Senin, 17 Maret 2014

Anregurutta Ambo Dalle; Maha Guru Dari Bumi Bugis



Judul : Anregurutta Ambo Dalle; Maha Guru Dari Bumi Bugis
Penulis : H M. Nasruddin Anshory
Penerbit : Tiara Wacana, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : xxxix + 180 halaman
Peresensi : Mashudi Umar*

Aspek kebudayaan kerap mewarnai strategi yang digunakan dalam dakwah keagamaan. Strategi itu seringkali membawa implikasi pada munculnya sinkretisme kultural religius sekaligus difungsikan sebagai perekat sosial dalam upaya penanaman nilai-nilai keagamaan.
Proses serupa nampak terjadi pada masuknya agama Islam ke dalam masyarakat Sulawesi Selatan. Melalui jendela kebudayaan Bugis, berlangsung persinggungan yang intens antara nilai-nilai Islam dan budaya Bugis, yang kemudian melahirkan sejumlah sinkretisme pada tataran konsep religio-kultural, seperti konsep dewata seuawae (dewata yang tunggal) dan konsep siri’ yang diadaptasikan dengan konsep jihad. Di dalam proses ini, figur yang muncul sebagai tokoh amat sering mengemuka sebagai agen kebudayaan yang berperan amat vital baik pada tataran religius maupun pada ruang kultural.
Ketika Islam datang pada abad ke 17, Sulawesi Selatan bukanlah oase yang kosong tanpa budaya. Di sana telah ada tatanan nilai dan tradisi yang telah terbangun yang mengalami suatu perjalanan panjang dan pengasahan waktu yang telah teruji oleh zaman. Kedatangan Islam bukanlah menggantikan sistem nilai dan tatanan yang telah ada tapi mengakomodasi semua tatanan dan nilai itu ke dalam Islam.
Hal itu disebabkan banyaknya ajaran Bugis yang sejalan dengan Islam yang fitrah dan universal dalam bingkai rahmatan lil’alamin. Berbagai ajaran Islam dan Bugis yang mengandung spirit dan unsur-unsur yang sama diadaptasikan dan dialogkan yang selanjutnya melanjutkan warna-warna kebudayaan Islam dengan pakaian budaya Bugis atau pakaian bugis muncul dalam Islam.
Jauh sebelum Islam datang di Sulawesi Selatan, orang Bugis telah menganut sebuah ajaran agama tradisional, yang sisa-sisanya masih dapat ditemukan dalam beberapa komunitas suku di Sulawesi Selatan sampai sekarang ini. Bahkan sebagian orang Bugis yang telah menganut agama Islam pun sekarang ini masih banyak memelihara tradisi-tradisi lama itu.
Ajaran-ajaran ini sama dengan hidup di pesantren, sebagai mottonya, al-mukhafadhatu ala-alqadimisshalih wa-alakhdu bil jadidi al-aslah (memelihara yang lama dan mengadopsi yang baru dan baik).
Figur yang membawa perubahan di bumi Bugis itu bernama Gurutta Ambo Dalle, pada mulanya ia memang diberi nama Ambo Dalle dan tambahan Abdurrahman di depannya itu diberikan ketika ia memasuki Madrasah Diniyah. Sebagai putra tunggal, Ambo Dalle memang mendapat perhatian yang lebih. Oleh ibunya, ia selalu mendapat kasing sayang. Konon ibunya sudah melihat tanda-tanda keistimewaan terhadap anaknya.
Hasil penelitian yang ditulis oleh Nasruddin Anshory ini, mengungkap fakta bahwa peranan Gurutta Ambo Dalle sebagai makhluk sosial yang lahir dan dibesarkan dalam struktur sosial masyarakat Bugis telah mendapat posisi yang terhormat dalam pranata dan sistem hierarki sosialnya, dan selalu mendapat sokongan dari penguasa yang memegang tampuk pemerintahan.
Keadaan sosial yang telah menempatkannya sebagai pemimpin sosial-moral  dengan kharisma yang menonjol itu sama sekali tidak membelenggu dirinya dengan munculnya isu yang berupa “melestarikan tradisi” sebagai obyek politik pemerintah (hlm 162).
Justru karena itulah, ia lebih peduli untuk menggumuli akar tradisinya. Melalui ceramah-ceramah, khutbah-khutbah dapat kita simak bahwa Gurutta Ambo Dalle selalu memakai idiom-idiom khas Bugis, baik dari segi pengutaraan bahasanya maupun penalaran ceramah selalu komunikatif dan bisa menyesuaikan dengan masyarakat. Dengan kata lain, bahwa penyampaian GAD selalu sesuai dengan konteks zaman saat itu yang tetap memelihara adat Bugis yang layak untuk dipertahankan.
Menurut GAD, bahwa di dalam al-Qur’an terkandung segala macam disiplin ilmu dan tidak pernah kering direguk, seperti pendidikan, pernikahan, politik, budaya dan filsafat manusia dan lain-lain. Maka ia telaah secara serius makna Al-Qur’an, hingga pada akhirnya ia amalkan pelan-pelan kepada masyarakat sekitarnya.
Buku ini juga termasuk autobigrafi yang merekam riwayat hidup seseorang pasti memiliki nilai lebih yang bisa dipelajari dari figur bersangkutan yang dituangkan baik ditulis oleh yang bersangkutan maupun hasil penelitian orang lain. Pendapat itu berlaku juga pada sosok Gurutta Ambo Dalle yang hidup di daerah Bugis Sulawesi Selatan.
Buku yang dibagi dalam tujuh bagian berisi kisah hidup tentang GAD, yang pertama adalah Tepi Danau Tempe Dan Munculnya Sang Sinar. Ini bercerita soal kelahiran Ambo Dalle kecil yang penuh dengan keprihatinan masyarakat Wajo dan sekitarnya.
Wajo adalah salah satu kerajaan yang masih diakui Belanda sebagai negeri yang berstatus contrak tulee bondgenooten, yakni negeri merdeka secara hukum setara dengan pemerintahan Hindia Belanda, tetapi sudah terikat perjanjian dengan pemerintah penjajahan (hlm 3).
Kedua adalah Beringsut Mencari Wujud. Ia mulai melangkah untuk mencapai cita-cita, terkadang ia harus tersandung-sandung pelbagai persoalan di masyarakatnya, tak jarang pula ia harus terjungkal dalam menempuh perjalanannya.
Ketiga adalah Merintis Jalan Pembaruan. Ambo Dalle muda melakukan pelbagai perubahan di tengah masyarakat khususnya pemahaman agama Islam yang benar. Keempat adalah Sayap Yang Mengembang Di Tengah Revolusi.
Sedangkan bagian kelima adalah Hidup Dalam Hutan. Keenam adalah Kerikil Dalam Perjuangan dan bagian yang ketujuh adalah Di Hadapan Masyarakat Yang Terus Berubah.
Buku ini berusaha mengungkap dinamika sosial keagamaan pada masyarakat Bugis melalui kasus tokoh keagamaan yaitu, Anregurutta Haji Abdurrahman Ambo Dalle, Sang Maha Guru Dari Bumi Bugis. Ambo Dalle adalah manusia multidimensi dengan kebesaran dan kecerdasan intelektual dan sosial yang amat tinggi. Kerikil-kerikil dalam perjuangan untuk menegakkan kebenaran merupakan hal biasa yang dialami oleh tokoh yang bersangkutan. Rintangan tersebut bukanlah jalan untuk putus asa, melainkan sebagai motivasi yang selalu dinamis dalam melakukan perubahan kearah yang lebih baik. Itulah yang dialami oleh Maha Guru Dari Bugis dalam perjuangannya menyiarkan panji-panji Islam sekaligus tidak menabrak adat yang sudah berjalan.
Gurutta Ambo Dalle yang lahir dan dibesarkan sebagai orang Bugis, pada perkembangan kehidupannya tida mensosokkan ciri-ciri primordialistik secara khusus dan ekslusif dalam perilaku, sikap, penalaran dan upaya perekayasaan sosialnya.
Ia berjuang keras di bidang pendidikan dan mampu menebarkan kasih sayang kepada segenap umat dengan jalan silaturrahim serta piawai berjihad dengan indah melalui jalan dakwah untuk mengajak masyarakat segala lapisan ke jalan lurus. [*]

* Peresensi adalah staf pengajar Pondok Pesantren Zainul Huda Arjasa Sumenep Madura, Jawa Timur

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar