Senin, 24 Maret 2014

Kanakar

Judul Buku: Kanakar
Penulis: Ucu Agustin
Penerbit: Mahatari, Yogyakarta
Tahun Terbit: Cetakan I, April 2005
Tebal: viii + 175 halaman


Kanakar adalah bisik lirih seumpama bujuk pagi yang menyelusup lembut di hitam malam untuk pelan-pelan menguasai dan mengambil alih tahta dengan bantuan sinar fajar. Kanakar adalah saat bening embun di pagi bulan Januari yang berseri kehilangan pamor dan menjadi malu saat melihat cara kerja benih yang tumbuh begitu ajaib… Kanakar adalah saat semua kejadian yang pertama kali dilihat Dmitri dua tahun silam akan tampak kembali sebagai mimpi nyata yang menjelma. Hutan bersinar, bintang kerdipnya lembut, malam seperti diperkosa malaikat (halaman 39).
Dalam kehidupan yang sudah teramat profan seperti saat ini, aspek-aspek religiusitas, dunia antah berantah, menjadi begitu bergairah dibicarakan orang. Memang, kebanyakan orang akan lari pada daerah transendental mana kala dunia yang profan itu tidak lagi bisa menjawab kegelisahan yang berkecamuk dalam dada manusia modern.
Pun dengan dunia sastra. Sastra kelamin, sastra yang berlendir, sastra yang pernah menarik begitu banyak sastrawan kita untuk berkubang dalam lendir, berangsur ditinggalkan orang. Berbanding terbalik dengan fenomena tersebut, sastra transendental, sastra yang membicarakan dunia entah, mulai mendapat perhatian. Cetak ulang buku-buku sastra angkatan 70-an juga mulai bergairah. Novel-novel filsafat pun tumbuh seperti cendawan di musim hujan.
Kanakar, tampaknya tidak membicarakan masalah transendental. Tapi, ungkapan ungkapan Ucu Agustin, gaya bahasanya yang begitu magis dan berkabut juga tidak tepat kiranya jika kita sejajarkan dengan buku-buku yang “berlendir”.
Kanakar adalah suara perempuan yang menjerit-jerit di bawah gencetan sistem yang tidak berpihak padanya. Dari 17 cerpen yang terkumpul dalam buku ini (Kanakar) hampir semua membicarakan ketertindasan kaum perempuan. Membaca cerpen-cerpen Ucu, kita jadi teringat pada sosok Nawal El Shadawi, penulis wanita dari timur tengah yang gigih memperjuangkan hak-hak kaumnya. Barangkali benar, Ucu Agustinlah Nawal El Shadawi yang kita miliki.
Dalam “Perempuan yang Menangis” Ucu mengangkat masalah pernikahan yang tidak didasari suka sama suka. Ucu mengajak kita menengok budaya pesantren yang sering menempatkan kaum wanita dalam garis tepi. Aisyah, tokoh wanita yang tertindas itu menceritakan sendiri kisahnya dalam gaya cerita berbingkai yang begitu apik. Beginilah kisah Aisyah:
Diman, suami saya, dulunya adalah tunangan kakak saya. Tapi pertunangan itu batal dan akhirnya orang tua menjodohkan Diman dengan saya. Kami menikah ketika saya berumur 12 tahun, sementara Diman 23 Tahun. Perkawinan itu disebut sirri, artinya rahasia. Kawin sah menurut agama Islam tetapi belum boleh digauli. Ketika itu Diman masih mondok di pesantren, sementara saya masih duduk di kelas V SD. Buah dada saya baru tumbuh, sakit kalau dipijit. Saya belum haid.

Dalam paragraf lain diceritakan,
Keputusan orangtua untuk mengawinkan saya, karena mereka ingin punya menantu dari keluarga kiyai. Keluarga kami adalah keluarga pedagang, secara ekonomi keluarga kami memang lebih mampu. Orangtua saya dapat dikatakan terpandang, sedangkan orang tua Diman juga terpandang, tapi dari sisi lain.
Praktik kawin muda yang dilakukan oleh orangtua Aisyah bukanlah karena alasan ekonomi. Ini lebih menyangkut masalah kebudayaan kita. Rupanya Ucu berhasil memotret budaya tersebut dan menyajikannya hangat-hangat lewat genre sastra. Mmembaca sampai habis cerita “Perempuan yang Menangis” kita akan dikejutkan oleh sebuah catatan kaki yang menegaskan bahwa sebagian besar narasi dalam cerita ini adalah kisah nyata, diambil dari gambaran kasus “kawin belia” yang diceritakan oleh seorang perempuan yang mengalaminya.
“Dokumen Jibril” adalah kegaiban lain cerita Ucu. Seting dan latarnya memang tidak ada yang istimewa. Sama dengan cerita-cerita lain yang begitu akrab dengan kehidupan kita. Lain dengan gaya pengungkapan sang Maestro cerpen Indonesia, Danarto. Danarto lebih total dalam menciptakan suasana magis dalam cerita-ceritanya. Ia juga berhasil menceritakan sesuatu yang tidak mungkin diceritakan. Lain Ucu lain Danarto. Tampaknya inilah yang menjadi kekuatan tersendiri bagi Ucu dalam membangun dunianya. Dengan begitu Ucu tidak bisa dikatakan menyusuri Jejak sang Maestro.
Momen berkecamuknya kehidupan politik kita pada bulan mei 1998 lalu ternyata tidak disia-siakan begitu saja oleh Ucu. Ia menandai tanggal bersejarah tersebut dengan “Seorang Nenek dengan Sebuah Catatan yang Janggal”. Imajinasi kita akan dibawa pada Mei bersejarah tujuh tahun silam, dimana seorang nenek kehilangan cucunya yang aktivis pada sebuah tragedi yang memilukan.
Selain kekuatan tema, kumpulan cerpen ini juga menyimpan keindahan bahasa yang mendayu-dayu, membongkar emosi yang sedang membeku. Seperti pada cerita “Kanakar” yang sebagian teksnya saya kutip di awal tulisan ini. Betapa “Kanakar” mengusik sense of language kita. Kata “Kanakar” sendiri adalah rekaan pengarang yang tidak akan kita jumpai pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBI), bahkan pada kamus Oxford yang berbahasa asing sekalipun. Tetapi, setelah membaca paragraf pertama, kita jadi tahu bahwa “Kanakar” adalah sebuah saat yang begitu menakjubkan dalam deskripsi Ucu. [*]

*) M. Haninul Fuad, Mahasiswa UM, finalis Lomba Mengulas Karya Sastra (LMKS) Nasional tahun 2004.

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar