Judul: Dominasi Penuh
Muslihat, Akar Kekerasan dan Diskrimnasi
Penulis: Haryatmoko
Penerbit: Gramedia
Pustaka Utama
Tebal: xv + 294
halaman
Peresensi: Nigar
Pandrianto
|
Selalu ada kekuasaan di balik realitas yang
melingkupi sebuah masyarakat. Sistem kemasyarakatan hingga keketatan sebuah
ideologi, selalu dikonstruksi oleh “kekuasaan” tertentu. “Kekuasaan” itulah
yang disebut sebagai dominasi.
Pada bagian awal buku yang ditulis oleh
Haryatmoko ini, disampaikan sejumlah gagasan yang dapat membantu pembaca untuk
mulai menyadari bagaimana banyak segi dalam kehidupan telah dimistifikasi oleh
kekuatan tertentu.
Gagasan-gagasan tersebut berasal dari para
pemikir seperti Pierre Bourdieu, Jean Baudrillard, Jurgen Habermas, Michel
Foucault, hingga Jacques Derrida, yang terkenal selalu “menaruh curiga” atas
kebenaran-kebenaran yang sudah terlanjur diterima secara umum.
Michel Foucault misalnya, mempertanyakan
dominasi yang menciptakan makna tunggal atas seks. Foucault yang memunculkan
gagasan arkeologi pengetahuan (the archeology of knowledge), yakin bahwa ada
kepentingan di balik sebuah pengetahuan dalam masyarakat.
Hal yang sama juga terdapat dalam pemkiran
Jurgen Habermas, salah seorang pemikiran aliran kritis Mazhab Frankfurt.
Pemikiran Habermas, demikian ditulis Haryatmoko, ingin membebaskan manusia dari
rasionalitas intrumental, yang kental dengan logika dan formalisme dalam
menentukan kebenaran.
Selain itu, Haryatmoko juga melihat ada sejumlah
dominasi utama yang kerap menjadi akar kekerasan dalam masyarakat, yakni
dominasi agama, dominasi wacana, dan dominasi uang yang mengarah kepada
konsumerisme.
Menurut Haryatmoko, dengan mengutip Nelson
Pallmeyer, dominasi agama kerap memicu kekerasan. Kekerasan relijius tidak
hanya persoalan distorsi penafsiran teks, tetapi mengakar pada anggapan bahwa
Tuhan pun berhak melakukan pembalasan ataupun kekerasan sebagai bagian dari
kesucianNya.
Kemudian dominasi wacana. Menurut Haryatmoko,
dominasi wacana adalah hal yang paling sulit diatasi, terutama menyangkut
kekerasan simbolik. Dominasi ini beroperasi pada tataran bahasa, cara kerja,
dan cara bertindak (hal. 128). Selain itu, dampak dominasi wacana cenderung
halus dan tidak terasa. Parahnya, dominasi ini diakui dan diterima oleh si
korban. Contoh jelas dominasi wacana adalah, posisi subordinasi perempuan.
Dominasi lain yang kental dalam masyarakat
kontemporer adalah uang. Dalam masyarakat kontemporer, uang menjadi ukuran
untuk menentukan berbagai hal. Lalu konsumsi tidak lagi berdasarkan kebutuhan, melainkan
tanda. Di sini, konsumen membeli barang bukan karena manfaat, tetapi dalam
kaitan pemaknaan seluruh obyek (hal. 227). Bahkan konsumsi bukan lagi untuk
memenuhi kebutuhan dasar, tetapi karena tekanan psikologis dan sosial.
Buku ini menarik karena dengan memahami isinya,
pembaca dapat menjadi lebih kritis untuk melihat dominasi di balik sistem
tertentu, yang dengannya makna kebenaran tidak lagi tunggal. Seperti lazimnya
membaca buku-buku beraroma filsafat yang kuat, untuk memahami buku ini, pembaca
harus mau membuka cakrawala pemikiran secara lebih luas, dan memiliki usaha
lebih untuk memahami setiap terminologi serta ide kunci yang dituangkan di
dalamnya. [*]
Dimuat
di Koran Jakarta, 14 Juli 2010
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar