Judul
Buku: Lady Chatterley’s Lover
Penulis: D.H. Lawrence Pengantar: Goenawan Mohamad Cetakan Pertama: Desember 2008 Tebal: xii + 586 halaman Penerbit: Pustaka Alvabet |
“Dan Connie seperti
dilamun ombak laut, dilamun ombak laut yang bergerak pasang dan surut, turun
naik dengan gelombang yang besar, sehingga perlahan kegelapan menelannya, dan
dia menjadi lautan yang menggerakkan seluruh tubuhnya. Ah, jauh di bawah,
palung-palung terkuak, bergulung, terbelah di sepanjang rekahan panjang…’
Tak ada rasanya pengarang
secanggih David Herbert Lawrence (1895-1930) dalam melukiskan suasana erotik di
dalam karya novelnya. Begitu piawai pengarang Inggris ini memainkan kata-kata,
sehingga seorang Goenawan Mohamad pun mengaku tak sanggup menerjemahkan seluruh
pasase tersebut.
Kisah dalam novel
ini menceritakan seorang wanita muda, Constance (Lady Chatterley), istri
Clifford Chatterley, yang lumpuh dan menjadi impoten akibat luka-lukanya dalam
Perang Dunia I. Perasaan sepi dan rasa frustrasi dalam hidupnya pelan-pelan terobati
setelah ia mulai dekat dengan seorang penjaga hutan, Oliver Mellors, yang
bekerja pada suaminya. Tugas penjaga hutan itu antara lain adalah melepas
burung-burung yang akan dijadikan sasaran tembak majikannya.
Hubungan Connie dan
Mellors pada mulanya memang hubungan antara majikan dengan pembantu. Namun
lama-lama hubungan itu menjadi hubungan romantis setelah Connie sering
mengunjungi pria itu di gubuknya di pinggir hutan. Isyarat dari Connie pun
disambut Mellors, mantan tentara yang telah empat tahun menjauhkan diri dari
sang istri yang kasar.
Membaca novel ini,
pembaca diajak menikmati momen-momen erotis di berbagai bagian. Berbagai
penerbit di Inggris menolak menerbitkannya. Tampaknya ini terkait dengan
banyaknya penggunaan kata yang dinilai jorok, terutama fuck. Faktor kedua
adalah adanya jurang perbedaan kelas sosial tokoh utamanya, seorang wanita
ningrat dan seorang pria pekerja kasar.
Namun Lawrence
kemudian menemukan sebuah penerbit kecil di Florence, Italia, pada 1928. Novel
ini lalu menyebar ke Amerika Serikat dan Eropa, menimbulkan kehebohan. Banyak
orang membajak novel ini, menerbitkan secara diam-diam. Di Inggris sendiri
novel ini baru terbit di Inggris pada 1960, setelah sidang pengadilan
memutuskannya sebagai karya bukan porno. Berbagai negara seperti Amerika,
Australia, dan India sebelumnya juga melarang peredaran novel ini.
Ada tiga versi
novel ini. Satu saat Lawrence memberi judul novelnya Tenderness dan membuat
perubahan di sana-sini dari naskah aslinya. Namun setelah itu, Lady Chatterley’s
Lover diterbitkan di berbagai negara, termasuk diadaptasi ceritanya untuk
radio, film, televisi, dan teater. Radio BBC, misalnya, menyiarkan adaptasi
novel ini pada September 2006. Sutradara Prancis Pascale Ferran juga membuat
filmnya pada 2006.
Beragam Hubungan
Novel ini memang
fenomenal, dengan cinta dan hubungan pribadi sebagai tema-tema yang menyatukan
jalinan kisahnya. Pengarang dengan segala kepiawaiannya mengeksplorasi beragam
jenis hubungan antarmanusia. Di satu momen, kita dihadapkan pada tokoh seperti
Tommy Dukes. Laki-laki ini dilukiskan sebagai orang yang tidak bisa menemukan
pasangan karena tak ada perempuan yang dianggapnya sepadan secara intelektual.
Pada momen lain, ada hubungan yang penuh onak dan duri seperti Mellors dan
istrinya Bertha Coutts, seorang perempuan yang kasar tingkah lakunya. Secara
psikis dan seksual, Mellors merasa hubungannya dengan Bertha adalah sebuah
mimpi buruk. Hubungan Clifford dengan Nyonya Bolton juga menarik. Setelah
hubungan dengan istrinya makin dingin, Clifford menemukan wanita pembantunya
itu menjadi pelindung hatinya. Apalagi setelah ia tahu Connie selingkuh dan
hamil dari hubungannya dengan Mellors.
Namun keliru bila
menilai novel ini menarik hanya karena ilustrasi-ilustrasi seksualnya. Pembaca
juga akan menemukan bagaimana pengarang mengajak pembaca untuk merenungkan
nilai-nilai integritas dan keutuhan dalam kehidupan manusia. Kata kunci dari
integritas, meminjam ungkapan Richard Hoggart, adalah menyatunya tubuh dan
pikiran. Di sini pengarang secara jelas mengkritik masyarakat, terutama kelas
bangsawan, yang terlalu mengagungkan pikiran atau intelektualitasnya.
Di bagian lain,
pengarang mengajak untuk mengamati ketidakutuhan sikap beberapa tokohnya.
Mellors menderita karena kekasaran sikap istrinya Bertha, sementara Connie tak
bisa lagi memperoleh perhatian dari Clifford. Keadaan menjadi lain ketika
Connie mendapatkan kasih sayang dan belaian dari Mellors. Mereka saling
menghargai.
Selain itu, dalam
prosesnya, baik Connie maupun Mellors akhirnya menemukan nilai-nilai yang lebih
berharga daripada sekadar hubungan seks. Connie sadar bahwa hubungan seks yang
ia jalani sangat memalukan dan mengecewakannya. Sedang Mellors akhirnya juga
belajar tentang tantangan spiritual yang muncul dari hubungan cinta secara fisik.
Akhir novel ini
dibuat mengambang oleh pengarang. Connie pergi ke Skotlandia bersama adiknya,
Hilda, sambil menunggu kelahiran bayi yang dikandungnya. Mellors, si penjaga
hutan, menyusul dan bekerja di sebuah tanah pertanian. Rencananya, ia akan mengurus
perceraiannya dengan Bertha, sementara Connie mengupayakan perceraian dengan
Clifford. Keduanya berencana menggarap tanah pertanian mereka sendiri dengan
modal dari Connie.
Sebuah adegan
menarik terjadi saat Connie pamit kepada Nyonya Bolton, perempuan pembantu
rumahnya yang setia mengabdi pada Clifford. ”Kalau suatu hari kamu pikir Tuan
Clifford mau menceraikan aku, tolong beritahu aku, ya? Aku ingin menikah dengan
seorang pria yang aku kasihi,” kata Connie.
”Tentu saja, Putri!
Oh, dan percayalah pada saya. Saya akan setia pada Tuan Clifford, dan saya juga
akan setia pada Anda, karena saya paham Anda berdua benar dengan cara Anda
masing-masing,” jawab Nyonya Bolton.
Sebuah novel klasik
yang memang istimewa.[*]
Sumber:
Jawa Pos (Minggu,
01 Februari 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar