Judul Buku: Beda Pendapat di Tengah Umat
Judul Asli: Al-Inshaf fi Asbabil Ikhtilaf Penulis: Syah Waliyullah Ad-Dahlawi Alih Bahasa: KH A Aziz Masyhuri Penerbit: Pustaka Pesantren Cetakan I: Agustus 2010 Tebal: XVIII+ 132 hlm. Peresensi: Fathul Qodir |
Ikhtilaful Ummati Rohmatun, perbedaan ummatku
adalah rahmat. Demikian sabda Nabi yang populer digunakan untuk menyikapi
fenomena perbedaan umat. Secara implisit hadis ini mengindikasikan bahwa
perbedaan adalah sunnatullah yang harus dikelola agar mendatangkan
kemaslahatan. Imam Sufyan As-Syauri berpendapat bahwa kata “ikhtilafu”
(perbedaan) dalam hadis nabi di atas diartikan dengan usaha memperluas
pemahaman hukum Islam kepada umat.
Namun,
dalam realitasnya umat Islam selama ini belum mampu menangkap dan
mengimplementasikan pesan agung itu. Bahkan ironisnya, hanya karena beda
madzhab, organisasi, partai maupun kepentingan, antar sesama muslim saling
mengkafirkan, mencaci bahkan tidak jarang saling membunuh. Bukan lagi rahmat,
tapi laknat yang didapat.
Saat
kelompok di luar Islam mengembangkan diri dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi, umat Islam masih saja berkubang dalam kebodohan karena perpecahan.
Selaras dengan hal tersebut, Suryadarma Ali berpendapat bahwa sikap jumud (beku)
dan tafarruq (pecah belah) adalah faktor pelemah kekuatan dan
perusak keutuhan umat Islam. Demikian ulas Menteri Agama RI dalam pengantar
buku berjudul “Beda Pendapat di Tengah Umat” karya KH A Aziz Masyhuri mantan
ketua RMI Pusat (hal. xviii).
Pendapat
tersebut cukup beralasan, sebab kejumudan dan perpecahan tidak memberikan ruang
kepada umat untuk memberdayakan diri dalam ilmu pengetahuan. Kreatifitas
terpasung, taqlid hanya kepada pemimpin atau ulama kelompoknya, namun
menegasikan ide-ide besar kelompok lain.
Buku
di atas berjudul asli “Al-Inshaf Fi Asbabil Ikhtilaf” karangan ulama pembaharu
India, yakni Syeikh Waliyullah Ad-Dahlawi (1114-1176 M.) Dalam buku tersebut
diungkap sebab-sebab awal terjadinya perbedaan di kalangan umat Islam, mulai
masa sahabat hingga abad keempat Hijriah. Karya besar Ad-Dahlawi ini
terinspirasi oleh fenomena perselisihan antar sesama umat Islam yang tiada
kunjung usai, pertengkaran yang pada akhirnya melemahkan potensi internal umat
Islam. Disinyalir perselisihan itu hanya dilatarbelakangi perbedaan interpretasi
al-Qur’an dan al-Hadis, ditambah kefanatikan serta ketidakcerdasan umat Islam
menyikapi perbedaan.
Sejarah Beda Pendapat dalam Islam
Pasca
Rasulullah wafat, tiada lagi otoritas tunggal yang mampu menjawab segala
permasalahan umat yang berkaitan dengan syari’at Islam. Meskipun para sahabat
Nabi adalah manusia-manusia pilihan dan memahami tujuan pensyariatan, namun
tingkat kemampuan para sahabat menangkap pesan al-Qur’an dan sabda Nabi
beragam. Selain itu, tidak semua para sahabat mengetahui segala yang disabdakan
Nabi. Faktor semakin luasnya wilayah Islam juga memunculkan problem sosial baru
yang tidak ditemui saat Rasulullah masih hidup, padahal semua itu membutuhkan
jawaban berdasar syari’at Islam.
Jika
jawaban atas permasalahan umat pada masa sahabat itu terdapat dalam al-Qur’an
maupun sabda Nabi, tidaklah menjadikan problem. Namun, bila tidak ditemukan
jawaban secara eksplisit dalam kedua sumber syariat tersebut, atau terdapat
dalam beberapa hadis namun penjelasannya saling bertentangan, ataupun ayat
al-Qur’an yang satu dengan yang lain saling bertentangan menyikapi permasalahan
tersebut, di sinilah potensi perbedaan pendapat muncul. Semisal perbedaan
penalaran hadis Rasulullah yang berbunyi: “Inna ahlaha yabkuna ‘alaiha waiyyaha
tu’adzabu fi qabriha” (keluarga menangisinya, padahal ia sedang disiksa dalam
kuburnya) (hal.14).
Berkaitan
dengan hadis itu Ibnu Umar berpendapat bahwa siksaan atas mayit dikarenakan
tangisan keluarganya. Hal itu dibantah oleh Siti Aisyah; dia berpendapat bahwa
Nabi bersabda demikian tatkala melewati kuburan orang Yahudi yang sedang
diratapi oleh keluarganya. Menurut Istri Nabi Saw tersebut, siksaan itu bukan
karena faktor tangisan dari keluarga mayit, namun karena kekafiran si mayit
itu. Jika Ibnu Mas’ud memandang keumuman lafadznya (al-ibrah biumumil lafdzi),
sehingga memunculkan pemahaman bahwa setiap ratapan atau tangisan keluarga
menyebabkan disiksanya seorang mayit. Maka Aisyah melihat dari kekhususan
redaksinya (al-ibrah bikhususis sabab), yakni sabda nabi hanya berlaku
pada kasus si mayit Yahudi itu, dan tidak ada kaitan dengan ratapan keluarga si
mayit. Meskipun kedua sahabat tersebut berbeda pendapat namun tidak menimbulkan
saling klaim paling benar sendiri dan perselisihan.
Jika
di masa sahabat yang nota bene sempat menyaksikan proses pewahyuan dan
berinteraksi langsung terhadap Rasulullah telah terjadi perbedaan penafsiran
sumber syariat, maka wajar jika generasi selanjutnya juga demikian, bahkan
semakin lebar tingkat perbedaannya. Kurun pasca sahabat, pendapat sahabat Nabi
yang beragam itupun dijadikan pegangan hukum oleh para ulama mujtahid di masa
tabi’in dan setelahnya. Kemudian para mujtahid berusaha menciptakan
metode-metode yang dijadikan acuan untuk memahami sumber syariat.
Di
sisi lain setiap mujtahid memiliki pendukung yang berusaha mempertahankan
konsep-konsep serta berusaha mengkodifikasikan dan mengembangkan pola pemikiran
mujtahidnya. Hal demikian meniscayakan munculnya saling beda pendapat dan
perdebatan antar pengikut mujtahid, sehingga tradisi debat dan dialog marak
menghiasi forum-forum kajian dan majelis-majelis ilmu. Perbedaan di masa itu
menciptakan dialektika keilmuan Islam semakin berkembang.
Manfaat dan Bahaya Taqlid
Jika
di masa tabi’in dan para imam mujtahid dialektika keilmuan Islam menjadi
spirit, berbeda dengan yang terjadi dalam kurun setelahnya. Pada masa ini
tradisi keilmuan Islam menurun jika tidak dikatakan stagnan. Para ulama lebih
memilih mentakhrij (seleksi) pendapat imam mujtahid yang layak dan
tidak layak diikuti. Budaya ijtihad dan ekplorasi dalil al-Qur’an dan al-Hadis
tidak lagi menjadi prioritas ulama dalam dekade ini. Akibatnya dinamika
keilmuan Islam tidak berkembang dan taqlid kepada imam mujtahid sebagai
alternatif dan harga mati. Kefanatikan merambah hampir seluruh dunia Islam,
bibit perselisihan antar madzhab mulai tumbuh. Truth claim,
saling counter pendapat seakan melengkapi kemunduran Islam dalam abad-abad ini.
Hingga saat inipun budaya taqlid masih dipegang erat oleh sebagian umat Islam.
Polemik
ijtihad dan taqlid tidak pernah sepi dalam perdebatan antar cendikiawan Islam.
Salah satu ulama yang menentang taqlid adalah Ibnu Hazm, dia mengatakan “Allah
melarang seseorang merujuk ucapan seseorang selain al-Qur’an dan as-Sunnah
ketika berselisih pendapat. Demikian itu haram”. Menanggapi statemen tersebut,
ad-Dahlawi berargumen bahwa pendapat Ibn Hazm itu ditujukan kepada orang yang
telah mampu berijtihad, meskipun hanya dalam satu masalah. Atau lebih tepat
ditujukan kepada orang bodoh yang bertaqlid kepada pakar fikih tertentu, dengan
keyakinan bahwa pakar fikih itu tidak mungkin salah. Apa yang diucapkannya
pasti benar, serta tidak akan meninggalkan pendapat si fakih meskipun ada dalil
kuat yang jelas-jelas bertentangan (hal 106-108). Bagi Ad-Dahlawi,taqlid adalah
sebuah solusi alternatif bagi umat Islam yang tidak mampu mencari dalil
langsung dalam al-Qur’an dan al-Hadis.
Taqlid
juga berlaku bagi seseorang yang tidak mengetahui Hadis dan tidak tahu cara
mengkompromikan Hadis-hadis yang bertentangan atau tidak mengetahui cara
menggali hukum dari Hadis tersebut. Maka tidak ada cara lain kecuali harus
taqlid kepada pakar yang tepat dan benar ucapan serta fatwanya mengikuti Sunnah
Rasulullah (109). Taqlid adalah media penyelamat dari kesembronoan dan
pendangkalan syariat bagi umat yang awam dan tidak mampu menggali hukum
langsung dari sumber syariat.
Meskipun
taqlid adalah sebuah keharusan bagi umat yang masih awam, namun tidak kalah
pentingnya tradisi ijtihad para ulama besar di masa-masa awal Islam harus terus
digalakkan. Sebab hanya dengan ijtihad ilmu pengetahuan Islam akan terus
berkembang, selain akan mampu menjawab problematika umat yang terus berkembang,
Islam juga akan mewarnai gelanggang ilmu pengetahuan dunia yang telah lama
diambil alih dunia Barat. Ijtihad adalah sebuah keniscayaan ditengah-tengah
kejumudan dan keterbelakangan umat Islam, namun dibutuhkan keberanian dan
keuletan umat dalam mendalami ajarannya.
Dalam
ijtihad dibutuhkan penguasaan disiplin ilmu yang tidak sedikit, seperti
menguasai ilmu tafsir, hadis, musthalah hadis, ilmu balaghah, mantiq, sejarah,
bahasa dan lain sebagainya. Hal tersebut bukanlah pekerjaan sederhana yang bisa
dilakukan oleh sembarang orang. Ijtihad tidak cukup bermodal terjemah al-Qur’an
dan al-Hadis saja, sebagaimana yang akhir-akhir ini digembar- gemborkan oleh
sekelompok umat yang selalu meneriakkan ijtihad dan kembali kepada al-Qur’an
dan al-Hadis, namun mereka minim ilmu dan tidak menguasai persyaratan ijtihad.
Hal ini tidak saja konyol namun juga sangat berbahaya bagi keberlangsungan
syariat Islam.
Buku
ini mengajak pembaca mengetahui sejarah dan akar perbedaan pendapat yang
terjadi di dunia Islam pasca Rasulullah saw. Dengan harapan umat Islam mampu
mendudukkan perbedaan secara proporsional, sehingga tidak menyebabkan kefanatikan
dan perpecahan yang akan menciptakan kemunduran Islam. Selain itu, Ad-Dahlawi
mengajak umat Islam agar bangkit dari kubangan fanatik buta dan berusaha
menghidupkan tradisi ijtihad. Buku ini penting dibaca oleh seluruh lapisan
umat, dengan harapan dapat tercerahkan jiwa dan pikirannya.Sehingga para
pembaca menyadari bagaimana mereka menyikapi perbedaan selama ini dan sebatas
mana usaha yang dilakukan untuk mengembangkan ajaran Islam. [*]
*) Kader NU Cabang Magelang Alumnus Pesantren Lirboyo 2004
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar