Judul Buku: Kanakar
Penulis: Ucu Agustin Penerbit: Mahatari, Yogyakarta Tahun Terbit: Cetakan I, April 2005 Tebal: viii + 175 halaman |
Kanakar adalah bisik lirih seumpama bujuk pagi yang menyelusup
lembut di hitam malam untuk pelan-pelan menguasai dan mengambil alih tahta
dengan bantuan sinar fajar. Kanakar adalah saat bening embun di pagi bulan
Januari yang berseri kehilangan pamor dan menjadi malu saat melihat cara kerja
benih yang tumbuh begitu ajaib… Kanakar adalah saat semua kejadian yang pertama
kali dilihat Dmitri dua tahun silam akan tampak kembali sebagai mimpi nyata
yang menjelma. Hutan bersinar, bintang kerdipnya lembut, malam seperti
diperkosa malaikat (halaman 39).
Dalam kehidupan yang sudah teramat profan seperti saat ini,
aspek-aspek religiusitas, dunia antah berantah, menjadi begitu bergairah
dibicarakan orang. Memang, kebanyakan orang akan lari pada daerah transendental
mana kala dunia yang profan itu tidak lagi bisa menjawab kegelisahan yang
berkecamuk dalam dada manusia modern.
Pun dengan dunia sastra. Sastra kelamin, sastra yang berlendir,
sastra yang pernah menarik begitu banyak sastrawan kita untuk berkubang dalam
lendir, berangsur ditinggalkan orang. Berbanding terbalik dengan fenomena
tersebut, sastra transendental, sastra yang membicarakan dunia entah, mulai
mendapat perhatian. Cetak ulang buku-buku sastra angkatan 70-an juga mulai
bergairah. Novel-novel filsafat pun tumbuh seperti cendawan di musim hujan.
Kanakar, tampaknya tidak membicarakan masalah transendental. Tapi,
ungkapan ungkapan Ucu Agustin, gaya bahasanya yang begitu magis dan berkabut
juga tidak tepat kiranya jika kita sejajarkan dengan buku-buku yang
“berlendir”.
Kanakar adalah suara perempuan yang menjerit-jerit di bawah
gencetan sistem yang tidak berpihak padanya. Dari 17 cerpen yang terkumpul
dalam buku ini (Kanakar) hampir semua membicarakan ketertindasan kaum
perempuan. Membaca cerpen-cerpen Ucu, kita jadi teringat pada sosok Nawal El
Shadawi, penulis wanita dari timur tengah yang gigih memperjuangkan hak-hak
kaumnya. Barangkali benar, Ucu Agustinlah Nawal El Shadawi yang kita miliki.
Dalam “Perempuan yang Menangis” Ucu mengangkat masalah pernikahan
yang tidak didasari suka sama suka. Ucu mengajak kita menengok budaya pesantren
yang sering menempatkan kaum wanita dalam garis tepi. Aisyah, tokoh wanita yang
tertindas itu menceritakan sendiri kisahnya dalam gaya cerita berbingkai yang
begitu apik. Beginilah kisah Aisyah:
Diman, suami saya, dulunya adalah tunangan kakak saya. Tapi
pertunangan itu batal dan akhirnya orang tua menjodohkan Diman dengan saya.
Kami menikah ketika saya berumur 12 tahun, sementara Diman 23 Tahun. Perkawinan
itu disebut sirri, artinya rahasia. Kawin sah menurut agama Islam tetapi belum
boleh digauli. Ketika itu Diman masih mondok di pesantren, sementara saya masih
duduk di kelas V SD. Buah dada saya baru tumbuh, sakit kalau dipijit. Saya
belum haid.
Dalam paragraf lain diceritakan,
Keputusan orangtua untuk mengawinkan saya, karena mereka ingin
punya menantu dari keluarga kiyai. Keluarga kami adalah keluarga pedagang,
secara ekonomi keluarga kami memang lebih mampu. Orangtua saya dapat dikatakan
terpandang, sedangkan orang tua Diman juga terpandang, tapi dari sisi lain.
Praktik kawin muda yang dilakukan oleh orangtua Aisyah bukanlah
karena alasan ekonomi. Ini lebih menyangkut masalah kebudayaan kita. Rupanya
Ucu berhasil memotret budaya tersebut dan menyajikannya hangat-hangat lewat
genre sastra. Mmembaca sampai habis cerita “Perempuan yang Menangis” kita akan
dikejutkan oleh sebuah catatan kaki yang menegaskan bahwa sebagian besar narasi
dalam cerita ini adalah kisah nyata, diambil dari gambaran kasus “kawin belia”
yang diceritakan oleh seorang perempuan yang mengalaminya.
“Dokumen Jibril” adalah kegaiban lain cerita Ucu. Seting dan
latarnya memang tidak ada yang istimewa. Sama dengan cerita-cerita lain yang
begitu akrab dengan kehidupan kita. Lain dengan gaya pengungkapan sang Maestro
cerpen Indonesia, Danarto. Danarto lebih total dalam menciptakan suasana magis
dalam cerita-ceritanya. Ia juga berhasil menceritakan sesuatu yang tidak
mungkin diceritakan. Lain Ucu lain Danarto. Tampaknya inilah yang menjadi
kekuatan tersendiri bagi Ucu dalam membangun dunianya. Dengan begitu Ucu tidak
bisa dikatakan menyusuri Jejak sang Maestro.
Momen berkecamuknya kehidupan politik kita pada bulan mei 1998
lalu ternyata tidak disia-siakan begitu saja oleh Ucu. Ia menandai tanggal
bersejarah tersebut dengan “Seorang Nenek dengan Sebuah Catatan yang Janggal”.
Imajinasi kita akan dibawa pada Mei bersejarah tujuh tahun silam, dimana
seorang nenek kehilangan cucunya yang aktivis pada sebuah tragedi yang
memilukan.
Selain kekuatan tema, kumpulan cerpen ini juga menyimpan keindahan
bahasa yang mendayu-dayu, membongkar emosi yang sedang membeku. Seperti pada
cerita “Kanakar” yang sebagian teksnya saya kutip di awal tulisan ini. Betapa
“Kanakar” mengusik sense of language kita. Kata “Kanakar” sendiri adalah rekaan
pengarang yang tidak akan kita jumpai pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBI),
bahkan pada kamus Oxford yang berbahasa asing sekalipun. Tetapi, setelah
membaca paragraf pertama, kita jadi tahu bahwa “Kanakar” adalah sebuah saat
yang begitu menakjubkan dalam deskripsi Ucu. [*]
*) M. Haninul Fuad, Mahasiswa UM, finalis Lomba Mengulas Karya Sastra (LMKS) Nasional tahun 2004.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar