Judul : Anregurutta Ambo Dalle; Maha
Guru Dari Bumi Bugis
Penulis : H M. Nasruddin Anshory Penerbit : Tiara Wacana, Yogyakarta Cetakan : Pertama, 2009 Tebal : xxxix + 180 halaman Peresensi : Mashudi Umar* |
Aspek
kebudayaan kerap mewarnai strategi yang digunakan dalam dakwah keagamaan.
Strategi itu seringkali membawa implikasi pada munculnya sinkretisme kultural
religius sekaligus difungsikan sebagai perekat sosial dalam upaya penanaman
nilai-nilai keagamaan.
Proses
serupa nampak terjadi pada masuknya agama Islam ke dalam masyarakat Sulawesi
Selatan. Melalui jendela kebudayaan Bugis, berlangsung persinggungan yang
intens antara nilai-nilai Islam dan budaya Bugis, yang kemudian melahirkan
sejumlah sinkretisme pada tataran konsep religio-kultural, seperti konsep dewata
seuawae (dewata yang tunggal) dan konsep siri’ yang diadaptasikan
dengan konsep jihad. Di dalam proses ini, figur yang muncul sebagai tokoh amat
sering mengemuka sebagai agen kebudayaan yang berperan amat vital baik pada
tataran religius maupun pada ruang kultural.
Ketika
Islam datang pada abad ke 17, Sulawesi Selatan bukanlah oase yang kosong tanpa
budaya. Di sana telah ada tatanan nilai dan tradisi yang telah terbangun yang
mengalami suatu perjalanan panjang dan pengasahan waktu yang telah teruji oleh
zaman. Kedatangan Islam bukanlah menggantikan sistem nilai dan tatanan yang
telah ada tapi mengakomodasi semua tatanan dan nilai itu ke dalam Islam.
Hal
itu disebabkan banyaknya ajaran Bugis yang sejalan dengan Islam yang fitrah dan
universal dalam bingkai rahmatan lil’alamin. Berbagai ajaran Islam dan
Bugis yang mengandung spirit dan unsur-unsur yang sama diadaptasikan dan
dialogkan yang selanjutnya melanjutkan warna-warna kebudayaan Islam dengan
pakaian budaya Bugis atau pakaian bugis muncul dalam Islam.
Jauh
sebelum Islam datang di Sulawesi Selatan, orang Bugis telah menganut sebuah
ajaran agama tradisional, yang sisa-sisanya masih dapat ditemukan dalam
beberapa komunitas suku di Sulawesi Selatan sampai sekarang ini. Bahkan
sebagian orang Bugis yang telah menganut agama Islam pun sekarang ini masih
banyak memelihara tradisi-tradisi lama itu.
Ajaran-ajaran
ini sama dengan hidup di pesantren, sebagai mottonya, al-mukhafadhatu
ala-alqadimisshalih wa-alakhdu bil jadidi al-aslah (memelihara yang lama dan
mengadopsi yang baru dan baik).
Figur
yang membawa perubahan di bumi Bugis itu bernama Gurutta Ambo Dalle, pada
mulanya ia memang diberi nama Ambo Dalle dan tambahan Abdurrahman di depannya
itu diberikan ketika ia memasuki Madrasah Diniyah. Sebagai putra tunggal, Ambo
Dalle memang mendapat perhatian yang lebih. Oleh ibunya, ia selalu mendapat
kasing sayang. Konon ibunya sudah melihat tanda-tanda keistimewaan terhadap
anaknya.
Hasil
penelitian yang ditulis oleh Nasruddin Anshory ini, mengungkap fakta bahwa
peranan Gurutta Ambo Dalle sebagai makhluk sosial yang lahir dan dibesarkan
dalam struktur sosial masyarakat Bugis telah mendapat posisi yang terhormat
dalam pranata dan sistem hierarki sosialnya, dan selalu mendapat sokongan dari
penguasa yang memegang tampuk pemerintahan.
Keadaan
sosial yang telah menempatkannya sebagai pemimpin sosial-moral dengan
kharisma yang menonjol itu sama sekali tidak membelenggu dirinya dengan
munculnya isu yang berupa “melestarikan tradisi” sebagai obyek politik
pemerintah (hlm 162).
Justru
karena itulah, ia lebih peduli untuk menggumuli akar tradisinya. Melalui
ceramah-ceramah, khutbah-khutbah dapat kita simak bahwa Gurutta Ambo Dalle
selalu memakai idiom-idiom khas Bugis, baik dari segi pengutaraan bahasanya
maupun penalaran ceramah selalu komunikatif dan bisa menyesuaikan dengan
masyarakat. Dengan kata lain, bahwa penyampaian GAD selalu sesuai dengan
konteks zaman saat itu yang tetap memelihara adat Bugis yang layak untuk
dipertahankan.
Menurut
GAD, bahwa di dalam al-Qur’an terkandung segala macam disiplin ilmu dan tidak
pernah kering direguk, seperti pendidikan, pernikahan, politik, budaya dan
filsafat manusia dan lain-lain. Maka ia telaah secara serius makna Al-Qur’an,
hingga pada akhirnya ia amalkan pelan-pelan kepada masyarakat sekitarnya.
Buku
ini juga termasuk autobigrafi yang merekam riwayat hidup seseorang pasti
memiliki nilai lebih yang bisa dipelajari dari figur bersangkutan yang
dituangkan baik ditulis oleh yang bersangkutan maupun hasil penelitian orang
lain. Pendapat itu berlaku juga pada sosok Gurutta Ambo Dalle yang hidup di
daerah Bugis Sulawesi Selatan.
Buku
yang dibagi dalam tujuh bagian berisi kisah hidup tentang GAD, yang pertama
adalah Tepi Danau Tempe Dan Munculnya Sang Sinar. Ini bercerita soal kelahiran
Ambo Dalle kecil yang penuh dengan keprihatinan masyarakat Wajo dan sekitarnya.
Wajo
adalah salah satu kerajaan yang masih diakui Belanda sebagai negeri yang
berstatus contrak tulee bondgenooten, yakni negeri merdeka secara hukum
setara dengan pemerintahan Hindia Belanda, tetapi sudah terikat perjanjian
dengan pemerintah penjajahan (hlm 3).
Kedua
adalah Beringsut Mencari Wujud. Ia mulai melangkah untuk mencapai cita-cita,
terkadang ia harus tersandung-sandung pelbagai persoalan di masyarakatnya, tak
jarang pula ia harus terjungkal dalam menempuh perjalanannya.
Ketiga
adalah Merintis Jalan Pembaruan. Ambo Dalle muda melakukan pelbagai perubahan
di tengah masyarakat khususnya pemahaman agama Islam yang benar. Keempat adalah
Sayap Yang Mengembang Di Tengah Revolusi.
Sedangkan
bagian kelima adalah Hidup Dalam Hutan. Keenam adalah Kerikil Dalam Perjuangan
dan bagian yang ketujuh adalah Di Hadapan Masyarakat Yang Terus Berubah.
Buku
ini berusaha mengungkap dinamika sosial keagamaan pada masyarakat Bugis melalui
kasus tokoh keagamaan yaitu, Anregurutta Haji Abdurrahman Ambo Dalle, Sang Maha
Guru Dari Bumi Bugis. Ambo Dalle adalah manusia multidimensi dengan kebesaran
dan kecerdasan intelektual dan sosial yang amat tinggi. Kerikil-kerikil dalam
perjuangan untuk menegakkan kebenaran merupakan hal biasa yang dialami oleh
tokoh yang bersangkutan. Rintangan tersebut bukanlah jalan untuk putus asa,
melainkan sebagai motivasi yang selalu dinamis dalam melakukan perubahan kearah
yang lebih baik. Itulah yang dialami oleh Maha Guru Dari Bugis dalam
perjuangannya menyiarkan panji-panji Islam sekaligus tidak menabrak adat yang
sudah berjalan.
Gurutta
Ambo Dalle yang lahir dan dibesarkan sebagai orang Bugis, pada perkembangan
kehidupannya tida mensosokkan ciri-ciri primordialistik secara khusus dan
ekslusif dalam perilaku, sikap, penalaran dan upaya perekayasaan sosialnya.
Ia
berjuang keras di bidang pendidikan dan mampu menebarkan kasih sayang kepada
segenap umat dengan jalan silaturrahim serta piawai berjihad dengan indah melalui
jalan dakwah untuk mengajak masyarakat segala lapisan ke jalan lurus. [*]
* Peresensi adalah staf pengajar Pondok Pesantren Zainul Huda Arjasa Sumenep Madura, Jawa Timur
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar