Jumat, 14 Maret 2014

Dialog Antar Umat Beragama: Gagasan dan Praktik di Indonesia



Judul : Dialog Antar Umat Beragama: Gagasan dan Praktik
              di Indonesia
Penulis : Zainal Abidin Bagir dkk
Penerbit : Mizan Bandung
Tahun : 1, 2011
Tebal : 211 halaman
Peresensi: Muhammadun AS




Tragedi kekerasan publik yang melibatkan umat beragama akhir-akhir ini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi proses demokratisasi di Indonesia. Umat beragama berperan sangat krusial dalam membangun demokrasi Indonesia sehingga bila kekerasan masih melibatkan umat beragama, maka demokrasi juga semakin pesimistis untuk dikembangkan.
Untuk menggapai kerukunan dan kedamaian, dialog antar-umat beragama niscaya terus dinyalakan untuk menggugah semangat persaudaraan dan jangan sampai padam.
Dialog bukan hanya para tokoh agama saja, tetapi juga bisa diimplementasikan sampai tingkat bawah, yakni umat beragama di pelosok desa. Buku bertajuk Dialog Antar Umat Beragama: Gagasan dan Praktik di Indonesia mencoba memotret gagasan dialog antar-agama di Indonesia dalam menciptakan gerak kerukunan dan kedamaian masyarakat. Buku ini bukan saja mengaji urgensi dialog antar-agama, tetapi juga memberikan “alarm” bagi agamawan agar terus menjaga komitmen dialog.
Ongkos sosialnya amat mahal kalau sampai api dialog padam hanya karena kepentingan politik sesaat para elite agama. Para penulis memotret bahwa konfl ik antar-agama mulai memanas sejak era Orde Lama. Saat Bung Karno memimpin, khususnya periode 1960-an, ketegangan sering terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Situasi politik yang tegang saat ini ikut serta memicu konfl ik makin tajam. Pada era Orde Baru, ketegangan konflik umat beragama sedikit reda karena situasi politik yang sentralistik, membuat kerukunan mudah diarahkan.
Terlebih, gagasan kerukunan umat beragama pada tahun 1970-an dan tahun 1980-an diperhatikan dengan baik oleh pemerintah, khususnya Departemen Agama. Mukti Ali, Menteri Agama tahun 1970-an, berjasa besar dengan trilogi kerukunan yang digagasnya, yakni kerukunan intern umat beragama, antar-umat beragama, dan umat beragama dengan pemerintah (halaman 60).
Dialog antar-umat beragama, bagi para penulis, ke depan bukan saja dilakukan oleh kelembagaan pemerintah, tetapi juga kelembagaan sosial kemasyarakatan dan para fungsionaris aktivis lintas iman. Semua harus bersatu padu dalam menjalin kerukunan sehingga umat beragama di lapisan bawah terasa nyaman dengan wujud kehadiran dialog yang benar-benar genuine, jujur, dan ikhlas. [*]

Dimuat di Harian Kompas, 28 Februari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar