Belakangan ini, banyak
sekali peristiwa yang dikaitkan dengan aktifitas gerakan kelompok
fundamentalis. Berbagai media dipenuhi oleh kejadian-kejadian yang mencerminkan
hal tersebut. Pembunuhan perdana menteri Yitzak Rabin, tragedi 11 September di
Amerika, bom bunuh diri yang mewarnai konflik Israel-Palestina adalah contoh
dari sekian banyak reaksi berbahaya kelompok fundamentalis terhadap dunia
modern. Meskipun para pelakunya datang dari beragam kepercayaan, mereka
memiliki satu karakteristik umum: over fanatism in religious faith. Ketaatan
yang berlebihan dalam beragama.
|
Judul:
Berperang Demi Tuhan; Fundamentalisme
dalam
Islam, Kristen, dan Yahudi
Judul
Asli : The Battle for God
Penulis
: Karen Armstrong
Penerbit
: Serambi dan Mizan
Cetakan
: I, Agustus 2001
Tebal :
xx + 641 halaman
Peresensi:
Mu’adz D’Fahmi
|
Karen Armstrong merupakan
salah seorang pengkaji agama terkemuka asal Inggris. Setelah mengabdi selama
tujuh tahun sebagai biarawati Katolik Roma yang pada akhirnya gagal menemukan
"Tuhan" dalam kesalehan sistem Papal, Armstrong meninggalkan gereja
tahun 1969 dan meneruskan studi di universitas Oxford. Beberapa karyanya
tercatat sebagai best seller versi New York Times. Di antaranya: The Gospel According
to Woman (1987), Holy War (1991), Muhammad; A Biography of the Prophet (1992),
dan A History of God (1993).
The Battle for God
(Berperang Demi Tuhan) adalah kelanjutan dari karya Armstrong sebelumnya: A
History of God (Sejarah Tuhan). Kedua karya ini saling memiliki keterkaitan.
Dalam Sejarah Tuhan, Armstrong mencoba mendeskripsikan usaha pencarian Tuhan
oleh para pemeluk agama sawami selama lebih dari 4.000 tahun. Sedangkan
Berperang Demi Tuhan memaparkan fenomena fundamentalisme dalam tiga agama monoteistik:
Kristen, Yahudi, dan Islam. Penelusuran Armstrong terhadap sejarah ketiga agama
besar ini sepanjang perubahan yang dimulai dari masa pencerahan Eropa
(renaissance, Aufklärung) menunjukkan bagaimana fundamentalisme pada akhirnya
muncul sebagai reaksi logis yang melawan ide-ide modernisme.
Belakangan ini, banyak
sekali peristiwa yang dikaitkan dengan aktifitas gerakan kelompok
fundamentalis. Berbagai media dipenuhi oleh kejadian-kejadian yang mencerminkan
hal tersebut. Pembunuhan perdana menteri Yitzak Rabin, tragedi 11 September di
Amerika, bom bunuh diri yang mewarnai konflik Israel-Palestina adalah contoh
dari sekian banyak reaksi berbahaya kelompok fundamentalis terhadap dunia
modern. Meskipun para pelakunya datang dari beragam kepercayaan, mereka
memiliki satu karakteristik umum: over fanatism in religious faith. Ketaatan
yang berlebihan dalam beragama.
Fundamentalisme merupakan
salah satu fenomena abad 20 yang paling banyak dibicarakan. Fundamentalisme
selalu muncul di dalam setiap agama besar dunia. Tidak hanya Kristen dan Islam,
fundamentalisme juga terdapat pada agama Hindu, Budha, Yahudi, Konfusianisme.
Belum ada definisi yang
jelas mengenai istilah "fundamentalisme". Pada mulanya, istilah ini
dipakai oleh kaum protestan Amerika awal tahun 1900-an untuk membedakan diri
dari kaum protestan yang lebih liberal. Sajak saat itu, istilah
"fundamentalisme" dipakai secara bebas untuk menyebut gerakan-gerakan
purifikasi (pemurnian ajaran) yang terjadi di berbagai agama dunia. Kendati demikian,
semua gerakan fundamentalisme memiliki pola-pola tertentu. Fundamentalisme
merupakan mekanisme pertahanan (defense mechanism) yang muncul sebagai reaksi
atas krisis yang mengancam (Martin E. Marty dan R. Scott Appleby, 1991)
***
Karakter utama buku ini
adalah klasifikasi Armstrong atas dunia ke dalam dua dikotomi: mitos-logos dan
konservatif-modern.
Manusia mengembangkan dua
cara berpikir dan memperoleh pengetahuan. Dalam buku Devotional Language,
Johannes Sloek menyebutnya dengan mitos dan logos. Mitos adalah pengetahuan
yang bersifat mistis, memiliki obyek abstrak-supralogis, tidak berdasarkan
fakta, dan ukuran kebenarannya ditentukan oleh rasa. Mitos tidak bisa
ditunjukkan dengan bukti-bukti rasional. Sedangkan logos sebaliknya. Ia adalah
pemikiran rasional, pragmatis, dan ilmiah. Logos terkait dengan fakta-fakta dan
realitas eksternal sehingga dapat dibuktikan secara empirik.
Menurut Armstrong, dahulu
agama menggunakan kedua elemen, baik mitos maupun logos untuk menciptakan
struktur sosial kehidupan masyarakat yang lengkap. Mitos dan logos sama-sama
penting. Tidak ada yang lebih dominan dari dua hal yang saling melengkapi ini.
Logos ada dalam hukum dan kepemerintahan, sementara mitos memenuhi tiap sudut
relung jiwa manusia. Kendati demikian, mitos dianggap lebih utama karena
berkaitan dengan sesuatu yang abadi.
Tapi, semenjak renaissance,
logos mulai mendominasi mitos. Pencapaian luarbiasa dalam bidang sains dan
teknologi merubah pikiran orang-orang Eropa. Euforia kesuksesan sains
menyingkirkan mitos dan menjadikannya hanya sebagai takhayul belaka. Pada
akhirnya rasionalitas menjadi satu-satunya sarana mencapai kebenaran.
Dengan kematian mitos,
agama menjadi tak bermakna. Dan para agamawan tenggelam dalam kehampaan
spiritualitas. Ruang kosong yang ditinggalkan mitos melahirkan fundamentalisme
yang notabene adalah pemberontakan "hantu" mitos terhadap agresivitas
tanpa kenal batas yang dilakukan logos.
Dikotomi kedua, konservatif
versus modern. Kesimpulan menarik diungkapkan oleh Issa J. Boullata.
Menurutnya, kekuatan tradisi, atau "semangat konservatisme" dalam
bahasa Karen Armstrong, berorientasi ke arah masa lampau dengan mengacu kepada
model internal. Kejayaan bagi kaum konservatif dapat diraih jika mengambil
uswatun hasanah (preseden baik) dari pengalaman terdahulu karena masa lalu
memberikan jaminan kesuksesan yang telah terbukti.
Di lain pihak, kekuatan
modernitas yang berorientasi ke arah masa depan, menggunakan model eksternal
sebagai rujukannya. Kemajuan diraih melalui upaya kreativitas dan progresivitas
yang dilandaskan pada nilai-nilai rasional.
***
Kim Allen mencatat,
kesalahan paling fatal dari dikotomi Armstrong terletak pada logika yang ia
gunakan. Armstrong menyimpulkan sains sebagai murni logos, murni modern. Ia
memuji orientasi ke depan sains dan penerimaannya akan ide-ide baru. Pada tahap
ini, Armstrong benar. Tapi, hanya seorang peneliti yang naiflah yang
mengabaikan kenyataan bahwa sains memiliki komponen konservatif yang kuat,
yaitu pandangan adanya kebenaran mutlak yang abadi, tak berubah, dan telah
sempurna semenjak awal penciptaan (Kim Allen, 2000). Sains bersandar kepada
aturan-aturan matematis yang kaku dan tidak dapat diinterpretasikan kembali
seiring perjalanan waktu.
Armstrong memaksa sains
memainkan peran stereotipikal yang secara diametris bersifat oposan terhadap
agama. Sebelumnya, agama dan sains merupakan dua komponen utama yang tak
terpisahkan dalam kepercayaan masyarakat. Baru beberapa abad kemudian,
orang-orang mulai mengklaim bahwa sains dan agama bertentangan—yang menurut
sebagian orang, pernyataan seperti itu adalah salah kaprah.
Dikotomi Armstrong sendiri
menempatkannya pada posisi dilematis. Armstrong menjelaskan bahwa pencerahan
Eropa melatarbelakangi perpindahan paradigma dari konservatif ke modern
sekaligus menghapus mitos dari sistem sosial masyarakat Barat. Dengan membagi
dunia ke dalam dua dikotomi, Armstrong menghabiskan berlembar-lembar halaman
bukunya hanya untuk "mengeksploitasi" sejarah agar sesuai dengan
asumsinya semula. Maka tidak mengherankan jika penjabaran Armstrong terkesan
"terlalu dipaksakan". Menyingkirkan sebagian besar fakta sejarah
dengan tujuan untuk mendukung pendapatnya tentang dikotomi mitos-logos dan
konservatif-modern.
Usaha Armstrong ini justru
menunjukkan bahwa dirinya sendiri adalah seorang fundamentalis. Tidak ada
seorang fundamentalis yang tidak tertarik kepada dikotomi seperti ini.
Problemnya bukan pada dunia, melainkan terletak pada kategorisasi Armstrong.
Agama dan sains adalah dua hal yang sangat kompleks. Meskipun dalam beberapa
aspek terdapat perbedaan, keduanya sama-sama merupakan sesuatu yang terlalu
sederhana jika dibandingkan antara satu dengan yang lainnya.
***
Dalam komentarnya, An
Ex-Nun in Search of God; but Biblically Non The Wisher, profesor Arthur Noble
mengkritik sikap tidak fair Armstrong. Pemikiran Armstrong cenderung bias
meskipun telah melepaskan statusnya sebagai seorang biarawati. Kontribusi
terakhirnya dalam perdebatan keagamaan ini, Berperang Demi Tuhan, justru
mendukung image tentang infalibilitas (ke-ma’shum-an, kondisi tidak bisa
bersalah) Gereja Katolik Roma. Keberhati-hatiannya ketika menjelaskan bagaimana
fundamentalisme berakar dan berkembang pesat dalam banyak agama besar dunia
tidak disertai dengan usaha mengkritik infalibilitas kelompok fundamentalis
Katolik Roma.
Armstrong memang mengutuk
kaum fundamentalisme Kristen di Amerika yang melontarkan makian sangat tajam
terhadap Gereja Katolik Roma. Secara khusus, Ia menyorot gerakan
fundamentalisme "televangelis", kelompok puritan, dan calvinisme,
tetapi mengapa ia justru mengabaikan sejarah kelam gerejanya sendiri dan bahkan
melukiskan image tentang almamater-nya itu (Gereja Katolik Roma) dengan
gambaran yang positif sepanjang buku ini.
***
Terlepas dari kekurangan
yang terdapat didalamnya, Berperang Demi Tuhan layak untuk kita apresiasi. Tema
besar fundamentalisme yang diusungnya memakai semangat dan sudut pandang baru.
Secara cermat dan brilian, Karen Armstrong menunjukkan kepada kita bagaimana
dan mengapa kelompok-kelompok fundamentalis muncul dalam berbagai agama dunia,
serta apa sesungguhnya tujuan mereka.
Dengan begitu kita bisa
mencoba bersikap lebih obyektif terhadap kaum fundamentalis. Tidak sekedar
melihat mereka sebagai gerakan ortodoksi, puritan, atau revivalis an sich,
melainkan memberi penilaian sebagaimana Armstrong lakukan. “Fundamentalisme
ternyata merupakan gerakan yang kompleks, inovatif, dan modern.” []
Jakarta, 21 Maret 2002
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar