Judul
Buku: Levi-Strauss: Strukturalisme dan Teori Sosiologi
Penulis Christopher R. Badcock Penerjemah: Robby H. Abror Pengantar: Prof. Dr. Heddy Shri AhimsaPutra Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta Cetakan I, Oktober 2009 Tebal: 205 hlm. |
Daya
tarik utama Lévi Strauss baik bagi para mahasiswa ilmuilmu sosial maupun bagi
publik pembaca pada umumnya adalah bahwa ia secara luas dan paling dikenal
dengan baik sebagai penulis yang banyak dibaca pada mazhab strukturalis. Inilah
julukan yang dengan jelas ia terima, dengan menghabiskan banyak waktu dalam
karyakaryanya, dan dalam judulnya, paling tidak dua dari karyanya. Tentu saja,
sejauh ilmuilmu sosial diperbincangkan, seseorang bisa merasa cukup yakin dalam
menyebut LéviStrauss sebagai sang pemimpin gerakan, atau, paling tidak,
eksponennya yang paling menonjol di bidang antropologi dan sosiologi.
Daya
tarik strukturalisme sebagai sebuah gerakan dalam ilmuilmu sosial berasal dari
klaimnya, yang secara implisit ataupun eksplisit, memberikan wawasan atau
kesadaran baru tentang hubungan manusia dan tingkah lakunya. Inilah sesuatu
yang pokok bagi semua ilmu humaniora, khususnya bagi sosiologi, antropologi dan
psikologi.
Karena
manusia berpartisipasi secara subjektif dalam menjadi dirinya, dan karena
karyakaryanya membentuk kesadaran subjektifnya sendiri, seluruh ilmu tersebut
telah berusaha keras dari sejak awal untuk memberikan wawasan yang baru kepada
manusia ke dalam dirinya sendiri dan kesadaran yang baru tentang masyarakat
dimana ia menjadi bagiannya. Daya tarik utama strukturalisme terletak pada
fakta bahwa strukturalisme telah berusaha untuk melakukan hal ini sebagai
kerangka kritik alternatif yang lebih baru.
Strukturalisme
telah menawarkan berbagai penjelasan tentang manusia dan budaya dalam suatu
istilah yang disebut oleh Chomsky sebagai “strukturstruktur dalam” (deep
structures). “Strukturstruktur dalam” adalah sifat bawah sadar dari
prinsipprinsip fungsi mental tetapi yang dicoba dijelaskan oleh strukturalisme
serta paling tidak dalam antropologi dan sosiologi, diungkapkan kembali sebagai
kebenaran utama bagi fenomenon budaya.
Dalam
upayanya untuk menyingkapkan faktorfaktor determinan dari perilaku yang
bersifat bawah sadar dan kolektif tersebut, maka peranan strukturalisme dalam
ilmuilmu sosial analog dengan peran psikoanalisis dalam psikologi individual.
Keduanya mengklaim bisa memberikan kesadaran baru yang dapat memberikan wawasan
yang lebih mendalam tentang berbagai proses yang mempengaruhi kehidupan kita,
keberadaannya sungguh tidak disadari hingga disiplin ini benarbenar muncul,
kita sangat tidak menyadarinya. Dan seperti yang akan kita lihat nanti, inilah
salah satu tujuan utama dari buku ini, yaitu menunjukkan seberapa banyak
strukturalisme berhutang pada psikoanalisis.
Hasrat
untuk memiliki kesadaran yang baru tentang masyarakat, utamanya wawasan baru
tentang budaya, merupakan daya tarik utama dari ilmuilmu sosial pada umumnya,
baik bagi para mahasiswa yang mengambil disiplin ini di universitas, ataupun
bagi publik umum yang membacanya. Keadaan yang diharapkan bagi apa yang dapat
dilakukan oleh kesadaran baru tersebut tentu saja sangat bervariasi. Beberapa
orang memandang studi sosiologi dan antropologi sosial misalnya, sebagai alat
pembebasan personal dari kekuatankekuatan sosial yang sebelumnya mengekang
mereka.
Dan
berkenaan dengan hal ini, ilmuilmu sosial turut mengambil bagian dari
pembongkaran atas berbagai mistifikasi dan penghancur mitemite serta
universitas kemudian menjadi rumah pembantaian bagi pelbagai kebodohan.
Sedangkan yang lain, mereka melihat ilmuilmu sosial terbatas sebagai kesadaran
realitas yang mendasari struktur sosial. Karena partisipasi merupakan kewajiban
pada taraf yang luas, hal ini juga jika kita memiliki beberapa informasi yang
terpercaya tentang bagian kita secara tepat. Oleh karenanya, sosiologi dan
studi tentang strukturstruktur sosial kontemporer pada khususnya dapat dilihat
sebagai alat untuk mencapai tujuan kesadaran tentang realitas sosial, politik
dan ekonomi yang lebih rasional. Dengan demikian, hal tersebut dapat diharapkan
menjadi dasar yang lebih terpercaya atas berbagai kebijakan yang dibuat.
Selain
itu juga ada pihakpihak yang melihat ilmuilmu tentang manusia dan masyarakat
sebagai salah satu cara untuk memberikan wawasan terutama pada diri kita
sendiri serta memperluas kesadaran subjektif kita dengan cara sedemikian rupa.
Akibatnya, ritual masyarakat primitif yang tidak bisa dipahami atau bahkan
berbagai tindakan irasional dari anggotaanggota masyarakat kita sendiri menjadi
bisa dipahami dan dianggap sebagai bagian dari gambaran tentang pengalaman
sosial kita sendiri yang penuh makna.
Dengan
segala keunggulan ini, strukturalisme kelihatannya memiliki penawaran yang kuat
dan cukup berharga bagi kita yang ingin mencari dan memahami pola baru dalam
hubungan antara manusia dan masyarakat.
Namun
tentu saja hal ini bukanlah gerakan pertama dalam ilmuilmu sosial yang
menawarkan harapan semacam itu. Sebagaimana yang telah ditunjukkan sebelumnya,
seluruh ilmuwan sosial dengan satu atau lain cara telah menawarkan sesuatu yang
sama. Semuanya mengklaim telah memberikan paling tidak beberapa jenis wawasan
yang baru ke dalam realitas sosial. Oleh karenanya jika kita benarbenar ingin
memahami relasi antara strukturalisme dan LéviStrauss, maka lebih baik kita
memfokuskan perhatian pada ketertarikan dan kontribusi keduanya terhadap
ilmuilmu sosial pada umumnya dan teori sosiologi pada khususnya.
Kebanyakan
orang yang membaca karyakaryanya segera menyatakan bahwa, dengan suatu cara
atau cara lain, ia sedang mereduksi beberapa aspek budaya pada cara berpikir
manusia. Tetapi sebagian kecil orang menyadari tentang bagaimana ia melakukan
hal ini, dan bagaimana gagasan semacam Alam sebagai sebuah penjelasan reduktif
yang final masuk ke dalam sistem yang dibuatnya. Sebagian penulis yang lain
telah mengarahkan banyak perhatian pada isu ini, tetapi hal ini akan menjadi
tujuan penulisnya sebatas untuk menyingkapkan reduksionismenya LéviStrauss, dan
memperlihatkan bahwa inilah, dalam faktanya, metafisika dan bentuk asal yang
kurang lebih tidak bisa dipahami dibanding banyaknya yang muncul untuk
dicurigai. Akhirnya, buku ini berusaha untuk menunjukkan bahwa
strukturalismenya LéviStrauss hanyalah satu versi psikoanalisis baru yang
menolak tubuhnya, dan dalam kasus ini melengkapi ideide Freud dalam berbagai
perangkap cybernetika.
Dalam
menilai signifikansi LéviStrauss bagi sosiologi secara keseluruhan dan
kontribusinya bagi kesulitankesulitan teoretis dan metodologis, maka merupakan
ide yang bagus jika kita melihat kembali sesaat sejarah pemikiran sosiologi
sehingga dapat dilihat bagaimana ia memiliki kesesuaian dengannya.
Periode
pertama pemikiran sosiologis, yang berjalan kira-kira pada permulaan abad ke19
sampai akhir kuartal ketiga bisa disebut sebagai Zaman Para Nabi. Zaman ini
didominasi oleh figur-figur kenabian seperti St. Simon, Auguste Comte dan Karl
Marx.
Masing-masing
figur ini adalah figur yang kesepian kecuali dalam kehidupan intelektual pada
zamannya. Masingmasing hidup kurang lebih dalam kehidupan yang sulit dan
berbahaya, yang hanya memberikan sedikit atau bahkan tidak memberikan apapun
jalan materi atau setiap jenis keuntungan lain dari karyakaryanya. Masing-masing
memprotes keadaan masyarakat masa kini dan masa depan dengan nada retoris dan
seringkali seperti wahyu. Marx, dengan kepala patriarkhalnya, pandangan Yahudi
dan penampilan yang tidak rapi, muncul dan paling mendekati dengan prototipe
Perjanjian Lama; tetapi Comte dan St. Simon samasama dipandang sebagai para
nabi ilmu baru dan tatanan sosial baru. Sesungguhnya, gereja yang didirikan
kedua orang ini tampaknya memberikan kualifikasi kepada keduanya untuk
menyandang gelar “Nabi Sosiologi” dengan keadilan yang agung.
Buku
yang diterjemahkan oleh Robby Habiba Abror ini sangat penting bagi kita untuk
mengenal lebih dalam pemikiran Levi Strauss yang sangat memukau ini, khususnya
di ranah antropologi budaya. [*]
*) Nanum Sofia, peresensi tinggal di Yogyakarta.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar