Judul
Buku: Gender dan Strategi Pengarus-Utamaannya
di Indonesia
Penulis:
Dr. Riant Nugroho
Penerbit:
Pustaka Pelajar Yogyakarta
Cetakan:
1, November 2008
Tebal
buku: 265 halaman
Peresensi:
Siti Muyassarotul Hafidzoh
|
Sejarah mencatat pemarjinalan perempuan. Mulai
dari peradaban romawi yang menganggap bahwa perempuan sepenuhnya berada di
bawah kekuasaan ayahnya. Setelah menikah kekuasaan beralih pada suaminya..
Kekuasaan itu mencakup kewenangan menjual, mengusir, menganiaya, dan membunuh.
Realita ini belangsung hingga abad ke-5 M. Pada zaman kaisar Konstantinopel,
terjadi sedikit perubahan dengan diundangkannya hak pemilikan terbatas bagi
perempuan dengan catatan bahwa setiap transaksi harus disetujui oleh keluarga
(suami/ayah).
Kaum hawa ini dalam latar sejarah terus menjadi
konco wingking yang peran-perannya selalu diabaikan. Dia, perempuan, dianggap
manusia yang serba kurang, tidak utuh, sehingga nasibnya terus terbelakang.
Peluang-peluang strategisnya diruang public pun seringkali diabaikan, bahkan
disikat secara kasar. Sangat wajar kalau diera modern, mereka hanya sekedar
menjadi ibu rumah tangga, menjadi TKW di luar negeri, dan lainnya. Peluang
menjadi pejabat, birokrat, dan sebagainya sangat sedikit.
Di sinilah Dr. Riant Nugroho memaparkan kasus
gender differences (perbedaan gender) yang menimbulkan banyak ketidakadilan
terhadap perempuan. Seperti kasus Marginalisasi, Subordinasi, stereotipe,
Violence dan beban kerja yang dirasakan oleh perempuan. Dr. Riant juga
memaparkan komposisi perempuan di parlemen seluruh dunia, dengan temuan bahwa
jumlah perempuan di lembaga sangat tidak signifikan dibandingkan dengan
populasi mereka yang jauh lebih besar dari laki-laki. Ini menunjukan bahwa
peran perempuan dalah ranah politik pun sangat sedikit dibandingkan laki-laki,
bahkan perbedaannya sangat jauh.
Gender mendapat perhatian yang tinggi di era
Kabinet Reformasi di mana pemerintah mengeluarkan Inpres No. 9/2000 tentang
pengarusutamaan gender dalam pembangunan sosial dan munculnya berbagai kegiatan
yang berbasis gender, termasuk penyusunan statistic dan indikator gender yang
pertama kali dirilis BPS bekerja sama dengan Unifem pada 2000, yang menunjukan
antara rendahnya representasi perempuan dalam DPR (8,8%), MPR (9,1%), anggota
DPA (2,7%), hakim agung (13.7%), menjadi kepala desa/ lurah (2,3%), dan
berkedudukan dalam jabatan structural kepegawaian(15,2%), padahal rasio jumlah
penduduk perempuan di atas rasio penduduk laki-laki, yaitu 99,1, yang berarti
dari 100 penduduk perempuan trdapat 99 penduduk laki-laki.
Akan tetapi kemajuan zaman sekarang juga
memunculkan kesadaran dan respon dari masing –masing perempuan sebagai
individu. Mereka menyadari bahwa perempuan tidak selalu menjadi pihak yang
selalu menerima begitu saja, dan selalu dianggap lebih rendah dari laki-laki.
Evolusi kesadaran itu muncul dalam bentuk pergerakan perempuan yang bertujuan
untuk memperbaiki nasib perempuan secara sosial, ekonomi, maupun politik.
Dan dari sisnilah Dr. Riant menjelaskan juga
tentang Identitas gender. Identitas di sini merupakan suatu skema mental yang
penting dalam kehidupan seseorang. Identitas peran gender menjelaskan sejauh
mana seorang menganggap dirinya sebagai feminis dan maskulin sebagaimana ditentukan
oleh peran seksualnya. Sedangkan persepsi diri tidak selalu konsisten dengan
penilaian orang lain terhadap dirinya.
Teori Psikoanalisis menjelaskan bahwa perilaku
seseorang terkait dengan factor biologis seperti; evolusi, gene dan anatomi.
Sebaliknya teori sosialisasi (social learning)menjelaskan berdasarkan konsep
‘nature-nurture’ dan melihat bahwa perbedaan peran gender merupakan hasil dari
tuntutan dan harapan lingkungan. Sedangkan teori perkembangan kognitif
merupakan teori interaksi yang menekankan pada interaksi antara keadaan
organisme atau perkembangan kognitifnya dengan informasi yang ada dalam
lingkungan budaya (halaman 24).
Perempuan sederajat
Dalam islam dijelaskan “inna akromakum ‘inda
Allahi atqokum”. Di sinilah yang menunjukan adanya kesetaraan antara laki-laki
dan perempuan, yang membedakan adalah hanya derajat ketakwaannya. Jika dari
fungsi sosialnya laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan dan kedudukan
yang sama asalkan memiliki kualitas yang tinggi untuk berperan dan tampil di depan
publik.
Menarik!. Dari sinilah penulis menjelaskan
secara jelas tentang bagaimana pentingnya pemberdayaan perempuan, karena
Pemberdayaan perempuan merupakan tuntutan hak asasi manusia. [*]
Dimuat
di Batam Pos, 1 Maret 2009
Sumber:
http://resensibuku.com/?p=126
http://resensibuku.com/?p=126
Tidak ada komentar:
Posting Komentar