Judul Buku: Afrika Gila Bola:
Politik Sepak Bola
Tuan Rumah Piala Dunia
Penulis : Connoe M. Anderson dkk
Penyunting: Geger Riyanto
Penerbit: Kepik Ungu, Depok
Cetak : Mei, 2010
Tebal: 168 halaman
Peresensi: Bandung Mawardi
|
Kehadiran buku ini memang memiliki relevansi
dengan penyelenggaraan Piala Dunia 2010. Buku ini tidak meniatkan diri sebagai
buku panduan penonton, rumus-rumus prediksi kemenangan, atau profil pemain.
Buku mungil ini justru memberikan suguhan wacana multiperspektif mengenai sepak
bola di Benua Afrika dan Afrika Selatan.
Kumpulan empat artikel di buku ini merupakan
studi intensif dan analitis dengan perspektif sosiologis, antropologis,
etnografis, historis, dan politis. Sepak bola menjadi tema inklusif untuk
membaca nasionalisme, politik global, ekonomi global, sosial-kultural
lokalitas, proyek demokratisasi, dan lain-lain.
Afrika Selatan menjadi tuan rumah Piala Dunia
2010. Fakta itu mengejutkan dan menakjubkan karena negara di benua miskin
tersebut sanggup memikat FIFA untuk membuat keputusan mengesankan. Pilihan
Afrika Selatan sebagai tuan rumah mencakup kalkulasi kebijakan sepak bola,
politik, ekonomi, sejarah, sosial, dan kultural. Justin van der Merwe
menjelaskan bahwa keputusan itu merupakan proyek ambisius FIFA untuk
menduniakan sepak bola dengan konsekuensi politis. Politik persepakbolaan dunia
dengan gamblang tergelar di Afrika Selatan. Piala Dunia tidak sekadar urusan
sepak bola, tapi pemahaman atas nasib dan ambisi Benua Afrika.
Afrika Selatan dengan sejarah kelam apartheid
sanggup mengubah diri demi pemartabatan melalui sepak bola. Diskriminasi ras
pernah menodai sepak bola di Afrika Selatan dalam ajang kompetisi lokal dan
dunia. Kebijakan rasial membuat Afrika Selatan kerap tercoret karena
mengabaikan politik kesetaraan dan HAM dalam olahraga. Masa kelam itu menjadi
sumber pembelajaran untuk membenahi diri saat godaan menjadi tuan rumah Piala
Dunia diperebutkan oleh pelbagai negara. Afrika Selatan tampil dengan semringah
dan gairah. Kemenangan untuk menjadi tuan rumah itu ditopang oleh proyek
demokratisasi sejak 1990-an dan olahan spirit dari perpolitikan Nelson Mandela.
Piala Dunia 2010 diartikan Merwe sebagai bukti proyek kesetaraan dalam tatanan
sepak bola internasional dan memperkuat persekutuan di antara Benua Afrika dan
blok negara-negara berkembang di benua lain.
”Olahraga adalah agama di Afrika Selatan.”
Pernyataan itu impresif dan menggambarkan ekspresi puncak atas model resistansi
terhadap warisan rezim apartheid. Kutipan dari Farred (1997) dan Nauright
(1997) menyebutkan, ”Afrika Selatan merupakan negara paling gila olahraga di
dunia.” Biografi olahraga itu memang tidak sekadar ucapan karena geliat Afrika
Selatan dalam pentas dunia memang kerap diacukan pada olahraga untuk mengatasi
stigma politik apartheid. Politik bisa membungkam, tapi olahraga membebaskan
dan menggairahkan hidup.
Kutipan berikut ini mungkin bisa jadi ilustrasi
makna sepak bola di Afrika Selatan dalam masa rezim apartheid: ”Sepak bola
memberikan ruang untuk melepaskan emosi dan menikmati kebersamaan dengan ribuan
fans lainnya. Ia menjadi suatu ajang pembebasan sementara dari pengawasan
penguasa kulit putih yang membuat para buruh kulit hitam terpecah, diintai
bahaya, hidup tidak layak, dan kehilangan nilai-nilai kehidupan” (Anderson,
Bilert, dan Jones, 2001). Hendricks (1989) juga mengakui bahwa sepak bola
memberikan jalan kepada orang-orang di Afrika Selatan untuk menemukan idola
kehidupan dalam tegangan tekanan politik dan impian kebebasan.
Kegilaan Afrika Selatan dalam sepak bola bisa
ditelusuri dalam sejarah pengenalan sepak bola oleh penjajah pada 1870-an.
Sepak bola pada masa itu dimainkan oleh orang kulit hitam, kulit putih, ras
India, dan ras campuran. Sepak bola menjadi ikon dari pembedaan kelas dan jalan
politik. Connie M. Anderson, Troy A. Bielert, dan Ryan P. Jones dalam Aku
Afrika maka Aku Bersepak Bola: Sepak Bola dan Gairah Berbangsa menjelaskan,
”Sepak bola merupakan olahraga milik kelompok etnis, kelas, agama, dan atlet
yang dimarginalkan oleh kalangan penguasa.”
Marginalisasi itu tidak diratapi, tapi dijadikan
argumentasi dalam mengafirmasi sepak bola sebagai spirit dan praktik
pembebasan. Proses panjang tersebut membuat Afrika Selatan berhasil membuktikan
diri untuk menjadikan sepak bola sebagai simbol kesetaraan pada hari ini.
Sepak bola mengantarkan Afrika Selatan pada
pergaulan dunia secara interaktif. Masa kelam apartheid yang tergantikan dengan
pengakuan Afrika Selatan pada 1990-an dalam ajang sepak bola dunia memberikan
akses pencalonan menjadi tuan rumah Piala Dunia. Usaha itu pernah dilakukan
pada 2006, tapi gagal karena kalah satu suara. Kegagalan itu pun bisa
ditafsirkan secara politis karena pada putaran terakhir pemilihan tidak
dihadiri oleh Nelson Mandela selaku presiden Afrika Selatan. Pendekatan dan
aroma politik ternyata menentukan nasib suatu negara dalam ajang perebutan
menjadi tuan rumah Piala Dunia.
Usaha itu memang gagal, tapi membuktikan ambisi
Afrika Selatan untuk mendapat pengakuan internasional dan bermartabat di mata
FIFA. Paul Darby menganggap kerja keras Afrika Selatan yang memikat publik
sepak bola dunia merupakan realisasi proyek menantang eurosentrisme dalam tubuh
FIFA. Resistansi itu menggambarkan pertarungan kekuatan sepak bola
bangsa-bangsa Afrika dengan sepak bola Eropa Barat. Keberhasilan menjadi tuan
rumah Piala Dunia 2010 tentu memberikan arti penting dalam proses panjang
Afrika Selatan menyapa dan memikat dunia.
Dunia pun bakal menikmati Afrika Selatan dalam
suguhan pertandingan sepak bola, biografi politik, eksotisme lokalitas,
progresivitas demokratisasi, praktik politik kesetaraan, dan lain-lain. Afrika
Selatan berhasil memikat dunia kendati memiliki sejarah kelam. Benua Afrika
secara politis ingin setara dengan benua-benua lain dalam kancah politik-ekonomi
global. Sepak bola menjadi juru bicara. Pemaknaan Piala Dunia 2010 membuka
jalan bagi Afrika Selatan dan negara-negara di Benua Afrika untuk menyuarakan
diri demi pemartabatan bangsa di mata dunia. (*)
Dimuat
di Jawa Pos, 11 Juli 2010
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar