Judul:
Konflik, Manipulasi dan Kebangkrutan Orde Baru
Penulis: Eep Saefulloh Fatah Penerbit: Burungmerak Press, Jakarta Cetakan: Pertama, 2010 Tebal: xix + 402 halaman
Peresensi:
Binhad Nurrohmat*)
|
KEKUASAAN dan
sengketa politik serupa dua sisi sekeping koin. Tamsil itu bukan kenyataan
kekuasaan ideal, tapi demikian realitas yang terjadi. Bahkan, tikai politik
dianggap identik dengan kekuasaan. Tiada kekuasaan tanpa ketegangan politik dan
tak ada konflik politik tanpa tujuan kekuasaan.
Sengketa politik merupakan
pengalaman yang memberikan pelajaran nyata. Kadar mutu pelajaran yang diperoleh
dari pengalaman itu bergantung pada sejauh mana mendalami dan memahaminya.
Buku ini mengelola
pengalaman itu secara ketat-kritis melalui alat-alat teoretis-akademis sehingga
keilmiahannya bisa dipertanggungjawabkan dan bisa diuji bersama. Buku ini
berisi uraian cerita dan analisis teoretis tiga sengketa politik pada masa
kekuasaan negara Orde Baru: Malari (1974), Petisi 50 (1980), dan Peristiwa
Tanjung Priok (1984).
Tiga konflik
politik itu terdeskripsikan kronologis dan anatominya serupa cerita yang
dilengkapi bagan dan peta tempat peristiwa serta dokumen mengenainya. Semua itu
diteropong serta dirumuskan melalui teori Nicos Poulantzas dan teori Peter
Evans.
Poulantzas dan
Evans adalah dua pemikir negara berkembang setelah Perang Dunia II. Poulantzas
menolak negara instrumentalis model marxis ortodoks dan menawarkan model
negara-organis. Sedangkan Evans menggagas negara struktural. Bagi Evans,
dominasi negara merupakan persekutuan negara dan borjuasi nasional yang
melibatkan faktor modal asing.
***
Bagaimanakah
gambaran tiga peristiwa konflik politik itu?
Gerakan Malari
(Malapetaka Lima Belas Januari) merupakan aksi mahasiswa dan massa menolak
lawatan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka. Aksi itu menimbulkan huru-hara
dan perusakan-perusakan fisik berskala luas di Jakarta yang mengakibatkan
kematian belasan orang dan penangkapan ratusan tokoh oleh tentara. Aksi
tersebut, antara lain, didasari antidominasi modal asing (terutama Jepang),
pemusatan sumber ekonomi penting di tangan militer, dan marginalisasi
masyarakat. Aksi itu merupakan klimaks perbenturan kritisisme masyarakat dengan
kinerja ekonomi dan politik negara.
Dampak sosial
terbesar dari Malari adalah penodaan citra dan peran politik mahasiswa dan
massa sehingga diberlakukan depolitisasi dalam bermasyarakat dan bernegara
serta pemberedelan beberapa media massa akibat pemberitaan peristiwa itu.
Peristiwa Petisi 50
bermula dari ”Pernyataan Keprihatinan” yang ditandatangani 50 tokoh terkemuka
yang menanggapi, mengkritik, dan menggugat pidato tanpa teks Presiden Soeharto
saat Rapim ABRI di Pekanbaru (27 Maret 1980) dan sambutan Presiden Soeharto
pada Hari Ulang Tahun KOPASSANDHA di Cijanjung, Jakarta, 16 April 1980. ”Pernyataan
keprihatinan” itu juga mendesak para pejabat DPR dan MPR menanggapi
pidato-pidato presiden tersebut. Akibatnya, para penanda tangan Petisi 50
mengalami ”represi halus”, misalnya pencabutan hak-hak sosial-ekonomi mereka.
Para penanda tangan
Petisi 50 berasal dari kalangan nasionalis, agama, dan ABRI (kini TNI, Red).
Peristiwa Petisi 50 membuat antarelite yang berpengaruh di masyarakat
berkonfrontasi dan menumbuhkan ”oposisi terorganisasi” yang sebelumnya belum
mengemuka.
Pada 12 September
1984, terjadi kerusuhan dan kekerasan bersenjata dalam Peristiwa Tanjung Priok.
Peristiwa itu melibatkan massa dan tentara yang menimbulkan kematian,
penangkapan, dan kerusakan infrastruktur di sekitar Tanjung Priok. Konflik itu
tersulut kegalauan umat Islam akibat negara mencanangkan asas tunggal Pancasila
sebagai ideologi formal. Konflik tersebut juga terpicu situasi marginal
masyarakat Tanjung Priok secara sosial-ekonomi.
Setelah peristiwa
itu, Orde Baru mengabaikan eksistensi ideologi informal dan mewajibkan organisasi
masyarakat dan organisasi sosial-politik menganut asas tunggal Pancasila. Juga,
terjadi depolitisasi, institusionalisasi, dan de-ideologisasi demi memantapkan
rezimentasi negara Orde Baru.
***
Buku ini merupakan
studi yang menunjukkan pola, arah, dan efektivitas manajemen konflik politik
negara Orde Baru menghadapi tiga sengketa politik itu. Singkatnya, negara Orde
Baru melakukan ”dis-manajemen”. Negara Orde Baru membuat konsensus politik semu
dan ”pelatenan” politik dalam mengelola konflik-konflik politik itu.
Dampak-dampak konflik politik tersebut ditekan ke bawah permukaan oleh negara.
Faktor-faktor yang
melatari model manajemen konflik politik itu, antara lain, negara yang
hegemonik-otoriter, memaksimalkan peran aparatur negara yang represif, melemahkan
borjuasi nasional, dan melakukan alienasi politik.
***
Foto peristiwa dan
tokoh/pelaku konflik-konflik politik itu bisa memperlengkap bahan kesejarahan
dan lebih menghidupkan ingatan pada tiga konflik politik tersebut, tapi sayang
tak tersaji dalam buku ini. Mengapa hanya mengungkap tiga peristiwa konflik
politik itu?
Semasa Orde Baru,
ada peristiwa konflik politik lain, seperti Gerakan Pengacau Keamanan (GPK)
Anwar Warsidi di Lampung, gerakan separatisme di Aceh yang memunculkan DOM
(Daerah Operasi Militer), maupun peristiwa Santa Cruz di Timor-Timur.
Terlepas dari
ketaksempurnaan itu, buku ini adalah sampel istimewa upaya merekam dan
menganalisis ”sebagian” konflik politik di masa Orde Baru. Konflik-konflik
politik di masa Orde Baru masih perlu ditelusuri lagi agar catatan mengenainya
kian komplet sehingga tak terlupakan akibat ketaktercatatan.
Tujuan buku ini
bukan membuka luka lama atau mengungkit-ungkit peristiwa tragis di masa lalu.
Kehadiran buku ini menjaga ingatan kolektif agar konflik-konflik politik di
masa silam tak terulang dan memberikan kedalaman pemahaman terhadapnya agar
masa depan tak lagi dirundung tragedi serupa. Ingatan dan pemahaman itu menjadi
modal merumuskan cara menghadapi dan menangani konflik politik yang lebih
demokratis. Bukankah salah satu hakikat demokrasi adalah mengelola
ketegangan-ketegangan politik? (*)
*) Penyair, civitas
academica STF Driyarkara, Jakarta
JawaPos, 16 Mei
2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar