Judul
buku: Tamasya ke Masjid
[Meniti Jalan Menuju Rumah-Mu]
Pengarang:
Jaya Komarudin Cholik
Penerbit:
Gong Publishing
Cetakan:
Pertama, Juni 2010
Tebal:
150 halaman
Peresensi:
Akhelbri
|
“Perjalanan ke masjid sungguh merupakan tamasya,
hakikat dari tamasya yang sebenar-benarnya. (Jaya Komarudin Cholic, Tamasya ke
Masjid)
***
Tidak perlu repot melihat Kamus Besar Bahasa
Indonesia untuk mengenal arti kata `tamasya`, sebab lebih dari cukup buku
setebal 150 halaman ini menyerukan penghayatan makna sebuah kata tamasya
menjadi lebih luas, lebih terang, berkah dan membawa kenikmatan tertinggi. At
the top of highest peak from everything.
Tamasya apa yang dapat menghadirkan ribuan
makhluk bersayap putih dan suci ikut mengiringi dan mendoakan si pejalan kaki
tetap selamat dan teguh pada track yang sebenarnya, mereka (para malaikat)
saling mencacatkan kebaikan dari setiap langkah kita untuk kemudian menuntun,
mengantarkan kita ke taman firdaus di mana dalam metafor keseharian kita
(mungkin) diberikan kesempatan membuka tirai tipis dan memandang wajah-Nya?
Subhanallah, tamasya apalagi kalau bukan tamasya di jalan Tuhan, tamasya
dengan, aktifitas mencari kebahagiaan melalui kunjungan satu persatu rumah-Nya,
tamasya ke Masjid.
Membaca ‘Tamasya ke Masjid` seperti disodorkan
panduan meniti jalan benar, jalan keselamatan, jalan lurus seperti jalan-jalan
yang telah ditapaki oleh para kekasih Allah, kalangan nabi, shiddiqin, syuhada’
dan orang-orang saleh. Jalan ini juga yang telah dilakukan Jaya Komarudin
Cholik, seorang buruh migran di Ruwais, Abu Dhabi , Uni Emirat Arab dalam
meniti satu tempat yang dirindukan dan dicintainya sejak lama.
Disajikan dalam catatan-catatan kisah menyerupai
autobiografi_ karenanya disebut memoar_ yang menggugah hati siapa saja untuk
ikut merasakan kenikmatan seorang hamba yang merindu Tuhannya, atau mendekati
cinta-Nya.
Satu hal yang mampu menghadang teror cemas,
khawatir, pesimis, dan takut adalah saat hati kita dekat dengan Sang Pencipta.’
[halaman 114]
Maka menurut penulisnya, langkah-langkah yang
diayunkan menuju rumah-Nya adalah sebuah mukadimah cinta agar suatu hari nanti
bisa bertemu dengan Sang Khalik. Melalui Shalat, yang dilaksanakan 5 kali
sehari adalah sebuah ‘mi’raj’ seorang mu’min. Mi’raj dengan analogi berjumpa
langsung dengan Sang Khalik. Sebuah hubungan vertikalis tanpa batas atau sekat.
Layaknya sebuah perjumpaan. Setiap hari undangan disebarkan lima kali sehari
secara terbuka pada semua makhluk. Seperti sebuah ujian dari Sang Maha kepada hamba
yang memang ingin rindu berjumpa dengan-Nya.
Jelas, jalan-jalan inilah yang disebutkan dalam
surat Fatihah sebagai jalan lurus, jalan yang diridhoi Tuhan. ‘Setiap muslim
memang mengulang-ngulang bacaan surat al-Fatihah yang di dalamnya ada dua ayat
yang mencantumkan kata sirathal mustaqiem (jalan lurus). Jalan yang menjanjikan
keselamatan bagi yang setia meniti jalan Tuhan. Namun jalan lurus bukan berarti
jalan tersebut mulus, rata, dan datar. Sirathal mustaqiem dapat pula
digambarkan sebagai jalan yang lurus namun licin, curam, terkadang menanjak
juga menurun.’[halaman 29]
Dengan ucapan Lahaula wala quwaata Illa billah
(tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah) Jaya kecil
telah mengawali jalan-jalan atau tamasya menuju rumah-rumah Allah atas
izin-Nya. Melalui sosok bapaknya, mantan prajurit pejuang pembebasan Irian
Barat itu yang menggendong Jaya kecil sehingga menjejakkan kaki di lantai
pelataran ubin masjid yang masih dingin dan temaram. Maka, Jaya merasa sejarah
hidupnya baru saja dimulai dari masjid Nurul Falah di Serang menuju
masjid-masjid di Ruwais, Abu Dhabi sampai ke Baitullah dan Raudha.
Buku bersampul biru ini setidaknya menggugah
kita untuk tidak mengkhianatai agama dan tuntunan hidup kita yang sering
menjadikan masjid sebagai simbol belaka. Dengan tamasya ke masjid kita menjadi
tahu bahwa ketakwaan tidak terletak di corong-corong masjid, tetapi dilihat
dari isi yang ada di dalam masjid. Maka, mulai detik ini, para orangtua dapat
beranggapan bahwa mengajak tamasya anak dan keluarga ke masjid adalah mulia
bahkan lebih tinggi derajatnya, sebab di sana ada usaha bertemu Tuhan (shalat)
secara berjamaah, bersama-sama meniti jalan di sirathal mustaqiem. [*]
Dimuat
di harian Kompas, 13 Juli 2010
Sumber:
http://resensibuku.com/?p=777
http://resensibuku.com/?p=777
Tidak ada komentar:
Posting Komentar