigma baru dalam bisnis
keluarga. Semua ini tidak lain sebagai counter attack terhadap mitos: “generasi
pertama membangun, generasi kedua menikmati, dan generasi ketiga
menghancurkan”.
Dengan adanya perubahan pasar dan persaingan, muncul lima
paradigma baru dalam lingkungan intern bisnis keluarga. Pertama, karyawan
merupakan generasi baru yang berbeda dengan pendiri perusahaan. Yang perlu
diperhatikan oleh pengelola bisnis keluarga, karyawan yang memiliki tingkat pendidikan
tinggi (karyawan tingkat atas) mengharapkan adanya transparasi. Dan, karyawan
tingkat bawah memiliki keberanian untuk melakukan tuntutan-tuntutan.
Paradigma kedua, meningkatnya isu-isu yang berkaitan dengan
perburuhan, pemogokan, dan lain-lain. Ketiga, tingkat profesionalitas keluarga
sudah mulai meningkat. Keempat, tuntutan adanya kompensasi yang adil dan sama
(fair and equiptable compensation) baik melalui sistem kompensasi yang
dikaitkan dengan kompetisi, kinerja, ataupun kontribusi. Dan yang kelima, yang
terakhir, lebih transparannya sistem organisasi (halaman 39).
Masalah terpenting dalam keberlanjutan bisnis keluarga adalah
masalah suksesi. Suksesi memang bukan satu-satunya penentu kelanggengan bisnis
keluarga. Tapi, mau tidak mau generasi pendahulu harus memberikan tongkat
estafet perusahaan kepada generasi berikutnya. Suksesi tidak hanya berarti pata
tingkat pimpinan dan managerial saja, termasuk pada kebijakan-kebijakan
perusahaan.
Dalam buku ini, ABS, memberikan tujuh langkah dalam melakukan
suksesi perusahaan keluarga: mengevaluasi struktur kepemilikan; mengembangkan
gambaran struktur yang diharapkan setelah suksesi; Mengevaluasi keinginan
keluarga; mengembangkan proses pemilihan, melatih dan memonitoring penerus masa
depan; Melakukan aktivitas team building dari keluarga; Menciptakan dewan
direksi yang efektif; Yang terakhir, memasukkan penerus pada saat yang tepat,
yaitu ketika pendiri berusia 50 tahun dan penerus berusia 30 tahun.
Buku karangan ABS ini sarat dengan istilah ekonomi. Tapi, untuk
membacanya kita tidak perlu membuka kamus ekonomi. Dan, inilah salah satu
kelebihan buku ini.[*]
*) Pengulas Buku, tinggal di Malang
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar