Judul
buku : Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf
Penulis : KH. A. Aziz Masyhuri Cet. I : Juli 2011 Tebal : xx+ 338 halaman (termasuk daftar pustaka) Penerbit : IMTIYAZ Surabaya Peresensi : Yusuf Suharto |
Buku berjudul
Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf ini adalah salah satu karya penting
Kiai Abdul Aziz Masyhuri dalam kajian tentang tarekat setelah bukunya
Permasalahan Thariqah Hasil Kesepakatan Muktamar dan Musyawarah Besar Jam’iyyah
Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah Nahdlatul Ulama 1957-2005 diterbitkan pada 2006
lalu. Kiai Aziz terhitung sebagai kiai pesantren yang sangat produktif. Dalam
buku berbahasa Indonesia yang ditulisnya terhitung ada 95 judul dari berbagai
bidang ilmu. Dalam bahasa Arab, ikhtisarnya terhitung ada 21 judul, buku yang
diedit dan disuntingnya ada 15 judul, sedangkan buku terjemahannya terhitung
ada 7 judul.
Mengawali buku
tentang aliran-aliran tarekat ini dinyatakan oleh Kiai Aziz bahwa Tarekat
secara etimologis bermakna antara lain jalan, cara, metode, haluan, tiang
teduhan. Sedangkan menurut istilah tasawuf berarti perjalanan seorang salik (pengikut tarekat)
menuju Tuhan dengan cara menyucikan diri atau perjalanan yang harus ditempuh
oleh seseorang untuk dapat mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan. Dalam
kitab Jami’ al-Ushul fi
al-Awliya’ tarekat bermakna laku tertentu bagi orang-orang yang
menempuh jalan kepada Allah, berupa memutus atau meninggalkan tempat-tempat
hunian dan naik ke maqom atau tempat-tempat mulia. Menurut al-Jurjany dalam al-Ta’rifat tarekat
adalah metode khusus yang dipakai oleh salik menuju Allah melalui
tahapan-tahapan atau maqamat. (hal. 1-2).
Istilah tarekat
terkadang kemudian digunakan untuk menyebut suatu pembimbingan pribadi dan
perilaku yang dilakukan oleh seorang mursyid kepada muridnya. Pengertian
terakhir inilah yang lebih banyak banyak difahami oleh banyak kalangan ketika
mendengar kata tarekat (hal. 2).
Dengan demikian
tarekat memiliki dua pengertian. Pertama, ia berarti metode pemberian bimbingan
spiritual kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan
dengan Tuhan. Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi yang ditandai
dengan adanya lembaga formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah (hal. 2).
Mengutip kitab
Maraqi al-‘Ubudiyah dikatakan bahwa tarekat bermakna melaksanakan kewajiban dan
kesunnahan, meninggalkan larangan, menghindari perbuatan mubah yang tidak
bermanfaat, sangat berhati-hati dalam menjaga diri dari syubhat, apalagi dari
keharaman, sebagaimana orang yang wara’I, dan menjalani riyadlah, misalnya
beribadah sunat pada malam hari, berpuasa sunat, dan tidak mengucapkan
kata-kata yang tanpa guna. (dalam buku, Permasalahan Thariqah Hasil Kesepakatan
Muktamar dan Musyawarah Besar Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah Nahdlatul
Ulama 1957-2005, suntingan KH. A. Aziz Masyhuri)
Buku yang ditulis
K.H. Abdul Aziz Masyhuri, seorang ulama pesantren yang mantan Ketua Pimpinan
Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) ini menggunakan pendekatan wacana atas
sejarah dan pengalaman bertarekat dari 22 tarekat dunia yang sebagian
berkembang di Indonesia.
Sebagai kiai
pesantren dan orang yang banyak terlibat dalam kegiatan bahtsul masail
Nahdlatul Ulama, tentu saja menjadi dapat dimaklum, bahwa tarekat yang
dituliskannya ini hanya mengambarkan tarekat yang diakui kemuktabarannya oleh
Nahdlatul Ulama. Kiai yang dijuluki Martin van Brunessen seorang ahli Belanda
pengamat NU dan Tarekat, sebagai Kiai Ahli Dokumentasi ini menyebut ada 43 atau
44 tarekat yang diakui Nahdlatul Ulama sebagai tarekat yang muktabar.
Sayang sekali, Kiai
Aziz tidak memberikan alasan kenapa memilih 22 aliran tarekat, yang
kenyataannya tidak semua dari 22 itu berkembang luas di Indonesia. Ke 22
tarekat yang ditulis dalam bukunya tersebut yaitu Tarekat Alawiyah, Aidrusiyah,
Badawiyah, Chistiyah, Dasuqiyah, Ghazaliyah, Haddadiyah, Idrisiyah,
Khalwatiyah, Malamathiyah, Maulawiyah, Naqsyabandiyah, Naqsabandiyah
Haqqaniyah, Qadiriyah, Qadiriyah wa Naqsabandiyah, Rifa’iyah, Samaniyah,
Sanusiyah, Suhrawardiyah, Syadziliyah, Syathariyah, Dan Tijaniyah. Namun
barangkali alasan yang mungkin melandasi penulisan 22 tarekat itu adalah karena
kepopulerannya atau telah tersebar luas di dunia Islam. Atau juga mungkin, Kiai
Aziz masih berkehendak menuliskan jilid satunya, sembari menyiapakan jilid atau
edisi lanjutan.
Namun, jika merujuk
pada kemuktabaran tarekat sebagaimana ditetapkan dalam Nahdlatul Ulama,
semestinya dilihat dari daftar ke 22 tarekat tersebut, jumlah yang pas adalah
21, bukan 22 tarekat. Karena Naqsabandiyah Haqqaniyah termasuk dalam aliran
tarekat Naqsabandiyah. Pelabelan Haqqaniyah dalam daftar tarekat muktabar tidak
dihitung. Namun maksud dicantumkannya Haqqaniyah dapat kita ketahui setelah
Kiai Aziz membahas aliran tarekat ini.
Sebagai orang luar
yang sekedar mengamati penulis agak kaget, karena ternyata tarekat
Naqsabandiyah Haqqaniyah yang dihitung tersendiri oleh pengasuh al-aziziyah
Denanyar ini ternyata dalam buku ini setelah dipuji tentang sejarah hidup
pendirinya, yaitu Syaikh Nadhim Haqqani dan muridnya, Syaikh Hisyam Qabbani,
kemudian dikritik dengan mengutip pandangan mufti Lebanon sebagai tarekat yang
terputus sanadnya dan dinyatakan sesat. Dikatakan oleh Kiai Aziz dalam fasal
bukunya di bawah judul Catatan Penting tentang Syaikh Nadzim Haqqani dan Syaikh
Hisyam Qabbani “Syaikh Nadzim, yang menyebut dirinya dengan “al-Haqqani”,
seorang berkebangsaan Cyprus yang pernah dideportasi dari Lebanon atas perintah
Mufti Lebanon pada waktu itu, Syaikh Hasan Khalid, dan dikecam karena
kesesatannya oleh mufti Tripoli Lebanon; Thaha ash-Shabunji sebagaimana dikutip
oleh majalah al-Afkar, Beirut, edisi 898, November 1999… mata rantai tarekat
yang dibawa keduanya berasal dari seseorang yang bernama Abdullah Faiz
Ad-Daghistani yang tinggal di Damaskus, padahal mufti Negara Daghisthan Sayyid
Ahmad ibn Sulayman Darwisy Hajiyu mengatakan dalam surat yang diterbitkan oleh
al-Idarah Ad-Diniyah Li Muslimi Daghisthan, bahwa mata rantai tarekat yang
dibawa oleh Abdullah Ad-daghisthani tidaklah bersambung alias maqthu’ dan
tarekat yang ia bawa adalah sesat (172-173).
Dicontohkan oleh
Kiai Aziz kesesatan-kesesatan yang dilakukan oleh guru Syaikh Nadzim Haqqani,
yaitu Syaikh Abdullah Ad-Daghistani dalam Washiyyah Mursyid az-zaman wa Ghauts
al-Anam pada halaman 12, “Seandainya seorang kafir membaca surah al-Fatihah
walaupun sekali seumur hidup, maka dia tidak akan keluar dari dunia ini kecuali
memperoleh sebagian dari ‘inayah’ (pertolongan) tersebut, karena Allah tidak
membedakan orang kafir, fasiq, mu’min, ataupun muslim, semuanya sama.”
Di samping
memaparkan sejarah lengkap, kontroversi-kontroversi beberapa tarekat dalam
pandangan Nahdlatul Ulama, buku ini secara memadai juga memaparkan
pendefinisian tarekat, kemunculan golongan zuhud, sejarah perkembangan tarekat,
ajaran khusus dan umum tarekat, dan berbagai ajaran-ajaran dalam tarekat yang
diletakkan dalam bab pertama. Kemudian memaparkan karakteristik tarekat sufi,
komposisi tarekat sufi, dan tata cara bertarekat dalam bab kedua. Kemudian
menjelaskan pada bab ketiga tentang berbagai aliran tarekat yang dua puluh dua.
Ke depan rasanya
kita harus menunggu karya kiai ahli dokumentasi ini untuk melengkapi ke 44
tareat secara keseluruhan bahkan juga tarekat atau yang khas Indonesia,
misalnya Shalawat Wahidiyyah yang berpusat di Kediri dan Ngoro Jombang dan
Shiddiqiyyah yang berpusat di Ploso Jombang yang pula diikuti sebagian
nahdliyyin.
Buku ini menjadi
lebih berbobot di samping isinya yang padat dengan jumlah halaman 323, juga
karena diberi pengantar oleh tiga orang otoritatif, yaitu Ra’is Am Jam’iyah
Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah, Habib Muhammad Luthfie bin Ali bin
Yahya, Ketua Umum PBNU, Dr. KH. Said Aqiel Siradj, M.A., dan Guru Besar Studi
Perbandingan Masyarakat Muslim Kontemporer, Universitas Utrecht Belanda, Martin
Van Bruinessen. [*]
*) Sekretaris Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (PERGUNU) Jombang.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar