Judul:
Kaze
Penulis:
Dale Furutani
Halaman: 384 Penerbit: Qanita (Mizan Grup) ISBN: 978-979-3269-83-2 |
Seorang pria
ditemukan tewas mengenaskan dengan sebuah anak panah menancap di tubuhnya. Di
persimpangan Desa Suzaka mayat itu ditemukan oleh penjual arang, Jiro. Maka
mengalirlah cerita, dalam novel berjudul Kaze, karya Dale Furutani. Misteri di
balik kematian ganjil pria tak dikenal itu membawa pembaca mengikuti jejak
penyelidikan Matsuyama Kaze mengungkap kasus tersebut. Kaze adalah seorang
ronin, samurai tak bertuan, yang secara tidak sengaja melewati persimpangan
tersebut dalam pengelanaannya untuk menemukan seorang gadis yang sangat
berarti.
Novel dengan judul
asli Death at the Crossroad ini bisa dikatakan sebagai bacaan misteri bercampur
dengan penceritaan sejarah Jepang pada masa pergolakan. Pada sekitar tahun 1603
saat Hideyoshi, sang pemersatu Jepang, meinggal dunia dan Tokugawa Ieyasu yang
berambisi mengambil alih kekuasaan mengobarkan peperangan besar dengan pewaris
tahta. Perang besar itu biasa disebut sebagai perang Sekighara yang menewaskan
puluhan ribu samurai dan pengikut dua pihak yang bersengketa. Tokugawa berhasil
menang dan memenjarakan sang pewaris bersama ibunya. Di pihak yang kalah Kaze
harus kehilangan keluarga dan tuannya.
“Berikan aku
wakizashi-mu… ini mewakili kehormatanmu dan kemampuan untuk mencabut nyawamu.
Pedang ini sekarang menjadi milikku sampai anakku kau temukan,” ujar istri
tuannya yang sudah kurus kering tak berdaya karena harus hidup dalam
pengejaran. Sebuah janji penting telanjur terucap, yang membuatnya terikat
untuk menemukan putri sang tuan yang seolah menghilang ditelan bumi. Peristiwa
inilah yang membuat samurai berumur 30 tahunan ini mulai berkelana ke seluruh
wilayah Jepang.
Dua hal penting Dale
memilih novel Kaze ini sebagai pembuka dari dua novel berikutnya. Trilogi yang
bercerita tentang sebuah pencarian dan penggambaran kebudayaan Jepang pada masa
transisi kekuasaan. Tetapi, karena alasan itulah novel pertama ini hanya
samar-samar saja mengungkap tujuan utama Matsuyama Kaze untuk mencari sang
putri.
Pada buku ini
justru banyak menceritakan keterlibatan Ronin tersebut dalam menyelesaikan
masalah misterius yang melanda Desa Suzaka. Penggambaran tujuan cerita ketiga
novel tersebut diselipkan di antara ketegangan-ketegangan yang dibangun saat
Kaze seolah-olah bertindak sebagai semacam detektif.
Sepanjang membaca
novel setebal 381 halaman ini, ada dua hal yang sangat menarik. Pertama adalah
cara Dale mengemas cerita miteri dengan latar belakang Jepang pada masa peralihan.
Plot-plot yang dihadirkan seakan membuat pembaca merasa tahu apa yang akan
terjadi selanjutnya. Tapi, kemudian terkejut karena prediksi pembaca ternyata
salah. Alur cerita meski sederhana tetapi menarik karena sedikit sulit untuk
tertebak. Meski di bagian tengahnya sedikit membingungkan karena menampilkan
cerita-cerita yang kurang berhubungan.
Hal kedua yang membuat novel ini begitu menarik adalah penggambaran
suasana Jepang di tahun-tahun pertama sang Shogun besar, Tokugawa Ieyasu
memegang kekuasaan. Jepang digambarkan sebagai sebuah wilayah yang belum
kondusif dengan banyaknya bandit dan pembunuhan-pembunuhan terhadap pengikut
penguasa terdahulu. Senjata-senjata kembali beredar setelah pada masa Hideypshi
sempat dilarang.
Cuplikan-cuplikan
sejarah tentang pergolakan itu secara apik disisipkan oleh Dale dalam
bercakapan-percakapan yang sengaja diarahkan atau pada kenangan-kenangan Kaze
yang muncul melalui lamunan atau sebuah peristiwa. Tengok saja salah satu
fragmen dalam novel tersebut yang membawa lamunan Kaze kepada rencana-rencana
sang Shogun besar untuk mendapatkan kekuasaan setelah Hideyoshi wafat.
Lamunan itu begitu
saja muncul ketika Kaze melihat penampilan mempesona dari seorang penari Noh,
bentuk tarian tradisional Jepang yang pemerannya menggunakan topeng. Selain
peristiwa-peristiwa sejarah, Dale juga menyisipkan banyak sekali unsur-unsur
budaya Jepang, seperti pentingnya sebuah wakizashi, pedang kecil yang biasa
digunakan untuk pertahanan atau ritual bunuh diri bagi para samurai.
Atau tentang bentuk
pemahaman filosofis kehidupan samurai dan peperangan melalui permainan Go,
semacam permainan strategi menggunakan bidak bundar pipih berwarna hitam dan
putih. Tidak ketinggalan pula, sang penulis juga menggambarkan pola-pola
kehidupan masyarakat Jepang pada zaman itu bersama dengan pola kehidupannya
sehari-hari.
Bagi pembaca yang
menyukai cerita misteri berbau detektif tetapi ingin melihatnya melalui latar
belakang sejarah yang sama sekali tidak terduga, novel ini bisa menjadi bacaan.
Buku ini juga menarik untuk orang-orang yang hendak mengetahaui sejarah Jepang,
budaya, kepercayaan, dan kehidupan para Samurai, Penguasa Wilayah, serta para
petani yang berada pada kasta paling bawah. [kim]
Sumber:
Republika, 22
Febuari 2009
|
Judul:
Kaze
Penulis:
Dale Furutani
Halaman: 384 Penerbit: Qanita (Mizan Grup) ISBN: 978-979-3269-83-2 |
Seorang pria
ditemukan tewas mengenaskan dengan sebuah anak panah menancap di tubuhnya. Di
persimpangan Desa Suzaka mayat itu ditemukan oleh penjual arang, Jiro. Maka
mengalirlah cerita, dalam novel berjudul Kaze, karya Dale Furutani. Misteri di
balik kematian ganjil pria tak dikenal itu membawa pembaca mengikuti jejak
penyelidikan Matsuyama Kaze mengungkap kasus tersebut. Kaze adalah seorang
ronin, samurai tak bertuan, yang secara tidak sengaja melewati persimpangan
tersebut dalam pengelanaannya untuk menemukan seorang gadis yang sangat
berarti.
Novel dengan judul
asli Death at the Crossroad ini bisa dikatakan sebagai bacaan misteri bercampur
dengan penceritaan sejarah Jepang pada masa pergolakan. Pada sekitar tahun 1603
saat Hideyoshi, sang pemersatu Jepang, meinggal dunia dan Tokugawa Ieyasu yang
berambisi mengambil alih kekuasaan mengobarkan peperangan besar dengan pewaris
tahta. Perang besar itu biasa disebut sebagai perang Sekighara yang menewaskan
puluhan ribu samurai dan pengikut dua pihak yang bersengketa. Tokugawa berhasil
menang dan memenjarakan sang pewaris bersama ibunya. Di pihak yang kalah Kaze
harus kehilangan keluarga dan tuannya.
“Berikan aku
wakizashi-mu… ini mewakili kehormatanmu dan kemampuan untuk mencabut nyawamu.
Pedang ini sekarang menjadi milikku sampai anakku kau temukan,” ujar istri
tuannya yang sudah kurus kering tak berdaya karena harus hidup dalam
pengejaran. Sebuah janji penting telanjur terucap, yang membuatnya terikat
untuk menemukan putri sang tuan yang seolah menghilang ditelan bumi. Peristiwa
inilah yang membuat samurai berumur 30 tahunan ini mulai berkelana ke seluruh
wilayah Jepang.
Dua hal penting Dale
memilih novel Kaze ini sebagai pembuka dari dua novel berikutnya. Trilogi yang
bercerita tentang sebuah pencarian dan penggambaran kebudayaan Jepang pada masa
transisi kekuasaan. Tetapi, karena alasan itulah novel pertama ini hanya
samar-samar saja mengungkap tujuan utama Matsuyama Kaze untuk mencari sang
putri.
Pada buku ini
justru banyak menceritakan keterlibatan Ronin tersebut dalam menyelesaikan
masalah misterius yang melanda Desa Suzaka. Penggambaran tujuan cerita ketiga
novel tersebut diselipkan di antara ketegangan-ketegangan yang dibangun saat
Kaze seolah-olah bertindak sebagai semacam detektif.
Sepanjang membaca
novel setebal 381 halaman ini, ada dua hal yang sangat menarik. Pertama adalah
cara Dale mengemas cerita miteri dengan latar belakang Jepang pada masa peralihan.
Plot-plot yang dihadirkan seakan membuat pembaca merasa tahu apa yang akan
terjadi selanjutnya. Tapi, kemudian terkejut karena prediksi pembaca ternyata
salah. Alur cerita meski sederhana tetapi menarik karena sedikit sulit untuk
tertebak. Meski di bagian tengahnya sedikit membingungkan karena menampilkan
cerita-cerita yang kurang berhubungan.
Hal kedua yang membuat novel ini begitu menarik adalah penggambaran
suasana Jepang di tahun-tahun pertama sang Shogun besar, Tokugawa Ieyasu
memegang kekuasaan. Jepang digambarkan sebagai sebuah wilayah yang belum
kondusif dengan banyaknya bandit dan pembunuhan-pembunuhan terhadap pengikut
penguasa terdahulu. Senjata-senjata kembali beredar setelah pada masa Hideypshi
sempat dilarang.
Cuplikan-cuplikan
sejarah tentang pergolakan itu secara apik disisipkan oleh Dale dalam
bercakapan-percakapan yang sengaja diarahkan atau pada kenangan-kenangan Kaze
yang muncul melalui lamunan atau sebuah peristiwa. Tengok saja salah satu
fragmen dalam novel tersebut yang membawa lamunan Kaze kepada rencana-rencana
sang Shogun besar untuk mendapatkan kekuasaan setelah Hideyoshi wafat.
Lamunan itu begitu
saja muncul ketika Kaze melihat penampilan mempesona dari seorang penari Noh,
bentuk tarian tradisional Jepang yang pemerannya menggunakan topeng. Selain
peristiwa-peristiwa sejarah, Dale juga menyisipkan banyak sekali unsur-unsur
budaya Jepang, seperti pentingnya sebuah wakizashi, pedang kecil yang biasa
digunakan untuk pertahanan atau ritual bunuh diri bagi para samurai.
Atau tentang bentuk
pemahaman filosofis kehidupan samurai dan peperangan melalui permainan Go,
semacam permainan strategi menggunakan bidak bundar pipih berwarna hitam dan
putih. Tidak ketinggalan pula, sang penulis juga menggambarkan pola-pola
kehidupan masyarakat Jepang pada zaman itu bersama dengan pola kehidupannya
sehari-hari.
Bagi pembaca yang
menyukai cerita misteri berbau detektif tetapi ingin melihatnya melalui latar
belakang sejarah yang sama sekali tidak terduga, novel ini bisa menjadi bacaan.
Buku ini juga menarik untuk orang-orang yang hendak mengetahaui sejarah Jepang,
budaya, kepercayaan, dan kehidupan para Samurai, Penguasa Wilayah, serta para
petani yang berada pada kasta paling bawah. [kim]
Sumber:
Republika, 22
Febuari 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar