Judul: Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta
Penulis: Muhidin M. Dahlan Penerbit: Jendela Cetakan: Pertama, November 2003 Tebal: (xxx + 356) halaman |
"Scripta
manent verba volant--yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan
berlalu bersama angin."
MUHIDIN
M. Dahlan adalah anak muda yang berani berikrar bahwa menulis adalah pilihan
hidup. Gagal kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta dan Institut Agama Islam
Negeri Sunan Kalijaga di kota yang sama membuatnya harus mengganti orientasi
hidupnya. Akhirnya keterampilan menulis artikel maupun resensi buku di sejumlah
media massa membuatnya bisa untuk mempertahankan hidup atau untuk sekadar
membeli buku.
Buku
mungil ini berisi riwayat hidup Muhidin dan aktivitas kreatifnya dari mulai
saat penulis masih menimba ilmu di sekolah menengah teknik di sebuah kota kecil
di Sulawesi Tenggara hingga di pengembaraan intelektualnya di Yogyakarta. Buku
yang dikemas cukup apik ini ditulis dengan gaya bertutur dan easy going
sehingga enak dibaca.
Secara
terus terang, ketika pertama kali menulis untuk buletin di organisasinya,
Pelajar Islam Indonesia (PII), Muhidin hanya memindahkan tulisan orang lain.
Praktis tulisan pertamanya itu adalah hasil rangkuman dari sejumlah buku.
Seperti penulis pemula lainnya, saat tulisan dimuat ia sangat bangga. Beberapa
istilah yang sebenarnya tidak dimengerti pun menghiasi tulisannya sebagai
bentuk gagah-gagahan. Aktivitas dan energi menulis Muhidin terus bergelora
hingga saat kuliah di Yogyakarta.
Setelah
sibuk mengelola buletin kampus yang jatuh bangun karena keterbatasan dana dan
penuh intrik, Muhidin mulai merambah media massa nasional. Tulisan pertamanya
yang berupa tanggapan atas tulisan orang lain dimuat di halaman empat koran
nasional terbesar di Indonesia. Padahal, halaman empat koran tersebut
disebut-sebut kalangan penulis sebagai halaman angker karena kalau mengirimkan
artikel untuk halaman itu harus siap-siap untuk menerima jawaban khasnya: Maaf
kami kesulitan tempat untuk memuat tulisan Anda yang berjudul. (hal. 149)
Bukan
berarti setelah tulisan sebelumnya dimuat, tulisan berikutnya akan melenggang
begitu saja di mata redaktur. Bahkan saking frustrasinya, bagi Muhidin menulis
artikel di koran adalah menulis untuk dikembalikan bukan untuk dimuat. Muhidin
sangat merasakan itu. Sudah tak terhitung tulisannya yang ditolak baik oleh
media lokal maupun media nasional. Resensi bukunya baru dimuat di media
nasional setelah 32 resensinya ditolak media yang sama. Bahkan sebuah media
lokal "mengharamkan" semua tulisan berlabel Muhidin untuk tampil di
medianya. Ini gara-garanya Muhidin sempat mendamprat seorang redaktur media
lokal karena artikelnya tak dimuat-muat.
Menulis
adalah setali dengan aktivitas membaca. Gila baca sejak di udik adalah dasar
berharga dalam perkembangan kegiatan kreatif Muhidin. Bahkan saat mendapatkan
honor tulisan hanya sebagian kecil saja untuk biaya makan sebagian besar
dialokasikan untuk membeli buku. Cinta dan komitmennya kepada tulis menulis dan
buku menjadikan Muhidin sangat kuat menahan lapar dan derita.
Buku ini
menjadi menarik karena selain menggambarkan kegiatan penulis dengan suka
dukanya tetapi juga menggambarkan pribadi Muhidin yang terus terang dan unik.
Saat kepincut cewek misalnya, ia menggunakan cara-cara yang tak galib. Muhidin
nembak cewek lewat buletin yang dibuat khusus yang di dalamnya terdapat artikel
yang penuh referensi dan catatan kaki. Tragis, Muhidin ditolak.
Kendati
ia sebagai anak yang taat kepada Tuhan tetapi Muhidin juga tidak munafik ketika
suatu saat harus menyalurkan hasrat seksualnya ke pelacuran. Hasil dari
pelacuran tersebut Muhidin mendapatkan sejumlah parikan yang dikenal di
lokalisasi seperti: Kapal keruk taline kenceng, arepo ngantuk barange ngaceng
(kapal keruk talinya kencang, walaupun mengantuk kelaminnya tegang). (hal.188)
Muhidin
juga membeberkan tentang kebobobrokan dunia penerbitan buku di Yogyakarta.
Pengalamannya sebagai editor menjadikan ia sangat tahu tentang kelicikan,
korupsi, dan tidak transparannya pemilik penerbitan di Yogyakarta.. Misalnya
saja ada pemilik penerbitan yang sangat kaya tetapi karyawannya digaji sangat
minim. Belum lagi persaingan antarpenerbitan. Bahkan di Yogyakarta sebuah
penerbitan bisa memata-matai penerbitan lain agar tidak kedahuluan untuk
menerbitkan buku yang sama. Ini biasanya buku terjemahan asing. Sebab
penerbitan di Yogyakarta banyak yang mengabaikan hak cipta. Sehingga tidak aneh
bila satu buku diterbitkan oleh dua penerbitan yang berbeda.
Membaca
buku karya Gus Muh--demikian Muhidin kerap dipanggil temannya--serasa membaca
cerita novel. Selain Muhidin, tokoh-tokoh dalam buku tersebut (sepertinya
menggunakan nama samaran) mempunyai karakter yang jelas. Masalah cinta,
konflik, persaingan, dan perselingkuhan juga menghiasi buku ini. Misalnya saja,
dalam buku ini Muhidin menceritakan tentang perselingkuhan antara seorang
pemilik penerbitan dan seorang editor freelance yang juga teman Muhidin.
Buku
ini cukup informatif, sarat muatan, dan kaya referensi. Bagi penulis pemula
atau siapa saja yang bercita-cita menjadi penulis profesional buku ini bisa
menjadi inspirasi dan pendorong semangat untuk tidak menyerah begitu saja bila
tulisan ditolak redaktur sebuah penerbitan. Buku ini juga layak dibeli para
praktisi penerbitan dan pengamat penerbitan buku sebagai bahan refleksi tentang
dunia perbukuan di Tanah Air. [Yayat R. Cipasang]
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar