Judul: Berdamai dengan
Kematian
Penulis: Komaruddin
Hidayat
Penerbit: Hikmah
Peresensi: Ali Rif’an
|
Salah satu fenomena yang pasti dihadapi oleh
setiap makhluk hidup adalah datangnya kematian. Menyebut kata kematian seolah
membuat orang bergidik merinding. Seakan-akan belum siap, gelisah, takut
meninggalkan gegap-gempita dunia ini, dan lain sebagainya. Padahal, siap atau
tidak kematian pasti akan datang menghampiri. Di sinilah menjadi tepat kiranya
jika Profesor Komaruddin Hidayat mendiskusikan fenomena ihwal kematian.
Secara simplistis, kematian adalah terputusnya
hubungan ruh dengan badan, kemudian ruh berpindah dari satu tempat ke tempat
yang lain, dan seluruh lembaran amal ditutup, pintu taubat dan pemberian tempo
pun terputus. Kematian tidak berarti berhentinya kehidupan, melainkan
perpindahan dimensi waktu dan dimensi alam. Secara metafisis hidup dan kematian
adalah tahapan-tahapan agar semakin dekat dengan Tuhan. Oleh karenanya,
berbahagialah mereka yang bisa melihat, merasakan, dan berpartisipasi dalam
kehidupan ini.
Bagi Pak Komaruddin, ada tiga tonggak penting
yang selalu menggurita dalam dimensi fundamental manusia. Yaitu kelahiran,
pernikahan, dan kematian. Manusia bisa hidup dan menghirup udara saat ini
karena adanya peristiwa kelahiran. Sementara pernikahan terjadi berada di
tengah antara kelahiran dan kematian. Pernikahan adalah poros hidup manusia
guna menjaga kelestarian generasi pelanet bumi. Dalam alam pernikahan, ada
mahligai yang harus disemai, dijaga, dipelihara, dan ditumbuhkembangkan.
Pernikahan menjadi aras kebahagiaan sebelum menyongsong kebahagiaan yang
hakiki.
Adapun kematian memiliki kemiripan dengan
kelahiran. Setiap orang mengalaminya namun tak sanggup menceritakannya.
Perbedaannya, kelahirann berada di depan sementara kematian berada di belakang.
Kelahiran sesuatu yang tengah terjadi, sementara kematian sesuatu yang akan
terjadi.
Ibarat sebuah film atau cerita dalam novel,
ending menjadi sangat penting untuk dibuat semenarik dan semenggelitik mungkin.
Sebab, penilaian sebuah film atau novel terletak pada endingnya. Bahkan tak
jarang para novelis memerlukan waktu berbulan-bulan hanya untuk membuat ending
dari cerita novelnya.
Begitu juga dengan manusia. Kematianlah sebagai
ending penutup cerita hidupnya. Kematian menjadi penting untuk dipelajari dan
disiasati dengan harapan ending dari lembar cerita hidup ini menjadi menarik.
Sebab, tak jarang manusia lupa akan ending dalam cerita hidupnya. Mereka sibuk
menggarap cerita di dalamnya, namun sepi dari memikirkan ending (kematian)nya.
Tak hanya itu, rasa takut dan pesimis dalam
menghadapi ending kehidupan (kematian) juga kerapkali mengiring-iringi dan
bersemayam dalam lekuk diri manusia. Di sinilah buku berjudul: Berdamai
dengan Kematian; Menjemput Ajal dengan Optimisme karya Komaruddin Hidayat ini
menarik untuk dibaca.
Buku ini menyimpan banyak pesan optimistik untuk
menjemput kematian. Dengan bahasa yang santun serta lentur, Pak Komar—begitu
sapaan akrab guru besar sekaligus rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta—ini
mendedahkan coleteh segar ihwal kematian dengan memakai sudut pandang
al-Qur’an.
Ibarat sebuah sungai, muaranya merupakan
merupakan pintu gerbang samudra. Begitu pula dengan kematian, ia adalah muara
bagi pintu gerbang samudra kehidupan yang luas dan kekal. Untuk itu,
kehadirannya haruslah dinanti dengan rasa senang. Lebih dari itu, kehidupan
juga diibaratkan sebuah festival yang entah kapan berakhirnya. Peran apa dan
bagaimana manusia memaknai posisi di festival ini, mereka sendiri yang menentukan.
Hanya, manusia sering tenggelam dalam panggung
festival. Artinya, kalimat “sesungguhnya apa yang kita cari dankejar dari peran
sebagai aktor dalam panggung kehidupan ini” sepertinya jarang disematkan pda
diri setiap insane manusia. Padahal, jika disadari bahwa masing-masing aktor
hanya memiliki waktu terbatas. Peran yang dimainkan, dan nasib yang diterima
berbeda-beda. Dari permainan panggung itu, tak terasa waktu mulai senja.
Artinya, festival kehidupan tak akan lama lagi pasti berakhir. Sebab, lorong
waktu tak kenal mundur. Setiap waktu mendorong manusia bergerak maju.
Pada titik inilah kematian juga disebut sebagai
panglima nasihat dan guru kehidupan. Kematian sebagaimana juga kehidupan adalah
anugerah ciptaan Tuhan. Kematian dan kehidupan diciptakan untuk mendorong
manusia semakin banyak tabungan amal salehnya. Karena itu, memandang kematian
dengan penuh kedamaian dan optimistis adalah sesuatu yang perlu terus
dilakukan. Hidup adalah anugerah untuk dirayakan dengan mempererat persaudaraan
dan memperbanyak amal kebajikan. Untuk itu, memikirkan kematian adalah suatu
hal yang penting dan layak untuk direkomendasikan setiap insan. Artinya,
kematian harus selalu diingat dan dipikirkan. Sebab, sedikit saja ia lengah
dari memikirkan kematian, maka ia telah kehilangan guru terbaik dalam hidupnya.
Buku setebal 208 halaman ini sangat layak dibaca
siapa saja. Ada pesan moral dan spiritual yang begitu dalam dan kental
mengiring-iringinya. Dengan membaca buku ini, kita akan diajak untuk sesekali
merenung dan sesekali tersenyum. [*]
Dimuat
di harian Kompas, 29 Januari 2010
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar