Sabtu, 22 Maret 2014

Lady Chatterley’s Lover

Judul Buku: Lady Chatterley’s Lover
Penulis: D.H. Lawrence
Pengantar: Goenawan Mohamad
Cetakan Pertama: Desember 2008
Tebal: xii + 586 halaman
Penerbit: Pustaka  Alvabet


“Dan Connie seperti dilamun ombak laut, dilamun ombak laut yang bergerak pasang dan surut, turun naik dengan gelombang yang besar, sehingga perlahan kegelapan menelannya, dan dia menjadi lautan yang menggerakkan seluruh tubuhnya. Ah, jauh di bawah, palung-palung terkuak, bergulung, terbelah di sepanjang rekahan panjang…’
Tak ada rasanya pengarang secanggih David Herbert Lawrence (1895-1930) dalam melukiskan suasana erotik di dalam karya novelnya. Begitu piawai pengarang Inggris ini memainkan kata-kata, sehingga seorang Goenawan Mohamad pun mengaku tak sanggup menerjemahkan seluruh pasase tersebut.
Kisah dalam novel ini menceritakan seorang wanita muda, Constance (Lady Chatterley), istri Clifford Chatterley, yang lumpuh dan menjadi impoten akibat luka-lukanya dalam Perang Dunia I. Perasaan sepi dan rasa frustrasi dalam hidupnya pelan-pelan terobati setelah ia mulai dekat dengan seorang penjaga hutan, Oliver Mellors, yang bekerja pada suaminya. Tugas penjaga hutan itu antara lain adalah melepas burung-burung yang akan dijadikan sasaran tembak majikannya.
Hubungan Connie dan Mellors pada mulanya memang hubungan antara majikan dengan pembantu. Namun lama-lama hubungan itu menjadi hubungan romantis setelah Connie sering mengunjungi pria itu di gubuknya di pinggir hutan. Isyarat dari Connie pun disambut Mellors, mantan tentara yang telah empat tahun menjauhkan diri dari sang istri yang kasar.
Membaca novel ini, pembaca diajak menikmati momen-momen erotis di berbagai bagian. Berbagai penerbit di Inggris menolak menerbitkannya. Tampaknya ini terkait dengan banyaknya penggunaan kata yang dinilai jorok, terutama fuck. Faktor kedua adalah adanya jurang perbedaan kelas sosial tokoh utamanya, seorang wanita ningrat dan seorang pria pekerja kasar.
Namun Lawrence kemudian menemukan sebuah penerbit kecil di Florence, Italia, pada 1928. Novel ini lalu menyebar ke Amerika Serikat dan Eropa, menimbulkan kehebohan. Banyak orang membajak novel ini, menerbitkan secara diam-diam. Di Inggris sendiri novel ini baru terbit di Inggris pada 1960, setelah sidang pengadilan memutuskannya sebagai karya bukan porno. Berbagai negara seperti Amerika, Australia, dan India sebelumnya juga melarang peredaran novel ini.
Ada tiga versi novel ini. Satu saat Lawrence memberi judul novelnya Tenderness dan membuat perubahan di sana-sini dari naskah aslinya. Namun setelah itu, Lady Chatterley’s Lover diterbitkan di berbagai negara, termasuk diadaptasi ceritanya untuk radio, film, televisi, dan teater. Radio BBC, misalnya, menyiarkan adaptasi novel ini pada September 2006. Sutradara Prancis Pascale Ferran juga membuat filmnya pada 2006.

Beragam Hubungan
Novel ini memang fenomenal, dengan cinta dan hubungan pribadi sebagai tema-tema yang menyatukan jalinan kisahnya. Pengarang dengan segala kepiawaiannya mengeksplorasi beragam jenis hubungan antarmanusia. Di satu momen, kita dihadapkan pada tokoh seperti Tommy Dukes. Laki-laki ini dilukiskan sebagai orang yang tidak bisa menemukan pasangan karena tak ada perempuan yang dianggapnya sepadan secara intelektual. Pada momen lain, ada hubungan yang penuh onak dan duri seperti Mellors dan istrinya Bertha Coutts, seorang perempuan yang kasar tingkah lakunya. Secara psikis dan seksual, Mellors merasa hubungannya dengan Bertha adalah sebuah mimpi buruk. Hubungan Clifford dengan Nyonya Bolton juga menarik. Setelah hubungan dengan istrinya makin dingin, Clifford menemukan wanita pembantunya itu menjadi pelindung hatinya. Apalagi setelah ia tahu Connie selingkuh dan hamil dari hubungannya dengan Mellors.
Namun keliru bila menilai novel ini menarik hanya karena ilustrasi-ilustrasi seksualnya. Pembaca juga akan menemukan bagaimana pengarang mengajak pembaca untuk merenungkan nilai-nilai integritas dan keutuhan dalam kehidupan manusia. Kata kunci dari integritas, meminjam ungkapan Richard Hoggart, adalah menyatunya tubuh dan pikiran. Di sini pengarang secara jelas mengkritik masyarakat, terutama kelas bangsawan, yang terlalu mengagungkan pikiran atau intelektualitasnya.
Di bagian lain, pengarang mengajak untuk mengamati ketidakutuhan sikap beberapa tokohnya. Mellors menderita karena kekasaran sikap istrinya Bertha, sementara Connie tak bisa lagi memperoleh perhatian dari Clifford. Keadaan menjadi lain ketika Connie mendapatkan kasih sayang dan belaian dari Mellors. Mereka saling menghargai.
Selain itu, dalam prosesnya, baik Connie maupun Mellors akhirnya menemukan nilai-nilai yang lebih berharga daripada sekadar hubungan seks. Connie sadar bahwa hubungan seks yang ia jalani sangat memalukan dan mengecewakannya. Sedang Mellors akhirnya juga belajar tentang tantangan spiritual yang muncul dari hubungan cinta secara fisik.
Akhir novel ini dibuat mengambang oleh pengarang. Connie pergi ke Skotlandia bersama adiknya, Hilda, sambil menunggu kelahiran bayi yang dikandungnya. Mellors, si penjaga hutan, menyusul dan bekerja di sebuah tanah pertanian. Rencananya, ia akan mengurus perceraiannya dengan Bertha, sementara Connie mengupayakan perceraian dengan Clifford. Keduanya berencana menggarap tanah pertanian mereka sendiri dengan modal dari Connie.
Sebuah adegan menarik terjadi saat Connie pamit kepada Nyonya Bolton, perempuan pembantu rumahnya yang setia mengabdi pada Clifford. ”Kalau suatu hari kamu pikir Tuan Clifford mau menceraikan aku, tolong beritahu aku, ya? Aku ingin menikah dengan seorang pria yang aku kasihi,” kata Connie.
”Tentu saja, Putri! Oh, dan percayalah pada saya. Saya akan setia pada Tuan Clifford, dan saya juga akan setia pada Anda, karena saya paham Anda berdua benar dengan cara Anda masing-masing,” jawab Nyonya Bolton.
Sebuah novel klasik yang memang istimewa.[*]

Sumber:
Jawa Pos (Minggu, 01 Februari 2009)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar