Judul:
Awakening the Giant,
Membangunkan Negeri Raksasa yang
Tertidur
Penulis: Munawar Fuad Noeh Penerbit: Gramedia
Peresensi:
Dyah Sulistyorini
|
Buku berjudul
“Awakening the Giant, Membangunkan Negeri Raksasa yang Tertidur” adalah
dokumentasi muhibah ke luar negeri seorang aktivis pemuda religius yang
memosisikan diri pembelajar sekaligus duta Public Relation (PR) untuk
Indonesia.
Buku ini ditulis
Munawar Fuad Noeh, dosen dan konsultan program sosial yang tercatat sebagai
Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (PPP
KNPI) Periode 2005-2008 serta Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda
Ansor (2005-2010).
Meskipun telah
menulis lebih dari 20 judul buku, Munawar Fuad Noeh yang lebih suka memberi
akronim MF pada dirinya, ternyata tetap mengklaim diri sang musafir yang ummy,
orang yang sangat awam dan bodoh dalam hal dunia luar negeri.
Buku 228 halaman
tidak berwarna ini diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, 2009, dan dimukadimahi
oleh pengantar dari tiga pejabat pemerintah, Direktur Utama BRI dan Duta Besar
Selandia Baru.
Bagian paling
menarik dari buku ini adalah prolognya yang menceritakan latar belakang
penulisan buku berikut sejumlah pertanyaan yang ingin dijawabnya tentang makna
berbangsa dan menjadi warga bangsa yang merdeka. Rupanya MF ingin mencoba
melihat, merasakan posisi dan peran Indonesia dalam percaturan negara-negara
lain.
Dalam prolognya dia
mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis seperti mengapa bangsa lain bisa maju
dan unggul dalam menata dirinya, bagaimana setiap bangsa menyiapkan
generasinya, menata sistem negaranya dan mendesain sistem kepemimpinan yang
mampu mempengaruhi dunia, serta pertanyaan mengapa mereka lebih cepat keluar
dari krisis kehancuran dan keruntuhan.
Isi buku ini lebih
banyak menceritakan pencatatan, refleksi, perbandingan dan manfaat yang mungkin
diambil dari muhibahnya ke 15 negara, dalam kapasitasnya sebagai wakil
Indonesia yang mengemban misi kepemudaan, kewirausahaan, misi pendidikan dan
kebudayaan.
Munawar menyebutkan
pertemuannya dengan sejumlah tokoh yang menaruh perhatian dalam dunia
pendidikan sebagai kunci untuk kemajuan bangsa.
Buku ini dilengkapi
peta, foto-foto pribadi penulis, di samping perasaan dan ide yang mengalir
lancar yang bisa menginspirasi warga bangsa untuk bangkit sejajar dengan bangsa
lain di dunia.
Ada dualisme emosi
dalam buku ini, yaitu antara semangat penulis dan kegelisahannya. Pada satu
sisi, penulis tampak bersemangat demi perubahan untuk mencapai Indonesia yang
besar, namun di sisi lain dia gelisah melihat kondisi yang sebaliknya sering
dijumpai di Indonesia.
Dalam pengantar
buku itu, Adhyaksa Dault, melukiskan apresiasinya pada Munawar dengan
berkata,”Saya menggarisbawahi pentingnya semangat itu, semangat untuk berbagi
pengalaman dari penulis kepada para pemuda dan masyarakat tentang sebuah
perjalanan internasional, interpretasi dan bahkan inspirasi penulis untuk
kemudian dikontekstualkan dengan kondisi ke Indonesiaan serta mencoba membangun
gagasan Indonesia dalam konteks hubungan dengan masyarakat dunia.”
Adhyaksa
melanjutkan, “Semangat penulis dan berbagi ini sangat penting, mengingat banyak
orang yang pernah mempunyai pengalaman nasional dan internasional tetapi tidak
menuliskannya dalam sebuah buku. Pengalaman tersebut akhirnya hanya menjadi
khasanah pribadi, padahal pengalaman internasional tersebut perlu dibagi agar
memperluas cakrawala berpikir serta menjadi inspirasi bersama dalam menghadapi
berbagai permasalahan bangsa.”
Buku ini tergolong
ringan, namun bagian paling eksotis dari buku ini adalah tulisan di halaman 207
tentang profil Munawar Fuad yang ditulis Ahmad Gaus AF, penyunting buku ini.
Dengan cerdas Ahmad
menceritakan sosok penulis yang digambarkannya seorang pembelajar dan pekerja
keras. Bagian ini mungkin yang paling mengilhami banyak orang dibandingkan
paparan daftar riwayat hidup penulis di halaman belakang.
Kritik terbesar
dari buku ini adalah judulnya yang bombastis, berharap kebangkitan raksasa
tidur, namun kurang penjelasannya kurang terstruktur dan rinci, khususnya mengenai
“the giant” itu.
Namun itu
terselamatkan oleh hadirnya epilog yang ditulis Bambang Ismawan, tokoh Lembaga
Swadaya Masyarakat yang menganalisis bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang
menanamkan spirit pembelajar.
Bambang Ismawan
menuturkan, menjadi bangsa yang besar membutuhkan nilai-nilai utama seperti
demokras, toleransi dan mengetahui bagaimana hidup bersama secara baik sebagai
sesama anggota masyarakat.
Epilog ini tajam
dan memberi pujian bagi MF yang digambarkannya seorang pembelajar yang efektif
karena MF mencatat, merefleksikan, membandingkan, dan mengambil manfaat,
mengembangkan apa yang dilihat, didengar dan dirasakannya, yang paralel dengan
konteks Indonesia yang bertumbuh.
Bambang meyakini
pendapat Hernando de Sotto (2006) yang menyebutkan bahwa asset informal suatu
negara 20 kali lebih besar daripada aliran investasi asing dan 90 kali lebih
banyak dari bantuan asing dalam 30 tahun. [*]
Sumber:
Kompas, 22 September
2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar