Judul: Benih-Benih Islam Radikal di
Masjid;
Studi Kasus Jakarta dan Solo
Penulis: Ridwan al-Makassary (Ed.) Pengantar: Prof. Dr. Komaruddin Hidayat Penerbit: CSRC, UIN Jakarta Cetakan: I, 2010, Tebal: xxxii+358 Halaman Peresensi: Ahmad Syauqi, SH, M.Hum* |
Keberadaan
masjid sebagai pertanda bahwa Islam sebagai agama masih eksis di muka bumi ini.
Eksistensi masjid merupakan ikon kejayaan Islam, karena masjid sebagai pertanda
tempat beribadan umat Islam. Kalau ada pertanyaan apa yang paling Islam dari
masjid? Jawabnya sangat sederhana; salatnya. Selain itu merupakan akulturasi
dan hasil ijtihad. Seperti kubah tidak ada dalam tradisi Arab. Di Eropa kubah
identik dengan gereja. Jadi kubah merupakan Islamisasi kultural oleh umat
Islam. Menara (manarot) yang merupakan bagian penting dari masjid juga
bukan dari Islam. Mulanya adalah tempat api untuk memuja para dewa dari bangsa
Majusi.
Fungsi
masjid di dalam Islam tidak hanya sebatas sebagai tempat ibadah, melainkan
multifungsi. Dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, ketika Nabi mau menyelesaikan
persoalan yang terkait dengan persoalan umat Islam semuanya dilaksanakan di
masjid. Sehingga masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat salat, melainkan
berfungsi sebagai tempat musyawarah, pendidikan, lembaga perekonomian, seperti baitul
mal, tempat pelatihan aneka keterampilan (skill),
hingga latihan perang.
Dalam
catatan sejarah, tidak sedikit kita temui dalam beberapa literatur, data yang
menunjukkan tentang alih fungsi tempat ibadah. Seperti masjid yang berubah
menjadi gereja, dan tidak sedikit pula gereja yang menjadi masjid. Dinamika itu
terjadi karena masing-masing agama mempunyai visi dan misi untuk mengajak umat
agar memeluk, masuk dan menjadi pengikutnya sehingga berjumlah banyak dan
menjadi kuat.
Tetapi
Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin dalam
perkembangannya tetap menampilkan sebagai agama berwajah ramah dan damai.
Karena hingga kini, belum ada data yang menampilkan dikala Islam datang
kemudian menghancurkan tempat ibadah agama lain. Di mata dunia, umat muslim
merupakan masyarakat yang memiliki karakter ramah dan damai. Tetapi dalam
dasawarsa ini, sifat itu tercoreng akibat maraknya aksi-aksi kekerasan dan
teror bom, yang dipicu oleh peningkatan pemikiran Islam radikal di Indonesia.
Pasca
runtuhnya kekuasan Orde Baru yang dinahkodai Soeharto, beralih menjadi masa
reformasi ada perbincangan serius di kalangan umat Islam sendiri tentang
kondisi masjid sebagai tempat peribadatan muslim. Hal itu wajar terjadi karena
umat Islam Indonesia tergolong dalam beberapa kelompok. Mulai dari yang mengaku
dirinya sebagai golongan Islam moderat (al tawassuth) yang wakili oleh NU dan
Muhammadiyah hingga yang golongan radikal seperti Wahabi, Salafi, HTI, Front
Pembela Islam (FPI), TMI, LDII dan kelompok Islam liberal sekarang justru
banyak diminati anak muda muslim. Dua kelompok Islam (moderat dan radikal)
sama-sama mempunyai pengikut besar jumlahnya dan mempunyai masjid sebagai
tempat peribadatan masing-masing.
Melihat
adanya beberapa aliran diatas, maka kasusnya berbeda dengan yang kita dapati
pada waktu sebelumnya. Kalau dulu banyak tempat ibadah agama tertentu menjadi
tempat peribadatan agama lain, di Indonesia justru terjadi yang sebaliknya.
Masjid milik kelompok Islam tertentu mulai dikuasai oleh kelompok Islam yang
mempunyai pemikiran radikal.
Akibat
tindakan yang dilakukan kelompok Islam radikal, akhirnya muncul adanya
kekhawatiran dari ormas Islam akan kehilangan masjidnya. Tidak heran jika ada
anekdot mengatakan, jika orang NU salat di masjid Muhammadiyah, sandalnya
hilang. Kalau orang Muhammadiyah, salat di masjid NU, maka masjid NU-nya yang
hilang. Sedangkan kalau orang PKS salat di masjid Muhammadiyah, maka jamaah
masjidnya yang hilang.
Menyikapi
hal diatas, dua ormas terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah membuat
kebijakan. Kebijakan yang dimaksud adalah PBNU mengeluarkan rekomendasi tentang
sertifikasi masjid-masjid NU agar tidak diambil oleh kelompok Islam radikal.
Sementara PP Muhammadiyah mengeluarkan Surat Keputusan Pimpinan Pusat
(SKPP) Muhammadiyah No. 149/Desember 2006 agar hasil amal usaha Muhammadiyah
tidak dicablok oleh kelompok Islam radikal.
Lalu,
benarkah ada pemikiran radikal di masjid dan seberapa jauh masjid digunakan
sebagai locus persemaian pemikiran radikal? Buku Benih-Benih Islam Radikal di
Masjid; Studi Kasus Jakarta dan Solo yang merupakan hasil penelitian garapan Centre
for the Study of Religion and Culture (CSRC) Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta yang isinya banyak menyajikan
data-data secara akurat dalam rangka menjawab pertanyaan tersebut diatas.
Sederhananya
buku ini ingin menampilkan kepada para tokoh agamawan, pemerhati, peneliti,
akademisi, pimpinan ormas Islam, seperti NU dan Muhammadiyah dan
masyarakat sendiri. Bahwa dari data yang dihasilkan di lapangan, ada
ketidaksamaan pendapat/pemikiran antara elit-elit agamawan dengan pengikutnya.
Misalnya, para elit agama (NU dan Muhammadiyah) wacana tentang NKRI sudah final
dan tidak bisa digantikan dengan sesuatu apa pun, data di bawah (grass
root) masih menunjukkan bahwa umat Islam yang berkeinginan wajib
mendirikan negara Islam 21% dan umat Islam wajib memperjuangkan khilafah
angkanya mencapai 32% (hl. 91).
Contoh
lain tentang formalisasi syari’ah. Elit-elit agama sering beranggapan bahwa
hukum di Indonesia telah mengakomodasi hukum syari’ah dan tak perlu
memperjuangkan hukum formal, dari data yang dihimpun jamaah masih beranggapan
wajib memberlakukan pidana Islam 31%, umat Islam wajib memperjuangkan Piagam
Jakarta 45%, Negara berwenang mengatur cara pakaian 60% (hl. 52). Dan masih
banyak ketimpangan opini lainnya, misalnya tentang terorisme, tindakan FBI yang
semakin brutal, aliran Ahmadiyah, isu gender, dan faham pluralisme.
Pemikiran
Islam radikal –jujur dan tidak perlu ditutup-tutupi– memang mulai menggejala di
beberapa masjid di Indonesia, tidak sedikit pula masjid yang moderat. Tetapi
kalau pemikiran-pemikiran radikal terus berkembang dan ada upaya-upaya
strategis yang dilakukan oleh kelompok Islam radikal, maka akan berbahaya
terhadap wajah masa depan Islam Indonesia yang dinilai oleh bangsa luar sebagai
masyarakat muslim yang ramah dan damai.[*]
*) Ketua Umum PP IPNU
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar