Judul: Karikatur dan Politik
Penulis: Augustin Sibarani Pengantar: Benedict R.O.G. Anderson Cet. I, Jakarta, Juli 2001 Penerbit: Isai, Garba Budaya &
Media Lintas Inti Nusantara
Tebal: xii + 422 Halaman |
Kita
sering melihat karikatur di berbagai suratkabar. Dan tak jarang, yang pertama
kali kita lihat ketika membeli surat kabar adalah karikaturnya. Ada rasa lucu,
nyeri, atau bahkan sedih ketika melihat sebuah karikatur di berbagai suratkabar
itu. Namun, benarkah pemahaman kita selama ini tentang karikatur? Apa
sebenarnya karikatur itu? Bagaimana sebuah karikatur itu ada?
Terbit
setelah Orde Baru jatuh, Augustin Sibarani memaksudkan buku ini bukan sekedar
sebagai kumpulan karikatur-karikatur yang pernah dibuatnya. Di bagian pertama
bukunya, ia mengangkat sejarah perkembangan karikatur di dunia secara umum dan
di Indonesia secara khusus. Sembari menceritakan itu semua, ia menuliskan juga
semacam perjalanan hidupnya sebagai seorang karikaturis di Indonesia. Sedang di
bagian kedua diisinya dengan kumpulan karikaturnya dari sejak tahun-tahun
terakhir Orde Baru sampai pemerintahan Gusdur-Mega.
Tentang
karikatur sendiri, dalam Encyclopedie Internasional, karikatur didefinisikan
sebagai sebuah “satire” dalam bentuk gambar atau patung. Adapun dalam
Encyclopedie Britaninica, karikatur didefinisikan sebagai penggambaran
seseorang, suatu tipe, atau suatu kegiatan dalam keadaan terdistorsi—biasanya
suatu penyajian yang diam dan dibuat berlebih-lebihan dari gambar-gambar
binatang, burung, sayur-sayuran yang menggantikan bagian-bagian benda hidup
atau yang ada persamaannya dengan kegiatan binatang (hal. 10-11).
Oleh
penulis, disimpulkan bahwa sebuah karikatur mesti dilukiskan dengan mengandung
dua ciri: (1) adanya satire dan (2) adanya distorsi. “Satire” di sini diartikan
sebagai sebuah ironi, suatu tragedi-komedi atau suatu parodi. Karena itu, di
dalamnya dapat mengandung sesuatu yang janggal, “absurd”, yang bisa
menertawakan, tapi bisa juga memprihatinkan atau menyedihkan.
Dengan
melihat ciri-ciri itu, ternyata Leonardo da Vinci dan Albrecht Durer telah
memulainya sejak sekitar tahun 1550. Tentu saja, mereka memulainya dalam bentuk
lukisan pada umumnya (baca: “fine art”), bukan seperti
“coretan-coretan-seadanya” a la karikatur pada saat ini. Di Indonesia kita,
Bung Karno termasuk salah seorang karikaturis pada zaman Belanda dulu. Dalam
beberapa karikaturnya itu, ia biasa mencantumkan nama samarannya, Soemini.
Tentang
sifat karikatur, karikatur dapat dibagi menjadi tiga macam: karikatur
orang-pribadi, karikatur sosial, dan karikatur politik. Karikatur orang-pribadi
menggambarkan seseorang (biasanya tokoh yang dikenal) dengan mengekspose
ciri-cirinya dalam bentuk wajah ataupun kebiasaannya—tanpa objek lain atau
situasi di sekelilingnya—secara karikatural. Karikatur sosial sudah tentu
mengemukakan dan menggambarkan persoalan-persoalan masyarakat yang menyinggung
rasa keadilan sosial. Karikatur politik menggambarkan suatu situasi politik
sedemikian rupa agar kita dapat melihatnya dari segi humor dengan menampilkan
para tokoh politik di atas panggung dan mementaskannya dengan lucu.
Satu
hal yang tak patut dilupakan, betapa pun, dunia karikatur memiliki kode etik
yang banyak tak diketahui orang termasuk oleh para karikaturis. Seorang
karikaturis memang memiliki kebebasan mengemukakan temanya dengan gaya satiris
humor yang khas, selama karikaturnya itu tidak vulgar atau amoral atau
mengetengahkan cacat fisik manusia dan tidak pula kotor atau jorok. Selain itu,
karikatur yang baik adalah karikatur yang paling hemat kata, bahkan kalau bisa
tanpa kata sama sekali! Sebab karikatur berbeda dengan poster yang bisa saja
(bahkan lazim) boros kata-kata.
Salah
seorang karikaturis Indonesia yang gagal di mata penulis adalah Harmoko (mantan
Ketua MPR). Ketika terjadi konfrontasi dengan Malaysia pada tahun 1963—1965,
karikatur-karikatur Harmoko banyak dimuat. Sayangnya, karikatur-karikaturnya
itu banyak yang menyalahi kode etik di atas. Selain terkesan kotor, sadistis,
dan hal-hal lain yang membuat kualitasnya rendah, karikatur-karikatur Harmoko banyak
yang boros-kata dan tak logis.
Padahal
seorang karikaturis dapat mempengaruhi banyak orang dengan pesan dan kesan yang
dimuat dalam karikaturnya, ia memiliki “kekuatan” dalam karikatur yang
dibuatnya. David Low, karikaturis Inggris, sampai sekarang masih dikenal banyak
orang sebagai seorang karikaturis yang (konon) pernah membuat Hitler tak bisa
tidur akibat karikatur yang dibuatnya pada waktu Perang Dunia II berlangsung.
Thomas Nast, karikaturis dari Amerika Serikat, pernah dengan karikaturnya menjatuhkan
seorang calon kuat presiden Amerika Serikat yang memiliki a-moralitas mencolok
mata pada masa kampanye.
Maka,
seorang karikaturis idealnya memiliki kemampuan melihat persoalan-persoalan
sosial-politik yang baik selain kemampuan teknis menggambar karikatur.
Dengannya, ia bisa bersuara terhadap perkembangan sosial-politik yang terjadi
saat itu. Dengannya pula ia bisa mewakili kekecewaan-kekecewaan yang terjadi di
sekelilingnya. Karikaturis pun bukan orang yang susah dapat ilham karenanya.
Dengan
melihat apa yang digariskan di atas, maka dapat dibedakan antara sebuah
karikatur dengan sebuah gambar kartun yang selama ini banyak orang salah kaprah
dalam membedakan keduanya—termasuk beda peristilahan antara karikaturis dengan
kartunis. Begitu pula dengan anggapan keliru yang telah umum bahwa karikatur
hanya ada dalam persuratkabaran. Padahal dapat dikatakan: sebuah karikatur
sudah pasti sebuah kartun, sedangkan kartun belum tentu merupakan sebuah
karikatur. Lantas apa bedanya?
Secara
bahasa, karikatur berasal dari bahasa Italia, “caricare”, yang artinya memuat
(dalam hal ini memuat berlebihan). Kata “caricatura” baru populer dan digunakan
orang dalam kehidupan dunia seni sekitar tahun 1665. Seniman yang mengenalkan
kata itu adalah Gian Lorenzo Bernini, seorang pematung dan arsitek, ketika
datang ke Perancis. Adapun kartun berasal dari bahasa Perancis, “cartone”, yang
artinya kertas. Kartun memang biasa digambar di atas kertas atau bahan
sejenisnya.
Sebenarnya,
baik kartun ataupun karikatur, masing-masing memiliki titik satiris. Bedanya,
dalam gambar kartun titik satiris itu tak ditekankan sebagai sesuatu yang
dominan seperti halnya dalam karikatur. Kartun lebih mengutamakan humor
ketimbang “satire”. Kartun juga tak mengandung unsur distorsi. Kalaupun ada
unsur distorsi, unsur itu bukan sesuatu yang diutamakan. Yang jelas, keduanya
dapat banyak dijumpai di suratkabar yang sama sekalipun.
Sebuah
lukisan, kata penulis, memiliki sejuta makna. Hanya saja, seringkali orang tak
bisa membedakan antara karikatur, kartun, sketsa, dan ilustrasi. Gambar-gambar
berupa coretan-coretan yang cuma berfungsi sebagai penghias halaman atau
pemanis tulisan atau artikel dan tak mengandung peranan sosial-politis di
dalamnya disebut dengan sketsa. Adapun gambar yang merupakan hiasan untuk
perlengkapan atau penunjang cerita dalam sebuah buku atau penulisan, maka
lazimnya disebut dengan gambar ilustrasi. Keduanya bukan karikatur. Namun kedua
jenis gambar ini bisa saja dibuat menjadi karikatur.
Sayang
sekali, penulis tak pernah menjelaskan tentang beda antara lukisan dan gambar.
Sebab, menurut Umar Kayam, antara kedua kata itu masing-masing memiliki
pengertian yang berbeda. Akibatnya, pemakaian yang terkesan tumpang-tindih dari
kedua kata itu sering membuat tafsiran penulis rancu. Contohnya gambar 2.4
(halaman 69) di mana gaya hidup “Indies” (baca: budaya campuran yang terjadi
dari akulturasi antara budaya Barat dengan budaya lokal dalam hal ini Jawa)
dari seorang nyonya Belanda ditafsirkan sebagai usaha pendekatan dan
penyatuan-diri pura-pura dengan penduduk pribumi.
Contoh
kesalahan di atas memang terkesan sepele, tapi sebenarnya fatal. Padahal buku
yang berguna untuk meluruskan pemahaman kita tentang karikatur ini dapat
membantu apresiasi masyarakat luas terhadap karikatur-karikatur yang sering
dijumpai di suratkabar-suratkabar. Lagipula, kata penulis sendiri, tak sedikit
ternyata kartunis yang mengaku sebagai karikaturis atau malah seorang
karikaturis justru lebih bangga disebut sebagai kartunis ketimbang karikaturis
tanpa mengecek kerja yang dilakukannya. Jelas perlu pelurusan. [*]
--Rimbun
Natamarga
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar