Sabtu, 22 Maret 2014

Aku Mau Ayah

Judul: Aku Mau Ayah
Penulis: Irwan Rinaldi
Penerbit: Progressio Publishing
Peresensi: Susie Evidia Y


Buku ini memalu kesadaran para ayah betapa ad amutiara di keluarga yang diabaikan begitu saja. Ayah sebagai kepala keluarga tugasnya mencari nafkah. Sedangkan urusan anak-anak diserahkan sepenuhnya kepada ibu. Pembagian tugas seperti ini berlangsung lama, dianggap universal, dan fair. Nanti dulu.
Emansipasi juga mendorong perempuan bekerja. Fatalnya, ayah-ibu tak lagi peduli pada sang anak yang besar dalam pengasuhan bibi pembantu. Buku  Aku Mau Ayah Memang tak berbicara soal peran pembantu ini. Sesuai judulnya, tentu saja buku ini menyorot peran ayah dalam pendidikan mental anak.
Penelusuran Irwan Rinaldi, penulis  “Aku Mau Ayah”, membuktikan pembagian tugas ‘ayah cari nafkah ibu di rumah’ ternyata tidak  fair bagi anak-anak. ”Kami membutuhkan peran ayah secara nyata, dalam kehidupan sehari-hari, maupun masa depan.”
Ibaratnya, anak-anak itu memiliki ayah, tapi tak ada ayah. Mengapa? Waktu bertemu dengan ayah sangat sebentar. Sang buah hati hanya bertemu di pagi hari, atau bahkan tak bertemu sama sekali. Penelitian yang dilakukan Henry Biller dari Amerika menunjukkan, waktu efektif antara anak dan ayahnya hanya 19 menit sehari (atau hanya diakhir pekan saja).
Walaupun penelitian dilakukan di Amerika, namun hasilnya diakui di berbagai negara, termasuk Indonesia. Lalu, apa yang bisa diharapkan dengan pertemuan hanya 19 menit?
Ironisnya, tuntutan seorang ayah terhadap anak sangat ideal, menjadi anak ssaleh/salehah, cerdas, berprestasi, dan membanggakan orangtua, bangsa, dan negara. Bagaimana tuntutan itu bisa terwujud, jika ayah hanya bertemu secara fisik, itu pun sekejap tanpa ada ikatan emosional, maupun spiritual? Akibatnya, banyak ditemukan anak-anak secara fisik sehat, hidupnya makmur, tetapi dalamnya hampa.
Anak biasanya benar-benar membutuhkan sosok fisik ayah di dekatnya. Seperti halnya membutuhkan sosok fisik ibunya. Anak bisa menjadi sedih begitu ayahnya tak terlihat di dekatnya, juga sedih ketika sosok ibuny ajauga tak terlihat. Kemudian mencarinya ke mana-mana, begitu ketemu, sewaktu ditanya ada perlu apa, dia tak akan menjawab sedang perlu sesuatu. Dia akan diam dan tenang. Itu saja. Karena, sosok ayahnya ada di dekat lingkungannya bermain.
Di buku  Aku Mau Ayah menguak 45 kisah nyata anak-anak mengenai kerinduan terhadap ayahnya. Menurut mereka, ayah tidak tahu bagaimana sebaiknya menjadi seorang ayah. Yang dinginkan anak-anak ini tak hanya perhatian dari ibu, melainkan juga sentuhan, belaian, dan limpahan kasih sayang dari ayahnya.
Buku setebal 211 halaman ini diawali kisah anak berusia 13 bernama Marah. Puncak kejengkelan terhadap ayah, Marah lakukan dengan membakar foto bapaknya. Menurut Marah, bapak adalah sosok pemarah, galak, bahkan tak ada perbuatan yang dilakukan dengan benar. Kalau sudah marah, ibunya dengan sabar memberi nasihat agar bersabar dan membalas dengan senyuman.
Marah sering membandingkan sosok bapaknya dengan ayah Nardi, tetangganya. Ayah Nardi senang bermain, suka tertawa bersama, tidak suka menvonis, senang berdiskusi. Anak usia 13 tahun ini mengidamkan pula sosok ayah Nungki, teman sebangku di sekolah. Ayah yang mau  nongkrong bersama di warung, suka tersenyum dengan siapa saja, ayah yang… tidak seperti bapak Marah. Makanya, ”Aku mau ayah, bukan bapak!”
Kisah menarik diungkap pula di judul ‘Si Terlambat itu Bernyanyi’. Kisah nyata ini diangkat dari pengalaman anak berkebutuhan khusus bernama Danu (11 tahun). Sekian lama terdiam, kini ia bisa bernyanyi, menyanyikan lagu ‘Ada Apa Denganmu’ yang biasa dibawakan Ariel Peterpan.
Ayah Danu terperanjat, tak percaya. Dia secara refleks memeluk Danu yang sedang bernyanyi. Dalam hitungan detik, Danu pun menyingkir menjauh. Ayahnya kaget, mengapa anaknya terus menghindar?
Tentu saja aksi Danu yang demikian bukan tanpa sebab. Ingat sepuluh tahun silam, betapa perlakuan ayah terhadap Danu sangat menyedihkan. Danu bagaikan bisul yang selalu disembunyikan. Ia ditempatkan jauh dari pergaulan sosial yang bisa menyebabkan jatuh harga diri orangtuanya. Perlakuan miris ini, terutama dilakukan sang ayah. Andaikan Danu harus hadir di lingkungan sosial, ia ‘disulap’ dulu sedemikian rupa.
Kini terjawablah, betapa Danu enggan mendapat pelukan dari ayahnya. Bahkan pelukan ayah bagaikan sesuatu yang sangat menakutkan. Karena selama hidupnya ia tak pernah mendapat pelukan hangat dari ayah. Makanya, sangatlah aneh kalau sekarang tiba-tiba ayah ingin memeluk Danu. Si ‘bisul’ yang dulu disembunyikan, terus bernyanyi sambil terus menghindar dari kejaran ayahnya. Miris….
Ada juga kisah tragis dialami Fafa yang hidup di tengah pertempuran ayah-ibu. Ibaratnya tiada hari tanpa pertengkaran orangtua. Bagaimana nasib Fafa selanjutnya?
Simak pula 42 kisah nyata anak lainnya terungkap di buku ini. Mungkin saja salah satu kisah tersebut, tanpa disadari dilakukan pula para ayah terhadap anak-anaknya.
Buku ini diharapkan bisa menjadi cerminan bagi para ayah betapa sang buah hati menantikan kehadiran kehadiran sosok ayah. Sebelum terlambat, tak ada salahnya para ayah kini membenahi waktunya demi anak-anak. Sempatkan waktu berbagi, bercanda, bermain, membelai, dan menyayangi anak-anak.
Anak-anak yang ayahnya aktif dalam pengasuhan membuat anak akan lebih berani, memiliki kemampuan lebih rasional dalam mengambil keputusan, mampu membuat perencanaan, mengambil keputusan yang lebih baik, dan sukses dalam pendidikan. Oleh karena itu, tak bisa dilukiskan betapa bahagianya anak-anak yang mendapat curahan kasih sayang, tak hanya dari ibu, tapi juga ayah.
Akhirnya, buku ini diharapkan bisa menyadarkan para ayah yang terlalu sibuk mencari uang, dan menyerahkan sepenuhnya pendidikan mental anak hanya pada ibu. Atau bahkan lebih parah lagi, pada pembantu. Buku ini benar-benar memalu kesadaran para ayah betapa ada mutiara di keluarga yang diabaikan begitu saja.
Pengabaian itu bukan saja karena semata karena adanya pembagian tugas. Tapi, boleh jadi juga karena ketidakmampuan ayah menjadi ayah yang baik bagi anak-anaknya. Para ayah, peluklah anak-nak dengan kehangatan, sebelum anak-anak jauh dari sosok ayahnya. [*]

Sumber:
Republika, 6 Desember 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar