Judul
buku : Gereja dan Penegakan HAM
Penulis
: George J. Aditjondro dkk.
Penerbit
: Kanisius Yogyakarta
Tebal :
251 halaman
Peresensi:
Siti Muyassarotul Hafidzoh
|
Gereja, sebagai persekutuan orang-orang yang
percaya pada keilahian Yesus Kristus, seringkali dilihat sebagai sumber segala
yang baik, yang sesuai dengan firman Tuhan. Ketika terjadi bencana alam, orang
lari ke gereja. Penduduk yang tergusur proyek raksasa, lari ke gereja. Penduduk
dari daerah konflik, lari ke gereja. Sebagai tempat yang mendapatkan “stempel
ilahi”, gereja menjadi tempat suci dalam membebaskan ragam kejahatan
kemanusiaan. Gereja “dipercaya” untuk membuka jalan pencerahan bagi warganya.
Jalan pencerahan dan pembebasan yang dijalankan “rumah suci” (bait al-muqoddas), dalam babakan sejarah agama-agama, telah membuka embrio lahirnya pemikiran keagamaan dalam merespon tantangan global (global challengge). Respon atas fakta, dalam tradisi pemikiran keagamaan, merupakan bentuk tafsiran teks kitab suci. Ada ragam tafsir yang terus hadir; ada yang bersifat literer, ada juga yang kritis dan visioner.
Jalan pencerahan dan pembebasan yang dijalankan “rumah suci” (bait al-muqoddas), dalam babakan sejarah agama-agama, telah membuka embrio lahirnya pemikiran keagamaan dalam merespon tantangan global (global challengge). Respon atas fakta, dalam tradisi pemikiran keagamaan, merupakan bentuk tafsiran teks kitab suci. Ada ragam tafsir yang terus hadir; ada yang bersifat literer, ada juga yang kritis dan visioner.
Buku bertajuk “Gereja dan Penegakan HAM” mencoba
mengurai secara kritis tafsir hak asasi manusia (HAM) dalam tradisi literer
gereja. Baik gereja dan teks kitab suci yang membentuk ritus gereja
menghadirkan sejumlah pergolakan makna dan tafsir yang kontroversial. Tafsir
kontroversial, kadangkala, menghadirkan sejumlah perangkat kerja pemikiran baru
yang bisa menjawab ragam soal hak asasi manusia (HAM) yang terpasung dalam
berbagai tragedi kemanusiaan.
Gugatan dalam tafsir tersebut, terlihat sekali
dikemukakan oleh George J. Aditjondro ketika melihat gereja ternyata menyimpan
luka mendalam di tengah tragedi. Gereja yang dianggap suci, mistis, eksotik,
dan penuh pahala, ternyata juga menyisakan kejahatan HAM yang memilukan.
Gereja, bagi George, adalah organisasi bentukan manusia yang dihuni dan
dijalankan manusia, maka gereja tak akan luput dari kesalahan kemanusiaan.
Sangat manusiawi kalau gereja terjebak dalam kesalahan khas manusiawi
sebagaimana yang pernah terjadi dalam kasus manipulasi bantuan jemaat Gereja
Kristen Sulawesi Tengah (GKST) untuk para korban tsunami Aceh dan Nias (hal.
204).
George berusaha menjadikan berbagai kasus
pelanggaran kemanusiaan dan pelanggaran HAM secara umum sebagai pelajaran
berarti pihak geraja dalam menata kembali tata nilai teologis dan tata kelola
kehidupan secara religius. Justru dari berbagai kasus itulah sebenarnya gereja
akan mampu merumuskan strategi baru dan tafsir kritis baru dari pihak gereja
dalam menjawab ragam soal kejahatan HAM yang terjadi dalam tragedi di berbagai
belahan dunia.
Potret buram penegakan HAM dalam jerat kuasa
“rumah tuhan” selalu menghiasi gerak langkah agama. Bukan hanya gereja, masjid
juga demikian. Masjid Jerusalem, misalnya, bukannya menjadi tempat “pertemuan
agung” masyarakat agama dalam menggelorakan spirit perdamaian dan penegakan
HAM. Di Jerusalem justru menjadi tempat pertumpahan darah yang tragis. Di
situlah justru umat beragama merayakan kehancuran dan kenistaan yang melibatkan
jutaan figuran sebagai korban kebiadaban.
Di “rumah tuhan” itulah masyarakat agama
melegalkan runtuhnya HAM dan hancurnya tata nilai kemanusiaan universal.
Tragis! Tetapi itulah fakta sejarah berbicara. Bahkan sampai detik ini,
perayaan demi perayaan ihwal penumpahan darah terus mengalir. Arogansi nafsu
kuasa terua hadir dalam jantung kehidupan umat beragama. Tidak salah kalau
malaikat pernah protes kepada Tuhan bahwa manusia adalah aktor penumpahan darah
di muka bumi. Manusia adalah aktor utama kejahatan HAM yang akan terus datang
silih berganti di berbagai belahan dunia.
Demikian juga yang terjadi di Indonesia. Tragedi
pembakaran “rumah tuhan” menjadi ritual yang terus menumpahkan darah saudara
sendiri. Bahkan menyulut konflik berdarah antar agama dan etnis yang menyeruak
di berbagai pojok Nusantara. Kasus Maluku, Situbondo, Jakarta, Papua, Sukabumi,
dan lainnya adalah saksi hidup bahwa pembakaran “rumah tuhan” telah melecutkan
konflik berkepanjangan yang tak kunjung usai.
Gereja sendiri, dalam pandangan Olaf Schumann,
pada awalnya tidak begitu concern ihwal penegakan HAM. Bagai Olaf, pemikiran
tentang HAM dikembangkan dalam ruang pemikiran filsafat, dan dengan demikian,
gereja a priori lepas dan bebas dari pengaruh langsung yang bermakna dari
teologi Kristiani. Baru setelah Perang Dunia II (1939-1945) teologi Kristiani
umumnya dan gereja-gereja menaruh perhatian serius pada masalah HAM. Lihat saja
pada datum yang menetapkan sikap yang baru dari gereja Katolik, yakni Konsili Vatikan
II (1963-1965). Terbentanglah kemudian wacana penegakan HAM dalam teologi
Kristen yang dikembangkan dalam gereja (hal. 32).
Lebih tegas dikemukakan oleh Emanuel Gerrit
Singgih yang melihat sumber HAM bukan berasal dari paham sekuler. Wawasan HAM
dalam gereja, lanjut Singgih, telah tertancap dalam dasar-dasar teologi Kristen
yang diajarkan oleh Yesus. Teologi Kristus dan jejak langkah Yesus yang terus
mengumandangkan kasih sayang dan menolak secara tegas berbagai tregedi
kemanusiaan adalah bukti konkrit bahwa gereja mempunyai akar teologis yang kuat
dalam menegakkan HAM. Kalau sebagian kalangan justru mengalamatkan gereja
sebagai salah satu aktor penumpasan HAM, maka bukanlah ajaran gereja yang
salah. Tetapi itu adalah oknum yang tidak tuntas belajarnya dalam ajaran
gereja, atau memanfaatkan “rumah tuhan” untuk mengobarkan tragedi kemanusiaan.
“Rumah tuhan” dalam agama apapun, termasuk
gereja, selalu mengumandangkan gelora perdamaian dan penegakan HAM. Ragam
tragedi kemanusiaan yang terjadi dewasa ini harus menjadi tanggungjawab para
wakil tuhan dan penjaga amanah ilahi dalam meredam dan mengupayakan langkah
terbaik dalam menegakkan kembali HAM. Potret buram penegakan HAM yang telah
terjadi, sebagaimana dikatakan George, harus menjadi pelajaran berharga menata
tata kehidupan yang religius dan manusiawi. [*]
Dimuat
di harian Kompas, 9 Desember 2009
Sumber:
http://resensibuku.com/?p=465
http://resensibuku.com/?p=465
Tidak ada komentar:
Posting Komentar