Judul buku: Etika dan
Hukum;
Relevansi
Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas
Penulis: E. Sumaryono
Penerbit: Kanisius
Jakarta
Cetakan: 1, 2009
Tebal: 301 halaman
Peresensi: Muhammadun
AS
|
Beberapa hari terakhir ini kita mendapat sajian
fakta hukum yang mengenaskan dalam perjalanan Republik ini. Mafia hukum
bertebaran dimana-mana, bahkan sampai mencabik-cabik prosedur hukum yang telah
dijalankan pemerintah. Makelar hukum yang biasa dikenal markus juga begityu perkasa
merekayasa berbagai status hukum yang tak jelas duduk perkaranya.
Akhirnya, aparat penegak hukum menjadi aktor
yang merusak tatanan sistem hukum itu sendiri. Fakta hukum di Indonesia inilah
yang sekarang menjadi keluh-kesah masyarakat. Bahkan masyarakat sekarang tidak
sedikit yang apriori, bahkan tidak lagi percaya atas kasus perkara yang
diajukan ke meja hijau. Karena hukum sudah dibeli oleh oknum tak
bertanggungjawab. Kasus “cicak” versus “buaya” yang sampai sekarang belum usai
adalah fakta empiric bobroknya penegakan hukum di Indonesia.
Berangkat dari fakta inilah, menarik kalau kita
menjelajah buku bertajuk “Etika dan Hukum; Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas
Aquinas”. Bertolak dari pemikirannya Thomas Aquinas, penulis melihat bahwa
hukum pada dasarnya merupakan “peta jalan” menuju kebahagiaan. Hukum merancang
atau memetakan arah yang harus diambil manusia dalam perbuatan, jika manusia
ingin mencapai tujuan akhir yang dicarinya.
Peta tersebut adalah hasil karya budi manusia,
sebab sebelum peta itu dibuat terlebih dahulu orang harus memikirkan tujuannya
dan jalan yang dapat menuntunnya kea rah tujuan tersebut. Demikian juga arah
dan tujuan hidup manusia. Dalam hal ini, hukum selalu merupakan perintah atau
petunjuk akal budi yang mengatur perbuatan manusia menuju sasarannya, yakni
kebahagiaan an kebaikan umum (hlm. 243).
Alam pandangan hukum kodrat, manusia akan secara
alamiah membentuk dan mengoraganisir diri dalam membentuk tatanan sosial dan
politik. Semua itu dilakukan manusia demi memenuhi kebutuhan hidup bersama
berdasarkan kebaikan dan kesejahteraan umum. Sebenarnya, bagi Aquinas, dalam
diri manusia sudah ada tiga aspek pengaturan yang ditetapkan. Yang pertama,
berhubungan dengan aturan akal budi, karena semua perilaku dan perasaan kita
harus diatur berdasarkan aturan akal budi. Kedua, berhubungan dengan aturan
yang berasal dari hukum ilahi, yang dipergunakan untuk mengatur manusia dalam
segala kehidupannya.
Seandainya manusia menurut kodratnya harus hidup
sendirian, dua aspek pengaturan ini sudah memadai, namun karena manusia menurut
hukum kodratnya adalah makhluq politik dan makhluq sosial, maka diperlukan
aturan ketiga, yakni manusia harus diarahkan untuk hidup (selalu) dalam
hubungan dengan sesamanya.
Independensi manusia dalam menegakkan hukum ini
mendapat perhatian serius dari Aquinas. Karena setiap persona mempunyai
substansi kehidupannya sendiri yang berperan sangat penting dalam penegakan
sebuah hukum. Nilai-nilai dasar kemanusiaan sebenarnya sudah melekat dalam diri
persona manusia. Kedudukan yang substansial ini dikarenakan, pertama, manusia
adalah makhluq otonom dan unik; kedua, manusia adalah persona yang korelatif.
Otonomi dan kebebasan adalah dimensi transedental manusia sebagai persona.
Manusia juga memiliki kodrat rasional, sehingga manusia adalah makhluq yang
“sadar diri” atau memiliki kemampuan untuk berbuat secara manusiawi. Sedangkan
dalam kodrat substansial, manusia mampu untuk menghadirkan diri dan berkembang
sebagai subjek yang otonom.
Kodrat rasional yang substansial inilah yang membentuk pola etis kehidupan manusia. Karena dalam diri manusia terdapat kecenderungan pada kebaikan sesuai dengan kodrat yang juga berlaku untuk semua substansi, sedemikian rupa sehingga setiap substansi mengusahakan pelestarian keberadaannya sesuai dengan hekakat kodratnya.
Kodrat rasional yang substansial inilah yang membentuk pola etis kehidupan manusia. Karena dalam diri manusia terdapat kecenderungan pada kebaikan sesuai dengan kodrat yang juga berlaku untuk semua substansi, sedemikian rupa sehingga setiap substansi mengusahakan pelestarian keberadaannya sesuai dengan hekakat kodratnya.
Dalam kaitan inilah, Aquinas menyatakan bahwa
segala sesuatu yang diketahui hekaket tujuan akhir, memiliki hakekat baik.
Pernyataan ini menjadi akar penjabaran Aquinas tentang teori moralnya. Karena
makhluq rasional yang berakal budi, maka manusia haruslah “sadar diri” dalam
posisinya sebagai makhluq. Dengan “adar diri” ini, manusia akan menjadi tuan
atas perbuatannya. Tuan bagi perbuatan inilah yang mengantarkan manusia kepada
hakekat kemanusiaanya, dan disitulah manusia dengan akal budinya berjalan dalam
nilai etis moralnya dalam menjalankan kehidupan.
Akal budi manusia akan menuntun manusia untuk
menemukan wujud kebaikan dan keadilan yang didambakan. Akal budi menjadi asas
pertama perbuatan manusia, dan hukum merupakan aturan dan ukurannya, yang sudah
seharusnya hukum memang bersumber dari akal budi. Jika hukum disusun supaya
dapat mengikat perbuatan manusia, maka hukum harus adil dan membimbing manusia
menuju tujuan akhir, yakni kebaikan. Kebaikan dan keadilan akan membuka keharusan
ketaatan moral untuk menjadikan hukum sebagai penegak tata social yang harmonis
dan seimbang. Rasa kebaikan dan keadilan akan membingkai moralitas dalam
penegakan hukum.
Moralitas penegak hukum bisa ditegakkan dengan
selalu mencerahkan akal budianya untuk terus “sadar diri” atas keberadaannya
sebagai “tuan” atas perbuatan yang dijalankan. “Sadar diri” inilah yang menjadi
pangkal tolak yang diajukan Aquinas dalam membingkai hubungan etika dalam
penegakan hukum. Kesadaran diri manusia harus selalu diolah, karena bagi
Aquinas, kesadaran diri merupakan potensi yang harus ditafsirkan secara kritis,
sehingga akan melahirkan gagasan yang segar dan mencerahkan. Makhluq yang
“sadar diri” pastilah akan membuka jalan baru kehidupan yang mencerahkan dan
membahagiakan.
Dalam konteks ini, fakta rusaknya penegakan
hukum di Indonesia bisa ditafsirkan sebagai ambruknya nilai “sadar diri”,
sehingga jatuhlah nilai dan hekakat hukum. Penegak hukum bukan lagi “tuan” atas
perbutannya, tetapi “tuan” bagi kekuasaan, uang, dan jabatan. [*]
Dimuat
di harian Kompas, 5 Desember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar