Judul: Agama
Pelacur, Dramaturgi-Transendental
Penulis: Prof Dr
Nur Syam MSi
Penerbit: LKiS
Yogyakarta
Cetakan: Pertama
2011
Tebal: xviii + 200
halaman
Peresensi: M
Husnaini
|
Ini
adalah sebuah buku yang ditulis oleh guru besar bidang sosiologi IAIN Sunan
Ampel Surabaya untuk menyoroti sebuah profesi yang selama ini kerapkali
dianggap sebagian besar masyarakat sebagai profesi buruk dan menjijikkan:
pelacur. Dunia pelacur memang dikesankan sebagai dunia kelam dan amoral.
Pelacur menjadi sasaran gunjingan, hinaan, cercaan, olok-olok, bahkan distigma
sebagai sampah masyarakat dan kelompok pinggiran yang telah keluar dari
nilai-nilai agama. Benarkah demikian?
Buku
ini memotret dunia pelacur dari sisi berbeda. Pelacur ditampilkan sebagai
manusia biasa, seperti kita. Pelacur yang berkait kelindan dengan dunia
seksualitas ternyata tidak serta-merta melupakan adanya Tuhan. Membaca buku
ini, kita akan tahu bahwa dunia pelacuran tidak cuma menyajikan kebutuhan dan
rekreasi seksual. Ia juga menghadirkan gairah ketuhanan yang membuncah.
Dengan
kata lain, Tuhan tidak hanya hadir di hati kaum agamawan dan para shalih. Tuhan
ternyata juga hadir di lubuk hati kaum yang dianggap hina-dina ini. Hanya,
Tuhan bagi pelacur berdimensi sangat personal. Pelacur memandang Tuhan dengan
takut dan senang. Takut karena merasa diri penuh noda dan dosa. Sedangkan
senang karena hanya Dia-lah Dzat Maha Kasih, tempat dia melabuhkan harap agar
diri dapat bebas dari lembah nista.
Gelegak
ketuhanan dalam diri pelacur sungguh dapat dipahami. Pada dasarnya, tidak ada
seorang pun di dunia yang memilih hidup sebagai pelacur. Setiap manusia waras
dan normal pasti akan memilih hidup sebagai orang terhormat. Jangankan menjadi
pelacur, seandainya boleh memilih, tidak akan ada orang yang bercita-cita menjadi
pengayuh becak, pengamen, pedagang asongan, penjual koran, sopir, satpam, kuli
bangunan, dan semacamnya. Semua orang pasti ingin menjadi pengusaha, manajer,
direktur, dosen, menteri, presiden, dan sebagainya.
Secara
struktural, pelacur sejatinya korban dari sebuah sistem sosial yang tidak
ramah. Motifnya terjun ke lembah hitam lebih disebabkan faktor ekonomi. Inilah
yang diungkap Parsudi Suparlan, berdasar penelitian Koch, bahwa perempuan
adalah komoditi. Artinya, ketika akses ekonomi terasa sulit, maka jalan
pintasnya adalah menjual diri sendiri, menjadi pelacur. Tekanan struktural ini
semakin kuat ketika keluarga tidak mampu memenuhi tuntutan kebutuhan (hal 69).
Selain
motif ekonomi, frustrasi dan masalah keluarga juga kerap menjerumuskan orang ke
dunia pelacuran. Tidak sedikit pula yang menjadi pelacur karena menjadi korban
pengelabuhan, penipuan, dan paksaan. Tengok saja kasus trafficking yang
belakangan marak terjadi. Umumnya, perempuan-perempuan ini diajak ke kota-kota
besar. Mereka dijanjikan pekerjaan dengan gaji menggiurkan. Akibat tidak
memahami kompleksitas dunia perkotaan, mereka manut saja. Tanpa disangka,
setibanya di kota, ternyata mereka dijual dan dipekerjakan sebagai pelacur.
Jadi,
sangat jarang orang memasuki dunia pelacuran atas dasar kesadaran dan
rasionalitas yang tinggi. Tragisnya, orang menjalani kehidupan hitam seperti
ini tanpa mengerti kapan akan berakhir. Inilah yang terucap dari bibir salah
seorang pelacur di Wonokromo, Surabaya, bernama Eni, pada halaman 106 buku ini,
“Entahlah Mas. Kapan begini ini akan berakhir. Mungkin sudah menjadi takdir
saya”.
Penelitian
buku ini memang dilakukan di beberapa tempat pelacuran di Surabaya, seperti
Dolly, Moroseneng, dan Jagir (Wonokromo). Namun, data dan analisis yang
disajikan penulis sangat mungkin dipakai untuk mengamati pelbagai fenomena
pelacuran di tempat-tempat lain secara umum. Selama ini, orang sering terkecoh
dengan dunia pelacuran, karena hanya melihat dari dimensi luarnya semata.
Tetapi, dengan menggunakan teori dramaturgi-transendental dari Erving Goffman,
buku ini berhasil memotret dunia pelacuran dari dua sisi sekaligus: dimensi
luar (outward appearance) dan dimensi dalam (inward appearance).
Jadi,
pandangan negatif dan merendahkan pelacur adalah karena orang cuma melihat yang
tampak saja. Orang tidak pernah menelisik lebih jauh sisi dalam dunia pelacuran
sebenarnya. Padahal, pelacuran adalah gambaran dunia penuh paradoksal antara
apa yang tampak dan yang sebenarnya. Ibarat kata, gincu yang merah merona tidak
selalu menggambarkan bibir sebenarnya. Jadi, apa yang dilakukan pelacur belum
tentu menggambarkan keinginan hatinya sebenarnya.
Salah
seorang pelacur bernama Dona (22 tahun), misalnya, memakai liontin bergambar
salib, tetapi kenyataannya dia adalah seorang muslimah. Gambaran yang sama juga
terjadi pada Wiwit (25 tahun), yang meski tetap menjual diri, pelacur asal
Jember ini ternyata juga rajin shalat dan berpuasa Ramadhan. Yanti (24 tahun)
bahkan rajin mengaji al-Quran dan bersedekah. Ada pula pelacur di Moroseneng
yang begitu antusias mengikuti jamaah pengajian setiap Jumat sore. Juga, ada
seorang pelacur yang berniat kuat untuk menghajikan orangtua.
Jadi,
dunia kaum pelacur memang kompleks. Jika kita adalah manusia satu dimensi, maka
mereka adalah manusia multi-dimensi. Lewat buku ini, kita diajak melihat dan
memahami dunia pelacuran tanpa prejudice. Ini yang harus ditekankan. Jika
memahami dunia pelacuran saja susah dilakukan, mungkinkah upaya mengentaskannya
mudah dilakukan? [*]
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar