Judul:
Ketika Nurani Bicara
Penerbit: LSM Lazuardi Birru
Peresensi: Yudha Pratama
Jaya
|
Ada banyak cara
untuk meniadakan atau setidaknya melembutkan radikalisme Islam dan menangkal
propaganda teror dari mereka yang memanipulasi agama untuk memaksakan kehendaknya.
Salah satunya adalah seperti yang ditempuh LSM Lazuardi Birru, menerbitkan
komik berjudul “Ketika Nurani Bicara.”
Cerita bergambar
setebal 130 halaman ini diangkat dari keprihatinan atas peristiwa teror bom di
Bali, lazim dikenal dengan Bom Bali I, pada 12 oktober 2002.
Untuk sampai
menjadi sebuah komik menarik ini, tim Lazuardi Birru mengadakan riset selama
dua tahun dan mewawancarai tiga figur yang kemudian menjadi tokoh dalam komik
tersebut.
Ketiganya adalah
Ali Imron (pelaku Bom Bali), H. Bambang Priyanto (relawan) dan Hayati Eka
laksmi (istri salah seorang korban meninggal Bom Bali).
Tidak cukup dengan
itu tim juga menggelar observasi ke beberapa daerah yang dianggap penting,
seperti Lamongan, Gresik, Surabaya, Bali dan tentu saja ke penjara di mana para
radikal pelaku teror dibui.
Setelah itu mereka
menyusun karakter tokoh dalam cerita, termasuk karakter cerita itu sendiri.
Menurut Lazuardi Birru, komik ini berupaya memberi gambaran kepada generasi
muda, bahwa terorisme memberikan luka dan prahara kepada negara.
Mereka juga ingin
berpesan kepada anak-anak bangsa untuk senantiass mawas diri dan berlindung
dari ideologi-ideologi teror yang terus saja mengendap-endap membidik anak-anak
negeri ini.
Salah satu yang
menarik dari komik ini adalah pesan perdamaian yang terungkap dari hati nurani
pelaku teror bom sendiri, Ali Imron.
Ali Imron ternyata
menyesali perbuatannya. Dia bahkan bersimpati pada keluarga-keluarga korban dan
relawan yang turun para korban teror Bom Bali I.
Tiga tokoh
Cerita diawali dari
pengenalan para tokohnya di halaman pertama; Ali imron (Ale), Haji Bambang dan
Hayati Eka Laksmi (Hayati). Di bagian ini terselip pula ilustrasi Jalan Legian
di Kuta pada 12 oktober 2002 dan lokasi pemboman, Sari Club dan Paddys kafe.
Cerita dan ilustrasi
gambarnya sangat berkronologi sehingga mudah untuk diikuti penikmatunya, karena
selain gambar yang sepenuhnya berwarna dan menarik, juga dilengkapi rangkaian
teks yang menjelaskan situasi atau gambar yang ditampilkan.
Dalam komik itu,
Ali Imron bertutur mengenai keterlibatannya dalam gerakan terorisme dan
serangan bom, keraguannya dalam melakukan teror, dan akhirnya berbuah
penyesalan tiada akhir darinya.
Sementara Bambang
Priyanto mengungkapkan kepedulian para relawan dalam menolong korban tanpa memandang
agama. Terkhir, Hayati, ibu dua anak, bercerita tentang perjuangan hidup dan
kegigihannya untuk bangkit menjadi tulang punggung keluarga, menggantikan peran
suami yang meninggal karena Bom Bali I.
Ketiga tokoh utama
komik ini mengungkapkan nuraninya untuk disampaikan kepada generasi muda demi
Indonesia damai.
Pesan Ali Imron
Yang termenarik
dari komik mungkin adalah pengakuan pelaku tero bom, Ali Imron, bahwa dia telah
salah menafsirkan seruan agama dan mengaku bersalah telah membunuhi orang-orang
yang tak berdosa, sekaligus mewariskan nestapa kepada keluarga-keluarga yang
ditinggalkan korban bom.
Dari rekaman video
yang dibuat tim Lazuardi birru, Ale atau Ali Imron, mengutarakan tiga pesan
penting dari lima pesannya dari penjara mengenai jihad dan nuraninya yang
menentang teror, dan kekerasan.
Pesan pertama
berbunyi, “Saya harap keinginan saya bisa sampai ke masyarakat, untuk mencegah
kekerasan.”
Kedua, masih dalam
tuturan langsung Ali, “Semoga komik ini bisa mengingatkan kawan-kawan di
kelompok saya dulu bahwa masih banyak cara untuk melakukan jihad. Agar mereka
berpikir bahwa jihad bisa dilakukan tanpa harus melakukan aksi kekerasan.”
Lalu pesan ketiga,
yang ada baiknya dieksploitasi negara untuk meredam terorisme dan radikalisme,
bahwa (komik) ini bertujuan memberitahukan sedini mungkin (kepada generasi
muda) agar tidak cepat terpengaruh pihak tertentu, hanya karena dasar emosional
semata.
Dyah Madya Ruth,
Ketua LSM Lazuardi Birru, menyebut komik ini sebagai esensi jihad, yang
dipahami berbeda para penafsirnya.
Komik ini sendiri
mengilustrasikan setidaknya empat pemahaman jihad yang diaplikasikan berbeda
oleh orang-orang yang justru berkeyakinan sama, Islam.
Yaitu antara jihad
ala Ali Imron yang melakukan aksi teror, lalu jihad kedua Ali yang berusaha
menata dirinya kembali yang diprologi oleh pengakuan bersalahnya atas aksi
teror yang dilakukannya.
Kermudian jihad
gaya ‘Pak Haji Bambang yang membantu korban Bom Bali tanpa mengenal batas ras
dan agama.
Terakhir, jihad Ibu
Hayati yang balik sediakala menjadi tulang punggung keluarga setelah nyawa
suami terenggut teror bom. (*)
Sumber:
Antara News, 25
September 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar