Semenjak kelahirannya di
bumi berabad-abad lalu, gereja telah memiliki pengalaman sejarah yang panjang
dan berliku-liku. Kehadiran buku karangan Anton Wessels ini akan memberikan
kesaksian berbagai kisah-kisah gereja yang sangat beragam. Lebih menarik
kemudian, ketika isi buku ini ternyata berbicara secara runtut mengenai sejarah
kemunculan geraja di jazirah Timur-Tengah.
Judul Buku: Arab dan Kristen:
Gereja-gereja
Kristen di Timur-Tengah
Penulis: Anton wessels
Judul Asli: Arabier en Crhisten:
Christelijke kerken in het Midden-Oosten.
Penerjemah: Ny Tati S.L Tobing-Kartohadiprojo
Penerbit: PT BPK Guung mulia (anggota IKAPI)
Tebal: xxii+234 halaman
Peresensi: Faiz Manshur
|
Secara definitif gereja pada mulanya adalah tempat peribadatan umat beragama Nasrani. Dalam prakteknya gereja mempunyai prinsip yang hakiki sebagai sarana “persekutuan orang-orang yang dipanggil untuk dijadikan milik Tuhan”. Definisi ini diambil dari kata Yunani ekklesia (ek-kaleo, memanggil keluar) dan kuriake atau kuriakon (milik kurios yaitu Tuhan). Dari sisi ini gereja ingin mewujudkan persekutuan antar sesama pemeluk agama demi melaksanakan tugas panggilan, kesaksian (baiat), dan pelayanan. Gereja yang memiliki fungsi peribadatan dan fungsi sosial tentu saja bukan lembaga eksklusif atau isolatif, yang menutup diri dan tidak berhubungan dengan pihak-pihak lain, sebaliknya, gereja itu inklusif dan partisipatif, terlibat dalam menganggulangi problem-problem sosial kemasyarakatan.
Memperbincangkan institusi
gereja dan peranannya dalam kehidupan memang sangat menarik. Semenjak
kelahirannya di bumi berabad-abad lalu, gereja telah memiliki pengalaman
sejarah yang panjang dan berliku-liku. Kehadiran buku karangan Anton Wessels
ini akan memberikan kesaksian berbagai kisah-kisah gereja yang sangat beragam.
Lebih menarik kemudian, ketika isi buku ini ternyata berbicara secara runtut
mengenai sejarah kemunculan geraja di jazirah Timur-Tengah. Keberadaan gereja
di Timur-Tengah memang bukan hal baru. Bahkan karena agama itu sendiri lahir
negeri Timur-Tengah, tepatnya di Palestina, sejarah pergulatan gereja tidak
pernah melepaskan diri dari konteks sejarah peradaban sosial di sana.
Lebih dari itu, sebelum
kadatangan Islam, agama dengan gerejanya telah berabad-abad hidup sebagai salah
satu agama besar di daratan Timur-Tengah. Karena itu jika masih ada klaim bahwa
jazirah Timur-Tengah identik dengan Islam atau dengan kata lain yang Arab
pastilah Islam sebenarnya adalah asumsi yang tidak benar. Memang, secara mayoritas
orang Arab tidak mau menerima kehadiran agama Kristen. Sebelum Islam masyarakat
arab lebih suka memeluk ajaran paganisme atau penyembah berhala. Tapi itu bukan
berari jazirah Arab tidak ada gereja sama sekali. Di kota Sana’a (Ibukota
Zaman) pernah berdiri sebuah bangunan gereja, yang agaknya dianggap sebagai
saingan Ka’bah. (hal xvi). Di Syiria Barat telah lama berdiri gereja
Yokobinistis (monofistis), kini lazim disebut gereja ortodok Siria. Gereja
monofistis serupa juga ditemukan di kota muslim Kairo dengan nama Koptis.
Gereja-gereja tersebut digolongkan oleh penulisnya sebagai gereja Maronit yang
artinya masuk kategori ortodok.
Lain dari itu, dalam buku
ini terdapat banyak cacatan mengenai situs-situs gereja yang dengan berbagai
varian sejarahnya banyak bertebaran di negeri-negeri muslim jazirah
Timur-Tengah. Membaca buku ini, kita akan menemukan berbagai warisan-warisan
sejaran gereja yang cukup banyak. Para pengamat keagamaan yang kurang banyak
meneliti tentang keberadaan gereja di Timur-Tengah mungkin saja akan
tercengang-cengang membaca kisah-kisah gereja di sana.
Fenomena kebaradaan gereja
bukan hanya sebagai sarana fisik semata, melainkan sebagai simbol kajian
kehidupan keagamaan. Sebagai bagian integral dari realitas sosiologis, gereja
mempunyai persinggungan yang unik dengan Islam. Dikisahkan, tentang Muhamad
yang muncul sebagai nabi Islam di abad ke tujuh sesudah Kristus, pada masa
remajanya ia pernah berjumpa dengan seorang rahib dan bahkan pernah mengikuti
khotbah dari seorang pengkhotbah jalanan pada suatu pesta tahunan. Demikian
pula pernah beredar cerita tentang saudara sepupu Muhamad yang beragama
Kristen. Muhamad sendiri sebagai Nabi Islam menganggap orang-orang Kristen itu
sebagai ahlul kitab, (orang-orang yang dipenuhi oleh ajaran kitab), dan tidak
dikatakan sebagai orang kafir. Hal itu, berarti mereka harus dihargai dan
dibiarkan tanpa diusik, dan tidak dipaksa untuk beralih ke dalam agama Islam,
sekalipun pada dasarnya peralihan itu sangat diharapkan.(hal xvii)
Persinggungan antara Islam dan Kristen di masa nabi dan beberapa penguasa Islam
pada masa-masa itu sangat harmonis.
Ada lagi sebuah kisah unik
tentang Umar bin Khatab yang sedang berkunjung ke Yerusalem. Ketika tiba
waktunya ia menunaikan lbadah Salat, ia segera keluar ke halaman gereja
kemudian sembahyang di depan tangga masuk. Tentu saja para pengikut setianya
sekaligus orang Kristen yang pada waktu memperhatikannya jadi bingung. ”Apa
yang membuat seorang khalifah yang sangat berkuasa mau sembahyang di halaman?”
kira-kira begitu pikir mereka. Kemudian Umar menjawab pertanyaan mereka: ”Jika
saya sembahyang di dalam gereja setelah saya mati nanti, para pengikutku akan
mengubah gereja ini menjadi masjid dengan alasan Umar pernah salat di tempat
ini.” Cerita tersebut terjadi pada awal kebangkitan Islam. Antara gereja dan
masjid dalam kurun waktu yang cukup lama telah bersinggungan secara damai.
Namun, ketika konflik politik, terutama pada saat Umar mulai melakukan ekpedisi
perdagangan ala kolonialisme ke wilayah luar Arab, gereja kemudian menjadi
salah satu tumbalnya. Orang-orang Kristen karena kebetulan banyak berada di
luar wilayah Arab menjadi sasaran kepentingan ekonomi-politik khilafah Arab.
Mereka disuruh masuk memeluk Islam dengan cara melebihkan pajak atau dengan
iming-iming posisi kekuasaan jika mau masuk Islam. Islam sendiri dalam
pengertian politik ini tidak lagi murni menghargai perbedaan antar umat
beragama. Ada banyak fakta adanya kepentingan politik lebih menonjol ketimbang
persoalan perbedaan agama.
Nasib gereja di jazirah
Timur-Tengah semenjak masa ini kian suram. Namun, eksistensinya tidak bisa
dihilangkan keseluruhan. Kekuatan Kristen yang minoritas ternyata masih
memberikan kesaksian bahwa gereja adalah simbol peradaban umat manusia yang
tidak bisa begitu saja dihilangkan oleh ganasnya gelombang politik.
Sekalipun fenomena gereja
sebagai simbol keagamaan umat nasrani, namun di dalamnya banyak memuat
kisah-kisah kehidupan dengan berbagai persentuhan kebudayaan dengan agama-agama
lain di sana. Suka duka umat sebagai kelompok minoritas banyak digambarkan
dalam buku ini. Masing-masing tradisi semisal Kristen Ortodoks, Maroit, Koptik,
yakobit, Nestorian, dll terekam secara empiris.
Akhirnya, penting untuk
bagi kita umat beragama untuk mengetahui sejarah masa lalu hubungan antar umat
beragama. Gereja sebagai ikon kehidupan kaum tepat digambarkan oleh penulisnya
sebagai bagian integral dari sejarah peradaban manusia yang bisa menjadi guru
terbaik kita saat ini. Selamat membaca. (*)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar