Judul:
Dari Soekarno Sampai SBY
Penulis:
Prof Dr Tjipta Lesmana, M.A.
Terbit
: Januari 2009
Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama
ISBN:
978-979-22-4095-5
Halaman:
426 / HVS
|
Dalam sebuah tesisnya, Weber pernah menengarai
adanya suatu perubahan sosial masyarakat. Perubahan itu tampak jelas ketika
adanya suatu perbandingan yang membedakan antara masyarakat zaman sekarang
dengan masyarakat sebelumnya. Menurutnya, perubahan itu tidak lepas dari
perubahan intelektualitas yang dimiliki individu-individu yang terdapat dalam
masyarakat itu sendiri.
Sebagai makhluk sosial, para presiden pun tidak
lepas dari perbedaan antara presiden satu dengan lainnya. Termasuk dari aspek
pemahaman maupun penyikapannya terhadap realitas kehidupan bangsa-negara.
Memang, secara geneologis jabatan presiden yang dipikul mereka pun tidak jauh
berbeda dalam tataran hukum yang mengikat dan mengatur. Namun, dalam
praksisnya, pasti akan muncul sejumlah perbedaan. Dari perbedaan-perbedaan inilah
yang kemudian menimbulkan sederet realitas kehidupan bangsa-negara yang tidak
mesti sama.
Namun, dalam buku ini, tingkat perbedaan
intelektulitas seorang presiden dengan presiden lainnya, terbukti bukan
satu-satunya faktor yang mempengaruhi perubahan sosial bangsa-negara. Menurut
Tjipta Lesmana, perbedaan tingkat emosional dan spiritual juga memiliki andil
dalam perubahan. Artinya, tingkat perbedaan intelektualitas, emosionalitas, dan
spiritulitas antara Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY,
berkorelasi positif dengan perbedaan pola interaksi sosial mereka. Dari
perbedaan interaksi sosial yang berkaitan erat dengan pola komunikasi inilah
yang akhirnya menghasilkan sesuatu yang berbeda pula. Mulai intrik, lobi
politik hingga menyikapi kritik pun, mereka belum tentu sama dalam satu pola
komunikasi politik.
Dalam buku ini, kajian komunikasi politik keenam
presiden kita dibagi dalam enam bab. Bab I, di duduki oleh Soekarno. Dalam bab
ini, presiden pertama kita ini tampak sebagai sosok yang memiliki ilmu yang
dalam, piawai menganalisis situasi politik, matang dalam berpolitik, dan berani
menghadapi tantangan dan tegas. Namun, ”Singa Podium” ini tak ubahnya seperti
manusia biasa yang punya amarah dan salah. Dalam kemarahannya, ia sering menggebrak
meja, menggedor kiri-kanan, menghardik sasaran dengan suara yang keras,
menantang, memperingatkan dan mengancam (hlm.5). Semua itu sering
disampaikannya dalam bahasa, meminjam istilah Edward T. Hall (1976), yang low
context; jelas, tegas, dan tanpa tedeng aling-aling. Selain itu, ia sering
menggunakan bahasa yang mengulang-ulang.
Berbeda dengan Soeharto, dalam bab II, yang
lebih banyak mendengar dan mesem (senyum). Dalam berkata, ia sering menggunakan
bahasa yang high context; tidak jelas, penuh kepura-puraan (impression
management), teka-teki, rahasia, dan amat santun serta multi tafsir. Tidak
jarang para menteri perlu merenungkan atau menanyakan kepada orang lain tentang
arti dari kominikasi presiden terhadap mereka. Bagi yang tidak memahami
komunikasi tingkat tinggi ini, perlu siap-siap menuai gebukan atau perlawanan
rakyat dan lingkungan sekitar. Semisal, kasus penyerbuan massa PDI Soerjadi
terhadap Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro pada 27 Juli 1996. Dalam kasus ini,
Sutiyoso yang dianggap bertanggung jawab waktu itu, berdalih bahwa peristiwa
itu berasal dari perintah ”atasan”. Sementara, Feisal Tandjung mengatakan bahwa
Soeharto tidak pernah memerintahkan penyerbuan (hlm.67).
Uniknya, dalam kondisi marah atau tidak suka
pun, ”The Smiling General” ini menggunakan bahasa high context pula. Semisal,
ketika ada menteri yang laporan atau dipanggil diruang kerja presiden telah
dipersilahkan meminum minuman yang tersedia, berarti diperintahkan segera untuk
pamit. Meski begitu, Soeharto juga pernah menggunakan bahasa low context.
Berbeda lagi ketika Presiden BJ. Habibie marah.
Dalam bab III, ia tampak menggunakan bahasa low context. Ketika marah, ia
sering melototkan mata kepada yang dimarahi, raut muka memerah dan suara keras.
Ia juga dikenal sebagai sosok yang temperamental. Meski cerdas, ia cepat emosi
dan cepat marah, terlebih ketika ditantang, dikritik, dan didebat. ”Anehnya,
tidak ada satupun menteri yang takut”, menurut informan Hendropriyono
(hlm.159).
Dalam bab IV, ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
marah, kadang menggebrak meja dan atau mengancam. Meski begitu, Gus Dur tidak
lepas dari sifat gampang tidur dan humorisnya. Sering dalam setiap sidang
kabinet yang berlangsung sejak pukul 10.00 WIB, Gus Dur melakukan ritual tidur.
Ketika salah atau mendapat konfirmasi dari orang yang merasa dirugian, Gus Dur
sering menanggapinya dengan santai. ”Oh, begitu, ya? Ya, Sudah. Enggak usah
dipikirin…!”, jawabnya (hlm.199).
Sedangkan Megawati, dalam bab V, setiap marah
suka menghardik korbannya. Semisal, ketika Megawati sedang menghadiri acara
dengan sejumlah kerabatnya di restoran sebuah hotel mewah di Singapura. Dalam
acara itu, Roy BB. Janis dihardik habis-habisan di depan umum akibat
kedatangannya tidak diundang (hlm.283). Selain itu, ia juga terkenal pendendam.
SBY merupakan salah satu contoh yang menjadi korban sifat pendendam itu. Dalam
debat calon presiden 2004, misalnya, gara-gara menaruh dendam dengan SBY,
Megawati mengajukan syarat kepada penyelenggara acara untuk menghapus acara
jabat tangan antar calon. Dalam pelantikan Presiden SBY pun, Megawati tidak mau
menghadirinya.
Dalam berkomunikasi, menurut penulis, Megawati
tidak bisa efektif. Ia lebih suka diam atau menebar senyum dari pada berbicara.
Selama berpidato, suaranya tampak datar, nyaris tidak ada body language sama
sekali. Ia membaca kata per kata secara kaku, seolah takut sekali pandangannya
lepas dari teks pidato di depannya (hlm.247). Ironisnya, dalam setiap
pembicaraan dengan orang-orang dekatnya lebih banyak membicarakan shopping dari
pada soal-soal yang berkaitan dengan bangsa dan negara. Dalam menghadapi
kritik, ia sering tidak tahan, alergi kritik (hlm.265).
Meski tidak jarang menuai kritik, dalam bab VI,
SBY tampak merasa gerah pula. Bahkan, SBY sering balas mengkritik bagi orang
atau pihak yang berani mengkritiknya, termasuk kebijakan pemerintah. Namun,
dalam setiap pembicaraannya, SBY tergolong cukup hati-hati. Seolah-olah setiap
kata yang keluar dari bibirnya diartikulasikan secara cermat. Dalam perspektif
komunikasi, SBY tergolong dalam lower high context. Ia gemar menggunakan
analogi dalam menggambarkan suatu masalah dan tidak bicara secara to the point.
Hanya hakikat suatu permasalahanlah yang sering disampaikannya. Dalam berbagai
kesempatan, SBY seperti sengaja tidak mau memperlihatkan sikapnya yang tenang,
tetapi membiarkan publik menebak-nebak sendiri.
Tidak sedikit informasi tentang komunikasi
keenam presiden kita dalam buku ini. Selain unik, bikin tercengang, tertawa,
dan kesal, buku ini memberikan berbagai wawasan terkait kepribadian beberapa
presiden yang pada pemilu tahun ini hendak tampil sebagai calon presiden lagi.
Namun, untuk mengetahui apakah dari sejumlah presiden itu tergolong –meminjam
istilah Kurt Lewin- Authoritarian, Participative, atau Delegatif, pembaca
dipersilahkan menyimpulkan sendiri. (*)
Dimuat
di Kompas.com, Minggu, 5 April 2009
Sumber:
http://resensibuku.com/?p=278
http://resensibuku.com/?p=278
Tidak ada komentar:
Posting Komentar