Judul:
Dilema PKS: Suara dan Syariah
Penulis: Burhanuddin Muhtadi Penerjemah: Saidiman Ahmad Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG, Jakarta) Terbit: Maret 2012 Tebal: xxviii + 307 |
Bisakah
Markus dan Petrus menjadi anggota? Kenapa Mukernas berlogo pura dan di Pulau
Dewata? Maunya sederhana, tapi kok ber-Munas di Ritz-Carlton, sebuah hotel nan
mewah? Pertanyaan-pertanyaan di atas mestinya biasa dan sederhana. Tapi karena
menyangkut “partai tidak biasa” yang sempat jadi primadona (Partai Keadilan Sejahtera)
aspek-aspek teknis ini memicu perdebatan, bahkan dilema. Ini adalah partai
sekaligus pergerakan. Kedua sayap tak boleh patah dan harus dikelola dengan
bijaksana.
Kubu
hizb (partai) harus memerhatikan gejolak batin kelompok harakah (gerakan),
karena hizb pada hakikatnya perpanjangan dari harakah. Pergerakan adalah partai
dan partai adalah pergerakan (al-harakah hiya al-hizb wa al-hizb huwa
al-harakah). Mau tak mau, elite PKS harus mampu bersilat dalam ketegangan jurus
kepartaian dan kepergerakan. Inikah kegalauan yang akut dalam PKS dan
partai-partai Islamis di dunia Muslim umumnya?
Kegalauan?
Itu diakui Anis Matta, Sekjen PKS. Konon ini kegalauan yang terkelola. Di dalam
Dilema PKS: Suara dan Syariah, kondisi batin dan seluk-beluk internal PKS itu
berhasil dipotret dengan kombinasi yang ciamik antara penggunaan teori ilmu
sosial yang lihai dan pemaparan data-data yang aduhai.
Teori
kesempatan politik (political opportunity structure), dipakai untuk menjelaskan
faktor-faktor internasional dan domestik yang membuahi dan membidani kelahiran
PKS. Teori pengerahan sumber daya (resources mobilization) menerangkan evolusi
PKS sejak zaman Tarbiyah sampai zaman kegalauan partai terbuka. Pandangan dunia
para kader dan apa isinya, diulas dengan teori pembingkaian aksi kolektif
(collective action framing). Semua diramu dengan data yang kaya dari
sumber-sumber terpercaya. Ibarat organ tubuh, buku Burhanuddin Muhtadi ini tak
hanya memberi tulang yang kokoh sebagai penyanga, tapi juga daging yang empuk
untuk dikunyah.
Untuk
mengkaji partai dan pergerakan yang percaya akan karakter Islam yang integral
(kamil) dan meliputi semua (syamil), kombinasi teori-teori ilmu sosial
(pendekatan integratif) mungkin memang perlu. Bagaimana tidak; suara juga
syariah, politik bagian dari ibadah, dan agama, alamak, juga negara. Karenanya,
membuka diri bagi konstituensi politik Indonesia yang kegemukan di tengah
(kurva lonceng) atau berpuas diri mewakili basis sosial yang tipis saja,
sesungguhnya bukan dilema. “… apa yang disebut dilema, sebenarnya berasal dari
pendekatan (Mas Burhan) itu sendiri yang sejak awal percaya pada adanya
pemisahan,” tandas Anis Matta dalam kata pengantarnya.
Lantas
apakah dilema itu hanya waham Burhan—begitu saya memanggil analis politik yang
brilian ini—sebagai peneliti yang berjarak (outsider) sekaligus insider PKS
dalam konteks rumahtangga?
Aksi-aksi
kolektif PKS, menunjukkan adanya jurang yang menganga antara kehendak menjadi
terbuka dan perlunya memelihara perasaan kader inti mereka. Lewat analisis
peristiwa protes (protest-even analysis), fakta bicara bahwa 6 dari 10
peristiwa kolektif PKS dari tahun 1998-2007, tak ada sangkut pautnya dengan isu
domestik yang bersifat non-Islamis. 62,2 % aksi massa PKS didominasi isu-isu
Islamis seperti anti-Amerikanisne, anti-Zionisme, dan pembelaan terhadap
Palestina sebagai bagian dari global ummah (hal. 78).
Jika
demikian faktanya, reaksi terhadap Munas 2010 di Hotel Ritz-Carlton-- salah
satu simbol kemewahan Amerika--pantas menghadirkan dilema ke dalam. Di satu
sisi, PKS ingin membangun citra sebagai partai terbuka dan friendly terhadap
Amerika. Namun di lain sisi, Amerika bersama Israel terlanjur dituding sebagai
penyebab kekacauan dunia. Dan itu tertuang dalam konstruksi ideologi yang
mengaduk-aduk batin kader-kader mereka.
Demi
upaya Islamisasi ganda (kultural dan struktural) terhadap masyarakat Indonesia
(bab 6), partai dakwah ini punya empat orbit dakwah (mahawir). Orbit
pengorganisasian atau pengkaderan (mihwar tandzimi), orbit
sosial-kemasyarakatan (mihwar sya’bi), orbit kelembagaan pemerintah dan
non-pemerintah (mihwar muassasati); semua dilakukan bertahap (tadaruj) dan
simultan. Hanya orbit negara (mihwar daulah) yang bertujuan meraih kekuasaan
secara demokratis dan menegakkan syariah secara kafah (hal. 176) yang kiranya
masih belum benar-benar terlaksana.
Dengan
totalitas sedemikian rupa, niat menjadi partai terbuka guna menangguk insentif
elektoral lebih besar akan selalu dalam dilema. Walau Anis Matta yakin akan
karakter Islam yang moderat dan terbuka (hal. xxiii), pendekatan kafah-kafah
mungkin tetap terkendala di alam demokrasi kita. Konstituen pemilu Indonesia
lebih kompleks dan—kebetulan—tak seramah Timur Tengah bagi partai-partai
Islamis. Elit PKS harus pandai-pandai bersiasat dan bersilat lidah. Bila tidak,
resiko lepasnya punai di tangan akibat mengharap pungguk di dahan, bisa pula
jadi petaka.
Kegalauan
itulah yang terekam dalam bab tujuh dan kelak akan diuji di Pemilu 2014.
Berbeda dengan enam bab sebelumnya, gaya penulisan bab ini agak lain. Burhan
tampil bak konsultan yang agak royal memberi rekomendasi agar PKS tak terkurung
dalam dilema yang belum sudah. Hanya saja, rekomendasi-rekomendasi itu tampak
bersifat jangka pendek saja. Persoalan inti dan kronis partai-partai Islamis di
dunia Muslim, tak terkecuali PKS, relatif sama.
Pertama-tama,
bagaimana memperbarui bangunan ideologi yang diidoktrinasikan dalam sistim
pengkaderan mereka. Bingkai transnasional Islamisme berupa imaji tentang Islam
yang dikepung Barat, dikurung konspirasi Zionis, dihalang-halangi menjadi
global ummah (hal. 184-197), terasa primitif untuk masa yang tak akan lama.
Kepercayaan bahwa Islam dan syariah adalah solusi bangsa, akan terus diuji
dalam sebuah masyarakat terbuka. Pelan-pelan, slogan-slogan tipikal Islamis ini
akan berbenturan dengan fakta bahwa negara yang tak bersyariah dan tidak pula
menjadikan agama sebagai solusi utama, di Barat sana, justru tetap adil dan
sejahtera.
“Problam
terbesar Islamisme era demokrasi,” kata Bruce K. Rutherford (2008), “adalah
imannya yang terlalu besar pada negara yang mereka gugat di masa otoriternya”.
Begitu memasuki era demokrasi dan berpartisipasi dalam memerintah, mereka
kembali memberi kewenangan yang invasif kepada negara, terutama demi pembatasan
kebebasan sipil. Kepercayaan bahwa negara adalah dan dan seharusnya berfungsi
sebagai “agen moral” demi mewujudkan masyarakat saleh dan salehah, adalah
utopia Islamisme yang cenderung klise di mana-mana.
Sayangnya,
Dilema PKS membuktikan bahwa, walau pragmatismenya makin meningkat,
sindrom-sindrom semacam itu belum lagi terbebas dari batin mereka. Tidak
mengherankan, isu-isu trivial di awal tulisan ini memantik kegalauan internal
sekaligus kesangsian eksternal akan komitmen mereka menjadi partai terbuka.
Untungnya, buku ini juga menunjukkan bahwa PKS bukanlah partai yang statis dan
berhenti berdialektika. Dinamisme internal, proses belajar bersinambungan, dan
ijtihad politik yang terus terbuka, mungkin akan menjadi kekuatan mereka yang
utama.
Bagi
saya, buku ini sebanding dengan karya serupa dari beberapa sarjana dunia. Ia
makin sedap bila dibaca bergandengan dengan buku Mobilizing Islam Carrie R.
Wickham (tentang Ikhwan Mesir), atau The Emergence of a New Turkey Hakan Yavuz
(tentang AKP Turki). Sayangnya, edisi Inggris buku ini belum tersedia demi kemaslahatan
global ummah.[*]
*)
Novriantoni Kahar
Sumber:
Catatan:
Dimuat
Majalah Tempo, 26 Maret - 1 April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar