Judul: Kembang Gunung Purei
Penulis: Lan Fang Penerbit: Gramedia Cetakan: April, 2005 Tebal: 227 hal ISBN: 979-22-1295-7 |
Lan
Fang, penulis muda kelahiran Banjarmasin, walau terlahir dalam keluarga
keturunan Cina yang cukup konservatif dan lebih berkonsentrasi kepada dunia
bisnis, Lan Fang lebih suka menulis dan membaca sejak usia sekolah dasar.
Kesukaaannya menulis membuatnya ia mencoba-coba mengirim cerita pendek
pertamanya ke Majalah Anita Cemerlang pada tahun 1986 dan langsung dimuat
sebagai cerita utama di halaman depan majalah tersebut. Semenjak itu Lan Fang
jadi ketagihan menulis. Periode 1986-1988 ia cukup banyak menulis cerpen remaja
yang dimuat diberbagai majalah remaja seperti Gadis, terutama Anita Cemerlang.
Sejak 1997 Lan Fang mememangkan berbagai lomba penulisan yang diadakan majalah
Femina. Dua buah novelnya Reinkarnasi (2003) dan Pai Yin (2004) telah
diterbitkan oleh Gramedia. Pada tahun 2003 Lan Fan berhasil menyelesaikan
novelnya "Kembang Gunung Purei" yang telah mengendap selama hampir lima
tahun lamanya dan novel ini memperoleh pengharaan Lomba Novel Femina 2003. Dan
kini novel tersebut kembali diterbitkan oleh Gramedia pada tahun 2005 ini.
Tidak
seperrti dua novelnya terdahulu "Reinkarnasi" dan "Pai Yin"
yang kental dengan budaya Cina, rupanya dalam novel terbarunya ini Lan Fang
mencoba keluar dari pengkotakan spesifikasi budaya Cina dan mencoba mencari
unsur budaya lain yang akan dijadikan setting ceritanya. Akhrinya karena Lan
Fang lahir dan dibesarkan di Banjarmasin-Kalimantan Selatan maka ia memilih
budaya Kalimantan untuk membungkus novel terbarunya ini.
Kembang
Gunung Purei berkisah tentang kisah cinta seorang pemuda Banjarmasin Nanang
Syam yang baru saja mendapatkan promosi sebagai area manager disebuah
perusahaan penebangan hutan yang beroperasi di Hutan Bumban-Kalimantan. Namun
promosi ini mengharuskan dirinya terikat kontrak selama dua tahun di hutan
Bumban, hal ini memicu permasalahan dengan Ida, tunangannya. Ida rupanya
mempertanyakan rencana pernikahan mereka dan keberatan jika dirinya harus
tinggal di hutan setelah menikah nanti. Namun ambisi Nanang mengalahkan rencana
pernikahannya. Ia tetap menjalankan kontrak penebangannya. Tanpa disangka,
Nanang mendapatkan kecelakaan kerja yang mengakibatkan kehilangan pergelangan
tangan kanannya.
Kehilangan
salah satu pergelangan tangannya membuat Nanang terpukul, apalagi ketika ia
harus menerima kenyataan Ida, tunangannya membatalkan pertunangan mereka.
Alih-alih ketertekanan jiwanya karena menjadi cacat dan kehilangan kekasih
Nanang menenggelamkan dirinya kedalam pekerjaannya di hutan Bumban, ia
memperpanjang kontraknya untuk dua tahun lagi. Namun ditengah kesibukan
pekerjaannya, dalam hatinya masih tersimpan bayang-bayang hitam akan masa
depannya yang sewaktu-waktu muncul kala dirinya menyendiri. Dalam kesedihan dan
patah semangat itulah Nanang bertemu dengan Bua, seorang gadis Dayak Ngaju dari
dusun pedalaman Gunung Purei yang kerap ditemuinya kala Bua menjajakan
dagangannya diatas perahu di sungai Barito. Akhirnya Nanang lambat laun terpikat
dan mencintai Bua. Hubungannya dengan Bua memulihkan dirinya dari kesedihan dan
menyembuhkan jiwanya yang tertekan.
Bua
sendiri pun memiliki kehidupan yang kelam. Dirinya harus hidup dalam kutukan
akibat ia pernah menolak dikawinkan dengan seorang pemuka adat di kampungnya.
Dan kutukan inipun berlaku pula untuk pria yang mencoba mendekati Bua. Namun
karena cintanya Nanang tak menghiraukan kutukan itu. Bua pun tak tinggal diam
iapun mencoba memunahkan kutukan tersebut melalui sebuah upacara adat. Singkat
cerita akhirnya Nanang Syam tanpa diketahui oleh kedua orangtuanya menikah
secara adat di Desa Gunung Purei tempat Bua berasal.
Namun
ketika kebahagiaan baru saja direguk dan Bua telah mengandung. Tiba-tiba ayah
Nanang meminta putranya untuk mencoba menjalin kembali hubungannya dengan Ida
yang baru saja mengalami kecelakaan dan telah menjadi buta. Terhenyak oleh
berita tersebut Nanang mengunjungi Ida. Rupanya di satu sisi Nanang masih
menyimpan rasa terhadap Ida. Tapi di sisi lain, ia juga amat mengasihi Bua,
yang saat itu telah mengandung anaknya. Cinta masa lalu dan masa depan membuat
Nanang Syam terombang-ambing dalam pilihannya sampai akhirnya suatu peristiwa
memantapkan Nanang akan pilihan cintanya.
Yang
menarik dari Novel Kembang Gunung Purei ini. Novel ini tak hanya menyajikan
cerita fiksi imajinatif, namun novel ini bisa dikatakan akan menambah wawasan
pembacanya karena dibalut dalam seting pedalaman Hutan Bumba Kalimantan Selatan
dan Suku Dayak Ngaju lengkap dengan kondisi sosial budayanya ditampilkan dalam
novel ini. Tak kalah menariknya novel ini juga menampilkan suasana dan proses
kerja perusahaan penebang hutan dan perasaan para pekerjanya yang dihadapkan
pada garangnya medan dan kondisi psikologis mereka ditempat terpencil.
Sebetulnya
novel Kembang Gunung Purei karya Lan Fang ini memiliki potensi yang cukup besar
untuk menjadi novel cultural yang menyajikan potret lengkap salah satu budaya
Kalimantan jika saja Lan Fang bisa lebih mengeksplorasi segi sosial budaya
masyarakat Suku Dayak Nagaju lengkap dengan tradisi-tradisi yang dimilikinya.
Namun sejauh apa yang telah dihasilkan Lan Fang dalam novel terbarunya ini
tentu patut dihargai karena novel ini telah menghadirkan sebuah upaya
mengenalkan budaya Kalimantan sekecil apapun ke dunia luar.[*]
--HERNADI TANZIL
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar