Judul: Angsa-angsa Liar
Judul Asli: Wild Swans - Three Daughters of China
Penulis: Jung Chang Alihbahasa: Honggo Wibisana Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama Tahun: 2005 - Cetakan I Tebal: 596 hal |
Negeri Cina, sebagai sebuah bangsa, memiliki sejarah yang panjang.
Negeri luas meliputi daratan yang membentang di tengah-tengah benua Asia ini
adalah salah satu raksasa Asia dengan jumlah penduduk lebih dari satu milyar
jiwa. Sebelum menjadi republik seperti sekarang, dahulunya Cina adalah kerajaan
yang dipimpin oleh seorang kaisar dengan kekuasaan yang nyaris mutlak. Pada
tahun 1911, Pu Yi sebagai kaisar terakhir yang waktu itu masih berumur 5 tahun,
digulingkan dan sebuah republik didirikan di bawah pimpinan Sun Yat-sen.
Masa pemerintahan Sun Yat-sen tak bertahan lama. Republik yang
baru berdiri itu diramaikan oleh perebutan kekuasaan di antara para jendral
(panglima) dan membuat suasana menjadi kacau-balau. Waktu itu kaum nasionalis
atau yang dikenal dengan nama Kuomintang, di bawah komando Chiang Kai-shek, masih
berjaya. Mereka memburu dan mengejar-ngejar lawan politik mereka : komunis.
Kelompok komunis yang terdesak ini, dengan jumlah pasukan dan pengikut yang
kalah jauh dari Kuomintang, terpaksa menarik diri sampai ke daerah-daerah
pegunungan di Cina Tengah. Dari sana mereka menghimpun kekuatan untuk kelak
melancarkan serangan balasan terhadap Koumintang.
Perlawanan kaum Komunis itu dimulai dengan apa yang dinamakan
"Long March" (1934) dan disusul kemudian dengan merebut kekuasaan
dari tangan Kuomintang pada 1936. Keadaan bertambah ricuh dengan masuknya
Jepang menduduki beberapa daerah di Cina utara dan tengah. Komunis dan
Kuomintang terpaksa bekerja sama untuk sementara guna menghadapi musuh negara :
Jepang sampai tahun 1945.
Setahun kemudian, pecahlah perang saudara. Kubu komunis meraih
kemenangan besar dan memaksa pihak Chiang Kai-shek menyingkir ke Taiwan.
Kemudian pada 1949 terbentuklah Republik Rakyat Cina (RRC) dengan Mao Tse-Tung
/Mao Zedong sebagai pemimpin partai.
Ilustrasi di atas adalah masa-masa yang menjadi setting cerita
Angsa-angsa Liar ini. Hiruk-pikuk tiga zaman itu menjadi latar belakang kisah
biografi tiga orang perempuan Cina pemberani dari tiga generasi, yaitu :
Yu-Fang, De Hong, dan Jung Chang (penulis buku ini). Yu-Fang adalah neneknya
sedangkan De Hong, ibunya.
Seperti disampaikan oleh penulisnya dalam kata pengantar, buku ini
adalah persembahannya bagi sang ibu yang amat dihormati dan dicintainya. Maka,
meski berkisah juga soal nenek dan dirinya, namun bagian ibunya (De Hong)
mendapat porsi terbesar.
Sebagai sebuah kisah biografi, Jung Chang bercerita dengan urutan
yang runut. Dimulai dari kehidupan sang nenek yang menjadi selir dari seorang
panglima perang bernama Jendral Xue sampai kepada kisah hidupnya sendiri kelak.
Neneknya hanyalah satu dari sekian banyak selir yang dimiliki Jendral Xue.
Waktu itu adalah sesuatu yang wajar atau bahkan sudah merupakan keharusan
seorang pria kaya, berkuasa dengan jabatan tinggi mempunyai banyak selir di
banyak kota. Hidup sebagai selir, tidaklah mudah. Walaupun selalu dibanjiri
oleh hadiah-hadiah dari suaminya, namun Yu-Fang tidak bahagia.
Dari perkawinan itu, lahirlah De Hong sebagai putri satu-satunya
pasangan tersebut. Setelah Jendral Xue meninggal, Yu-Fang, sebagai mantan selir
bersama putrinya, diharuskan tinggal satu rumah bersama-sama istri dan
selir-selir sang jendral yang lain. Namun, Yu-Fang hanya mampu bertahan
sebentar di rumah tersebut. Pada suatu hari, ia bersama bayinya melarikan diri
kembali ke kampung halaman mereka dan tak lama kemudian menikah kembali dengan
Dokter Xia, duda dengan empat orang anak yang telah dewasa.
Untuk ukuran tradisi Cina saat itu, perempuan yang menikah kembali
setelah suaminya meninggal,apalagi ia hanya seorang selir, akan dicap sebagai
perempuan tidak baik. Perkwainan itu mendapat tentangan dari pihak kedua
keluarga, terutama dari anak-anak dokter Xia. Tetapi Yu-Fang tak peduli. Ia
menikahi dokter Xia berdasarkan cinta. Ia ingin menjalankan sisa hidupnya
bersama suami pilihannya sendiri, sebagai istri sah, bukan selir seperti
perkawinannya yang pertama. Dan ia bahagia dengan pilihannya tersebut. Apalagi
ternyata dokter Xia juga sangat menyayangi De Hong seperti kepada anaknya
sendiri.
Sebagai putri tunggal, De Hong amat disayang oleh kedua
orangtuanya. Ia dididik dengan disekolahkan sampai jenjang tertinggi bagi
gadis-gadis di masa itu. Masa remaja De Hong berlangsung di tengah kemelut
perang saudara antara Kuomintang dan Komunis. Propaganda Partai Komunis di
bawah kepemimpinan Mao berhasil memikat jiwa revolusioner De Hong si remaja.
Iapun lantas bergabung bersama pemuda-pemudi yang lain menjadi anggota partai
merah tersebut. Di sini pula ia berjumpa dengan dan lantas jatuh cinta pada
Wang Yu, seorang pemuda cerdas anggota partai yang militan yang kelak menjadi
suaminya.
Pada bagian inilah, penulis mengupas secara detail seluk-beluk
kehidupan masyarakat Cina di bawah kekuasaan rezim Komunis berdasarkan
pengalamannya. Sebagai anak seorang pejabat tinggi partai - ayahnya menjadi
gubernur dan ibunya memegang jabatan penting di salah satu departemen - Jung
Chang menikmati masa kanak-kanak yang manis dengan segala fasilitas dan
kemudahan. Ayah dan ibunya adalah pejabat-pejabat partai yang jujur dengan
dedikasi tinggi serta loyalitas total kepada cita-cita partai dan Ketua Mao.
Mereka sepenuhnya percaya bahwa Mao akan membawa Cina menjadi sebuah masyarakat
komunis yang adil makmur, sama rata sama rasa.
Namun, kekuasaan selalu menyilaukan dan membuat lupa diri. Tak ada
yang rela kehilangan begitu saja segala kenikmatan yang diberikan kekuasaan
kepada para pemegangnya. Kursi empuk kekuasaan membuat terlena yang
mendudukinya, sehingga segala cara lalu dihalalkan untuk mempertahankannya.
Meskipun harus mengorbankan kawan seperjuangan dan para pendukung setia.
Mao yang haus kekuasaan perlahan-lahan menjelma menjadi diktator
yang kejam dan bengis. Tanpa segan menyiksa dan membunuh mereka yang dianggap
bersalah menurut penilaiannya. Rakyat hidup dalam teror ketakutan
terus-menerus. Jung Chang menggambarkan dengan baik sekali situasi dan kondisi
masyarakat Cina yang menderita di bawah tekanan rezim komunis itu : krisis
ekonomi, krisis pangan dan bencana kelaparan yang membunuh jutaan rakyat tak
berdosa, hasut-menghasut serta kekerasan di antara warga dan sesama anggota
partai, penyiksaan terhadap warga yang dituduh pengkhianat atau dicurigai
sebagai mata-mata, hilangnya kebebasan dan kepemilikan pribadi serta
kewajiban-kewajiban tidak masuk akal yang harus dijalankan. Ujung-ujungnya,
masyarakat komunis adil makmur, tak pernah terwujud.
Di tengah semua tekanan itu, Jung Chang beserta ayah, ibu, nenek,
dan saudara-saudaranya menghadapinya dengan tabah dan berani. Moral dan
kejujuran mereka yang telah tertempa dengan baik selama ini tak tergerus oleh
keadaan yang serba berbalik seratus delapan puluh derajat. Mereka tetap setia
pada tujuan perjuangan partai. Yang mulai terasa goyah justru keyakinan mereka
pada kepemimpinan Mao. Mereka melihat Mao telah terlalu jauh menyimpang dalam
upaya mencapai tujuan itu sehingga membuat rakyat menderita. Dan meragukan Mao
berarti sama saja dengan menyerahkan diri untuk dihukum penjara atau disiksa
sampai mati. Minimal dibuang ke kamp kerja paksa.
Lewat sudut pandangnya berdasarkan pengalaman empiris, Jung Chang
menulis sejarah Cina abad ke-20 dengan cara yang sangat menarik.
Kalimat-kalimatnya cukup ngepop untuk sebuah novel sejarah, sehingga kita dapat
mengikutinya seperti membaca kisah fiksi. Sudah tentu, sebagai satu kisah
nyata, perasaan penulisnya amat terlibat di dalamnya dan berkat kemahirannya
bercerita, ia berhasil menggugah, menyeret, dan membentur-benturkan emosi
pembacanya terutama saat berhadapan dengan bagian-bagian yang tragis dan tidak
pernah terbayangkan sebelumnya. Bagaikan tengah bersaksi, Jung Chang menyingkap
seluruh tabir gelap yang selama ini menyelimuti fakta yang sebenarnya terjadi.
Dan untuk melakukan semua itu, seseorang membutuhkan keberanian yang besar.
Sebagai pelengkap dan data pendukung kebenaran kisahnya, Jung
Chang menampilkan 31 foto (hitam putih) dalam buku setebal hampir 600 halaman
ini. Bahkan salah satu foto tersebut - foto ibunya - dipakai sebagai ilustrasi
cover edisi bahasa Indonesia. Hasilnya adalah sebuah desain sampul yang bagus,
berhasil menampilkan kesan yang kuat untuk buku ini.[*]
Catatan:
Buku ini meraih NCR Book Award pada 1992 dan British Book of The
Year Award 1993.
--Endah Sulwesi
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar