Judul: 99 Kiai Kharismatik Indonesia;
Biografi, Perjuangan,
Ajaran, dan Doa-doa Utama yang
Diwariskan
Penulis: KH A. Aziz Masyhuri Penerbit: Kutub, Yogyakarta Cetakan: II, April 2008 Tebal: xvii + 340 halaman Peresensi: Fikrul Umam MS |
KH
Abdul Wahid Hasyim adalah putra kelima dari Hadratussyeikh KH Hasyim Asy’ari
dengan Nyai Nafiqah. Anak lelaki pertama dari 10 bersaudara yang lahir pada
Jumat, 1 Juni 1914 M, ketika di rumahnya sedang ramai dengan pengajian. Wahid
Hasyim adalah salah seorang dari silsilah yang bersambung hingga Joko Tingkir,
tokoh yang kemudian lebih dikenal dengan Sultan Sutawijaya yang berasal dari
kerajaan Islam Demak.
Sejak
kecil, Wahid Hasyim diperkenalkan dengan pengetahuan Islam dan dibebaskan untuk
mempelajari pengetahuan umum. Tidak soal baginya bagaimana mendapatkan buku
bahan bacaan walaupun kondisi ekonomi tergolong mampu, sehingga Wahid Hasyim
tumbuh dan berkembang. Wahid Hasyim kecil memiliki otak yang cerdas, ia sudah
pandai membaca Al-Quran dan malah sudah khatam ketika berusia 7 tahun.
Pada
April 1934, sepulang dari Mekah, Wahid Hasyim banyak diminta kawan-kawannya
agar aktif di perhimpunan atau organisasi yang dipimpinnya. Tawaran juga datang
dari Nahdlatul Ulama (NU). Pada tahun-tahun itu, di Tanah Air banyak berkembang
kaum nasionalis maupun keagamaan. Apa yang terjadi pada pergulatan panjang
pemikiran Wahid Hasyim tidak begitu cepat menentukan alur organisasi.
Kemungkinan pertama, ia menerima tawaran dan masuk ke dalam salah satu
perkumpulan atau partai yang ada. Kemungkinan kedua, mendirikan perhimpunan
atau partai sendiri.
Selama
4 tahun, Wahid Hasyim menimbang-nimbang berbagai tawaran, akhirnya dipilihlah
NU, tepatnya pada 1938, ia menyatakan menerima tawaran untuk aktif di NU. “NU
merupakan perhimpunan orang-orang tua yang geraknya lambat, tidak terasa dan
tidak revolusioner.” Namun di mata Wahid Hasyim memiliki nilai lebih dibanding
perhimpunan atau organisasi lain. Selama lebih satu dasawarsa, NU mengembangkan
sayapnya dan baru memiliki 20 cabang dan itu tempatnya berdekatan.
Selama
4 tahun Wahid Hasyim mengembangkan pemikiran kritisnya terhadap eksistensi
berbagai perhimpunan atau partai yang ada. Setelah itu, ia memilih NU, karena
dinilai lebih memberikan keyakinan kuat bahwa NU akan berpengaruh besar terhadap
perkembangan kebangkitan umat Islam di Indonesia. Buku yang sangat menarik
memberikan beragam informasi tentang tokoh-tokoh NU, di antaranya; KH Abdul
Wahab Hasbullah, KH Bisri Musthofa, KH Raden Asnawi Kudus, KH Ali Maksum, dan
lain-lain.
Pada
20 Desember 1949, Wahid Hasyim diangkat menjadi Menteri Agama dalam Kabinet
Hatta. Dalam kabinet pertama yang dibentuk presiden Soekarno, Wahid Hasyim
ditunjuk sebagai Menteri Negara. Dalam Kabinet Sjahrir pada 1946, setelah
terjadinya penyerahan kedaulatan dan berdirinya Republik Indonesia Serikat
(RIS) dan dalam Kabinet Hatta, ia menjadi Menteri Agama.
Pada
1952, Wahid Hasyim memprakarsai berdirinya Liga Muslim Indonesia, suatu badan
federasi yang anggotanya terdiri dari atas wakil-wakil NU, Partai Syarikat Islam
Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan Darul Dakwah
al-Irsyad. Susunan pengurusnya adalah Wahid Hasyim sebagai ketua, Abikusno
Cokrosuyoso sebagai wakil ketua I, dan H Sirojuddin Abbas sebagai wakil ketua
II.
Kelebihan
lain Wahid Hasyim adalah senang menulis. Tulisannya tersebar dalam bentuk
pidato-pidato resmi, ceramah-ceramah keagamaan dan artikel-artikel di berbagai
media massa. Karya-karya tulisannya antara lain; Nabi Muhammad dan
Persaudaraan Manusia; Berimanlah dengan Sungguh dan Ingatlah Kesabaran Tuhan;
Kebangkitan Dunia Islam; Kedudukan Ulama dalam Masyarakat Islam di Indonesia; dan
Islam antara Materialisme dan Mistik.
Meski
dikenal sebagai pemimpin nasional, Wahid Hasyim memiliki sikap tawadhu’ kepada
para ulama, terutama pada Hadratussyeikh KH Hasyim Asy’ari. [*]
*) Peresensi adalah aktivis Muda NU, tinggal di Yogyakarta
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar