Judul: Kembang Kertas
Penulis: Kurniasih Penerbit: Jalasutra, cet 1 2005 Tebal: 200 hal ISBN: 979-3684-37-2 |
Kurniasih
adalah bibit baru yang menjanjikan sesuatu (hal 13), demikian komentar Bambang
Sugiharto, filsuf dan pengamat sastra “jebolan” Unpar (Universitas Parahyangan)
Bandung dalam menutup kata pengantarnya di buku ini. Kurniasih, penulis muda
kelahiran Bandung ini, tercatat sebagai mahasiswa tingkat akhir di Sastra
Inggris IAIN Sunan Gunung Djati Bandung. Kini ia aktif di FSK (Forum Studi Kebudayaaan)
ITB, sebuah forum yang bergiat dalam pengkajian berbagai permasalahan budaya
kontemporer. Di FSK inilah ia sering mendiskusikan dan menuliskan kajiannya
tentang sastra. Kegiatan hariannya saat ini adalah menjadi editor buku fiksi
dan nonfiksi di penerbit Jalasutra, Aktifitasnya yang dekat dengan dunia
baca-tulis inilah yang mendorongnya untuk menulis fiksi yang antara lain
tertuang dalam buku kumpulan cerpen ini.
Kembang
Kertas adalah kumpulan cerpen pertamanya yang ditulis dan dikumpulkannya sejak 2003
hingga 2004. Cerpen-cerpennya ini menurut pengakuan penulisnya berangkat dari
kebingungan-kebingungannya yang kompleks dan tak berujung. (hal 46). Mungkin
inilah yang menjadikan cerpen-cerpennya dalam buku ini menggunakan gaya bahasa
yang melambung-lambung, puitis dan metaforik. Buku ini memuat 13 cerpen, pada
cerpen-cerpen awal seperti TabikLoreda, Kembang Kertas, Musafir, Anak
Kesunyian, Sang Pelaut, pembaca akan dibawa pada kisah-kisah surealistik dengan
metafor-metafor indah yang akan membawa pembacanya menukik kedalam imaji-imaji
bawah sadarnya. Beberapa cerpen menggunakan imaji-imaji sadistik dan
berdarah-darah, hal ini antara lain tampak dalam cerpen Musafir yang tertulis:
Menjelang malam kapalku berlabuh di pantai yang digenangi air laut berwarna
darah. Lidah-lidah para penduduk terapung-apung seperti anak ikan yang telah
mati. (hal73). Dalam cerpen-cerpen awalnya pembaca melalui metafor-metafornya
akan dibawa pada tema-tema penting dan filosofis seperti kekerasan patriaki
(Kembang Kertas), hubungan anak dengan ibunya (Musafir), gugatan terhadap
lembaga negara (Anak Kesunyian), dan sebagainya
Namun
tak semua cerpen dalam buku ini berkisah dalam kepekatan alam surealistik,
beberapa cerpen seperti MataMati, Cecilia, dan Mouli ditulis dengan pelukisan
yang lebih realis dan sederhana yang memotret suasana-suasana batin para
tokoh-tokohnya. Tema-tema ceritapun berangkat dari keseharian seperti rasa
kehilangan kekasih, kerinduan terhadap sosok idola yang tak tergapai(MataMati)
hingga soal kekasih gelap(Sesaat Saja).
Penjelajahan
imaji dan penggunaan metafor-metafor dalam buku ini setidaknya akan
mengingatkan pembaca pada karya-karya awal Danarto dan Nukila Amal. Tak dapat
dipungkiri dalam beberapa cerpen di buku ini pengaruh dan jejak-jejak Nukila
Amal pun tak terhindarkan.
Bagi
beberapa pembaca, seperti diakui Kurniasih dalam kata pengantarnya, mungkin
akan menemui kesulitan dalam memahami apa makna dari cerpen-cerpen yang
terdapat dalam buku ini. Memang pengisahan dalam gaya surealistik yang kaya
akan imaji membuat kalimat-kalimat dalam sebuah kisah menjadi terasa indah oleh
metafor-metafornya. Namun kadang hal ini dapat mengakibatkan sebuah cerita
menjadi absurd dan sulit untuk dipahami. Beberapa cerpen dalam buku ini mungkin
berpotensi menjadi demikian, namun hal ini juga membuat cerpen-cerpen dalam
buku ini menjadi lebih bebas untuk ditafsirkan secara luas oleh masing-masing
pembacanya.
Buku
ini juga diperkaya oleh 3 buah kata pengantar yang ditulis oleh filsuf Bambang
Sugiharto, pemerhati masalah Feminisme Aquarini Priyatna P, dan Himawijaya,
editor pada kumpulan cerpen ini. Masing-masing menulis dari sudut pandangnya
masing-masing, Bambang Sugiharto mengamati cerpen-cerpen Kurniasih dari sudut
permainan Imaji dan Simbolisme, Aguarini memberikan pengertian baru mengenai
Abjek dan Perempuan yang terdapat dalam buku ini, sementara Himawijaya meninjau
buku ini dari sudut pandangnya yang sarat dengan muatan filsafat.
Akhirnya
buku ini memang sangat layak untuk diapresiasi, keseluruhan cerpen-cerpennya
menjanjikan ‘sesuatu’ dalam khazanah sastra kita. Tak berlebihan jika Bambang
Sugiharto mengatakan bahwa Kurniasih adalah bibit baru yang menjanjikan. Kini
dunia sastra tanah air tinggal menunggu apakah bibit baru ini akan tumbuh
menjadi salah satu penulis yang namanya akan diperhitungkan dalam khazanah
sastra nasional? Kita tunggu apresiasi para pengamat sastra terhadap kehadiran
karya ini. Asal saja Kurniasih tetap konsisten dalam berkarya sesuai dengan
jalur yang kini tengah ditekuninya. Bukan tak mungkin jika bibit baru itu
memang sedang bertumbuh.[*]
--HERNADI TANZIL
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar