Judul
: Benarkah Tahlilan & Kenduri Haram?
Penulis
: Muhammad Idrus Romli
Editor:
Achmad Ma’ruf Asrori
Penerbit:
Khalista, Surabaya
Cetakan:
I, 2012Tebal: v + 82 hlm.
Peresensi: Ach. Tirmidzi
Munahwan
|
Buku kecil “Bernarkah Tahlilan dan Kenduri
Haram”, yang sederhana ini ditulis oleh salah seorang anak muda NU
dan sangat produktif menulis berasal dari Jember. Kehadiran buku ini dilatar
belakangi saat penulis mengisi acara daurah
pemantapan Ahlussunnah Waljama’ah di salah satu Pesantren di
Yogyakarta. Ketika sampai dalam sesi tanya jawab, ada salah seorang peserta
mengajukan pertanyaan kepada penulis tentang hukum selamatan kematian, tahlilan
dan yasinan. Selain itu penaya juga memberikan selebaran Manhaj Salaf, setebal
14 halaman dengan kumpulan artikel berjudul “Imam Syafi’i Mengharamkan Kenduri
Arwah, Tahlilan, Yasinan dan Selamatan”.
Tradisi tahlilan,
yasinan, dan tradisi memperingati 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan 1000
hari orang yang meninggal dunia adalah tradisi yang telah mengakar di tengah-tengah
masyarakat kita khususnya di kalangan warga nahdliyin. Dan tradisi tersebut
mulai dilestarikan sejak para sahabat hingga saat ini, di pesantrenpun
tahlilan, yasinan merupakan tradisi yang dilaksanakan setiap hari setelah
shalat subuh oleh para santri. Sehingga tahlilan, yasinan merupakan budaya yang
tak pernah hilang yang senantiasa selalu dilestarikan dan terus dijaga
eksistensinya.
Seiring dengan
lahirnya aliran-aliran baru seperti aliran wahabi atau aliran salafi yang telah
diceritakan oleh penulis, tradisi tahlilan dan yasinan hanyalah dianggap
sebatas budaya nenek moyang yang pelaksanaannya tidak berdasarkan dalil-dalil
hadits atau al-Qur’an yang mendasarinya. Sehingga aliran Wahabi dan Aliran
Salafi menolak terhadap pelaksanaan tradisi tersebut, bahkan mereka
menganggapnya perbuatan yang diharamkam.
Tahlilan, yasinan
merupakan tradisi yang telah di anjurkan bahkan disunnahkan oleh
Rasulullah dan para sahabatnya. Yang di dalamnya membaca serangkaian ayat-ayat
al-Qur’an, dan kalimah-kalimah tahmid, takbir, shalawat yang di awali dengan
membaca al-Fatihah dengan meniatkan pahalanya untuk para arwah yang dimaksudkan
oleh pembaca atau yang punyak hajat, dan kemudian ditutup dengan do’a. Inti
dari bacaan tersebut ditujukan pada para arwah untuk dimohonkan ampun kepada
Allah, atas dosa-dosa arwah tersebut.
Seringkali
penolakan pelaksanaan tahlilan, yasinan, dikarenakan bahwa pahala yang
ditujukan pada arwah tidak akan menolong terhadap orang yang meninggal. Padahal
telah seringkali perdebatan mengenai pelaksanaan tahlil di gelar, namun tetap
saja ada pihak-pihak yang tidak menerima terhadap adanya tradisi tahlil dan
menganggap bahwa tahlilan, yasinan adalah perbuatan bid’ah.
Para ulama sepakat
untuk terus memelihara pelaksanaan tradisi tahlil tersebut berdasarkan
dalil-dalil Hadits, al-Qur’an, serta kitab-kitab klasik yang menguatkannya. Dan
tak sedikit manfaat yang dirasakan dalam pelaksanaan tahlil tersebut.
Diantaranya adalah, sebagai ikhtiyar (usaha) bertaubat kepada Allah untuk diri
sendiri dan saudara yang telah meninggal, mengikat tali persaudaraan antara
yang hidup maupun yang telah meninggal, mengingat bahwa setelah kehidupan
selalu ada kematian, mengisi rohani, serta media yang efektif untuk dakwah
Islamiyah.
Buku ini
menguraikan secara rinci tentang hukum kenduri kematian, tahlilan, yasinan, dan
menjelaskan khilafiyah ulama salaf memberikan makanan oleh keluarga duka cita
kepada orang-orang yang berta’ziah. Karena dikalangan ulama salaf masih
memperselisihkan bahwa, memberikan makanan kepada orang-orang yang berta’ziah, ada yang
mengatakan makruh, mubah, dan sunnah. Namun dikalangan ulama salaf sendiri
tidak ada yang berpendapat tahlilan, yasinan merupakan perbuatan yang
diharamkan. Bahkan untuk selamatan selama tujuh hari, berdasarkan riwayat Imam
Thawus, justru dianjurkan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat dan
berlangsung di Makkah dan Madinah hingga abad kesepuluh hijriah (hal. 13).
Menghadiahkan amal
kepada orang yang telah meninggal dunia maupun kepada orang yang masih hidup
adalah dengan media do’a, seperti tahlilan, yasinan, dan amalan-amalan yang
lainnya. Karena do’a pahalanya jelas bermanfaat kepada orang yang sudah
meninggal dan juga kepada orang yang masih hidup. Seorang pengikut madzhab
Hambali dan murid terbesar Ibnu Taimiyah, yaitu Ibnul Qoyyim al-Jauziyah
menegaskan pendapatnya, seutama-utama amal yang pahalanya dihadiahkan kepada
orang yang meninggal adalah sedekah.
Adapun membaca
al-Qur’an, tahlil, tahmid, takbir, dan shalawat dengan tujuan dihadiahkan
kepada orang yang telah meninggal dunia secara sukarela, ikhlas tanpa imbalan
upah, maka hal yang demikian sampailah pahala itu kepadanya. Karena orang yang
mengerjakan amalan yang baik atas dasar iman dan ikhlas telah dijanjikan oleh
Allah akan mendapatkan pahala. Artinya, pahala itu menjadi miliknya. Jika
meniatkan amalan itu untuk orang lain, maka orang lain itulah yang menerima
pahalanya, misalnya menghajikan, bersedekah atas nama orang tua dan lain
sebagainya.
Dengan demikian,
buku ini layak dibaca oleh semua kalangan manapun baik yang pro maupun yang
kontra terhadap adanya tradisi tahlilan dan yasinan. Agar supaya tradisi
tahlilan dan yasinan yang sudah akrab ditengah-tengah masyarakat tidak lagi
terus dipertanyakan mengenai kekuatan dalilnya. Sehingga agar tumbuh saling pengertian
dan membangun solidaritas antar sesama muslim. Membaca buku kecil dan sederhana
ini, pembaca akan mengetahui secara jelas terhadap dalil-dalil bacaan tahlilan,
yasinan yang selama ini dikatakan haram dan perbuatan bid’ah. Wallahu a’lam. [*]
*) Dosen Sekolah Tinggi Islam Blambangan (STIB) Banyuwangi
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar