Judul:
Aku Mau Ayah
Penulis: Irwan Rinaldi Penerbit: Progressio Publishing
Peresensi:
Susie Evidia Y
|
Buku ini memalu
kesadaran para ayah betapa ad amutiara di keluarga yang diabaikan begitu saja.
Ayah sebagai kepala keluarga tugasnya mencari nafkah. Sedangkan urusan
anak-anak diserahkan sepenuhnya kepada ibu. Pembagian tugas seperti ini
berlangsung lama, dianggap universal, dan fair. Nanti dulu.
Emansipasi juga
mendorong perempuan bekerja. Fatalnya, ayah-ibu tak lagi peduli pada sang anak
yang besar dalam pengasuhan bibi pembantu. Buku Aku Mau Ayah Memang tak
berbicara soal peran pembantu ini. Sesuai judulnya, tentu saja buku ini
menyorot peran ayah dalam pendidikan mental anak.
Penelusuran Irwan
Rinaldi, penulis “Aku Mau Ayah”, membuktikan pembagian tugas ‘ayah cari
nafkah ibu di rumah’ ternyata tidak fair bagi anak-anak. ”Kami
membutuhkan peran ayah secara nyata, dalam kehidupan sehari-hari, maupun masa
depan.”
Ibaratnya,
anak-anak itu memiliki ayah, tapi tak ada ayah. Mengapa? Waktu bertemu dengan
ayah sangat sebentar. Sang buah hati hanya bertemu di pagi hari, atau bahkan
tak bertemu sama sekali. Penelitian yang dilakukan Henry Biller dari Amerika
menunjukkan, waktu efektif antara anak dan ayahnya hanya 19 menit sehari (atau
hanya diakhir pekan saja).
Walaupun penelitian dilakukan di Amerika, namun hasilnya diakui di berbagai negara, termasuk Indonesia. Lalu, apa yang bisa diharapkan dengan pertemuan hanya 19 menit?
Walaupun penelitian dilakukan di Amerika, namun hasilnya diakui di berbagai negara, termasuk Indonesia. Lalu, apa yang bisa diharapkan dengan pertemuan hanya 19 menit?
Ironisnya, tuntutan
seorang ayah terhadap anak sangat ideal, menjadi anak ssaleh/salehah, cerdas,
berprestasi, dan membanggakan orangtua, bangsa, dan negara. Bagaimana tuntutan
itu bisa terwujud, jika ayah hanya bertemu secara fisik, itu pun sekejap tanpa
ada ikatan emosional, maupun spiritual? Akibatnya, banyak ditemukan anak-anak
secara fisik sehat, hidupnya makmur, tetapi dalamnya hampa.
Anak biasanya
benar-benar membutuhkan sosok fisik ayah di dekatnya. Seperti halnya
membutuhkan sosok fisik ibunya. Anak bisa menjadi sedih begitu ayahnya tak
terlihat di dekatnya, juga sedih ketika sosok ibuny ajauga tak terlihat.
Kemudian mencarinya ke mana-mana, begitu ketemu, sewaktu ditanya ada perlu apa,
dia tak akan menjawab sedang perlu sesuatu. Dia akan diam dan tenang. Itu saja.
Karena, sosok ayahnya ada di dekat lingkungannya bermain.
Di buku Aku
Mau Ayah menguak 45 kisah nyata anak-anak mengenai kerinduan terhadap ayahnya.
Menurut mereka, ayah tidak tahu bagaimana sebaiknya menjadi seorang ayah. Yang
dinginkan anak-anak ini tak hanya perhatian dari ibu, melainkan juga sentuhan,
belaian, dan limpahan kasih sayang dari ayahnya.
Buku setebal 211
halaman ini diawali kisah anak berusia 13 bernama Marah. Puncak kejengkelan
terhadap ayah, Marah lakukan dengan membakar foto bapaknya. Menurut Marah,
bapak adalah sosok pemarah, galak, bahkan tak ada perbuatan yang dilakukan
dengan benar. Kalau sudah marah, ibunya dengan sabar memberi nasihat agar
bersabar dan membalas dengan senyuman.
Marah sering
membandingkan sosok bapaknya dengan ayah Nardi, tetangganya. Ayah Nardi senang
bermain, suka tertawa bersama, tidak suka menvonis, senang berdiskusi. Anak
usia 13 tahun ini mengidamkan pula sosok ayah Nungki, teman sebangku di
sekolah. Ayah yang mau nongkrong bersama di warung, suka tersenyum dengan
siapa saja, ayah yang… tidak seperti bapak Marah. Makanya, ”Aku mau ayah, bukan
bapak!”
Kisah menarik
diungkap pula di judul ‘Si Terlambat itu Bernyanyi’. Kisah nyata ini diangkat
dari pengalaman anak berkebutuhan khusus bernama Danu (11 tahun). Sekian lama
terdiam, kini ia bisa bernyanyi, menyanyikan lagu ‘Ada Apa Denganmu’ yang biasa
dibawakan Ariel Peterpan.
Ayah Danu
terperanjat, tak percaya. Dia secara refleks memeluk Danu yang sedang
bernyanyi. Dalam hitungan detik, Danu pun menyingkir menjauh. Ayahnya kaget,
mengapa anaknya terus menghindar?
Tentu saja aksi
Danu yang demikian bukan tanpa sebab. Ingat sepuluh tahun silam, betapa
perlakuan ayah terhadap Danu sangat menyedihkan. Danu bagaikan bisul yang
selalu disembunyikan. Ia ditempatkan jauh dari pergaulan sosial yang bisa
menyebabkan jatuh harga diri orangtuanya. Perlakuan miris ini, terutama
dilakukan sang ayah. Andaikan Danu harus hadir di lingkungan sosial, ia
‘disulap’ dulu sedemikian rupa.
Kini terjawablah,
betapa Danu enggan mendapat pelukan dari ayahnya. Bahkan pelukan ayah bagaikan
sesuatu yang sangat menakutkan. Karena selama hidupnya ia tak pernah mendapat
pelukan hangat dari ayah. Makanya, sangatlah aneh kalau sekarang tiba-tiba ayah
ingin memeluk Danu. Si ‘bisul’ yang dulu disembunyikan, terus bernyanyi sambil
terus menghindar dari kejaran ayahnya. Miris….
Ada juga kisah
tragis dialami Fafa yang hidup di tengah pertempuran ayah-ibu. Ibaratnya tiada
hari tanpa pertengkaran orangtua. Bagaimana nasib Fafa selanjutnya?
Simak pula 42 kisah
nyata anak lainnya terungkap di buku ini. Mungkin saja salah satu kisah
tersebut, tanpa disadari dilakukan pula para ayah terhadap anak-anaknya.
Buku ini diharapkan
bisa menjadi cerminan bagi para ayah betapa sang buah hati menantikan kehadiran
kehadiran sosok ayah. Sebelum terlambat, tak ada salahnya para ayah kini
membenahi waktunya demi anak-anak. Sempatkan waktu berbagi, bercanda, bermain,
membelai, dan menyayangi anak-anak.
Anak-anak yang
ayahnya aktif dalam pengasuhan membuat anak akan lebih berani, memiliki
kemampuan lebih rasional dalam mengambil keputusan, mampu membuat perencanaan,
mengambil keputusan yang lebih baik, dan sukses dalam pendidikan. Oleh karena
itu, tak bisa dilukiskan betapa bahagianya anak-anak yang mendapat curahan
kasih sayang, tak hanya dari ibu, tapi juga ayah.
Akhirnya, buku ini
diharapkan bisa menyadarkan para ayah yang terlalu sibuk mencari uang, dan
menyerahkan sepenuhnya pendidikan mental anak hanya pada ibu. Atau bahkan lebih
parah lagi, pada pembantu. Buku ini benar-benar memalu kesadaran para ayah
betapa ada mutiara di keluarga yang diabaikan begitu saja.
Pengabaian itu
bukan saja karena semata karena adanya pembagian tugas. Tapi, boleh jadi juga
karena ketidakmampuan ayah menjadi ayah yang baik bagi anak-anaknya. Para ayah,
peluklah anak-nak dengan kehangatan, sebelum anak-anak jauh dari sosok ayahnya.
[*]
Sumber:
Republika, 6
Desember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar