Minggu, 23 Maret 2014

Levi-Strauss: Strukturalisme dan Teori Sosiologi

Judul Buku: Levi-Strauss: Strukturalisme dan Teori Sosiologi
Penulis Christopher R. Badcock
Penerjemah: Robby H. Abror
Pengantar: Prof. Dr. Heddy Shri AhimsaPutra
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan I, Oktober 2009
Tebal: 205 hlm.


Daya tarik utama Lévi Strauss baik bagi para mahasiswa ilmuilmu sosial maupun bagi publik pembaca pada umumnya adalah bahwa ia secara luas dan paling dikenal dengan baik sebagai penulis yang banyak dibaca pada mazhab strukturalis. Inilah julukan yang dengan jelas ia terima, dengan menghabiskan banyak waktu dalam karyakaryanya, dan dalam judulnya, paling tidak dua dari karyanya. Tentu saja, sejauh ilmuilmu sosial diperbincangkan, seseorang bisa merasa cukup yakin dalam menyebut LéviStrauss sebagai sang pemimpin gerakan, atau, paling tidak, eksponennya yang paling menonjol di bidang antropologi dan sosiologi.
Daya tarik strukturalisme sebagai sebuah gerakan dalam ilmuilmu sosial berasal dari klaimnya, yang secara implisit ataupun eksplisit, memberikan wawasan atau kesadaran baru tentang hubungan manusia dan tingkah lakunya. Inilah sesuatu yang pokok bagi semua ilmu humaniora, khususnya bagi sosiologi, antropologi dan psikologi.
Karena manusia berpartisipasi secara subjektif dalam menjadi dirinya, dan karena karyakaryanya membentuk kesadaran subjektifnya sendiri, seluruh ilmu tersebut telah berusaha keras dari sejak awal untuk memberikan wawasan yang baru kepada manusia ke dalam dirinya sendiri dan kesadaran yang baru tentang masyarakat dimana ia menjadi bagiannya. Daya tarik utama strukturalisme terletak pada fakta bahwa strukturalisme telah berusaha untuk melakukan hal ini sebagai kerangka kritik alternatif yang lebih baru.
Strukturalisme telah menawarkan berbagai penjelasan tentang manusia dan budaya dalam suatu istilah yang disebut oleh Chomsky sebagai “strukturstruktur dalam” (deep structures). “Strukturstruktur dalam” adalah sifat bawah sadar dari prinsipprinsip fungsi mental tetapi yang dicoba dijelaskan oleh strukturalisme serta paling tidak dalam antropologi dan sosiologi, diungkapkan kembali sebagai kebenaran utama bagi fenomenon budaya.
Dalam upayanya untuk menyingkapkan faktorfaktor determinan dari perilaku yang bersifat bawah sadar dan kolektif tersebut, maka peranan strukturalisme dalam ilmuilmu sosial analog dengan peran psikoanalisis dalam psikologi individual. Keduanya mengklaim bisa memberikan kesadaran baru yang dapat memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang berbagai proses yang mempengaruhi kehidupan kita, keberadaannya sungguh tidak disadari hingga disiplin ini benarbenar muncul, kita sangat tidak menyadarinya. Dan seperti yang akan kita lihat nanti, inilah salah satu tujuan utama dari buku ini, yaitu menunjukkan seberapa banyak strukturalisme berhutang pada psikoanalisis.
Hasrat untuk memiliki kesadaran yang baru tentang masyarakat, utamanya wawasan baru tentang budaya, merupakan daya tarik utama dari ilmuilmu sosial pada umumnya, baik bagi para mahasiswa yang mengambil disiplin ini di universitas, ataupun bagi publik umum yang membacanya. Keadaan yang diharapkan bagi apa yang dapat dilakukan oleh kesadaran baru tersebut tentu saja sangat bervariasi. Beberapa orang memandang studi sosiologi dan antropologi sosial misalnya, sebagai alat pembebasan personal dari kekuatankekuatan sosial yang sebelumnya mengekang mereka.
Dan berkenaan dengan hal ini, ilmuilmu sosial turut mengambil bagian dari pembongkaran atas berbagai mistifikasi dan penghancur mitemite serta universitas kemudian menjadi rumah pembantaian bagi pelbagai kebodohan. Sedangkan yang lain, mereka melihat ilmuilmu sosial terbatas sebagai kesadaran realitas yang mendasari struktur sosial. Karena partisipasi merupakan kewajiban pada taraf yang luas, hal ini juga jika kita memiliki beberapa informasi yang terpercaya tentang bagian kita secara tepat. Oleh karenanya, sosiologi dan studi tentang strukturstruktur sosial kontemporer pada khususnya dapat dilihat sebagai alat untuk mencapai tujuan kesadaran tentang realitas sosial, politik dan ekonomi yang lebih rasional. Dengan demikian, hal tersebut dapat diharapkan menjadi dasar yang lebih terpercaya atas berbagai kebijakan yang dibuat.
Selain itu juga ada pihakpihak yang melihat ilmuilmu tentang manusia dan masyarakat sebagai salah satu cara untuk memberikan wawasan terutama pada diri kita sendiri serta memperluas kesadaran subjektif kita dengan cara sedemikian rupa. Akibatnya, ritual masyarakat primitif yang tidak bisa dipahami atau bahkan berbagai tindakan irasional dari anggotaanggota masyarakat kita sendiri menjadi bisa dipahami dan dianggap sebagai bagian dari gambaran tentang pengalaman sosial kita sendiri yang penuh makna.
Dengan segala keunggulan ini, strukturalisme kelihatannya memiliki penawaran yang kuat dan cukup berharga bagi kita yang ingin mencari dan memahami pola baru dalam hubungan antara manusia dan masyarakat.
Namun tentu saja hal ini bukanlah gerakan pertama dalam ilmuilmu sosial yang menawarkan harapan semacam itu. Sebagaimana yang telah ditunjukkan sebelumnya, seluruh ilmuwan sosial dengan satu atau lain cara telah menawarkan sesuatu yang sama. Semuanya mengklaim telah memberikan paling tidak beberapa jenis wawasan yang baru ke dalam realitas sosial. Oleh karenanya jika kita benarbenar ingin memahami relasi antara strukturalisme dan LéviStrauss, maka lebih baik kita memfokuskan perhatian pada ketertarikan dan kontribusi keduanya terhadap ilmuilmu sosial pada umumnya dan teori sosiologi pada khususnya.
Kebanyakan orang yang membaca karyakaryanya segera menyatakan bahwa, dengan suatu cara atau cara lain, ia sedang mereduksi beberapa aspek budaya pada cara berpikir manusia. Tetapi sebagian kecil orang menyadari tentang bagaimana ia melakukan hal ini, dan bagaimana gagasan semacam Alam sebagai sebuah penjelasan reduktif yang final masuk ke dalam sistem yang dibuatnya. Sebagian penulis yang lain telah mengarahkan banyak perhatian pada isu ini, tetapi hal ini akan menjadi tujuan penulisnya sebatas untuk menyingkapkan reduksionismenya LéviStrauss, dan memperlihatkan bahwa inilah, dalam faktanya, metafisika dan bentuk asal yang kurang lebih tidak bisa dipahami dibanding banyaknya yang muncul untuk dicurigai. Akhirnya, buku ini berusaha untuk menunjukkan bahwa strukturalismenya LéviStrauss hanyalah satu versi psikoanalisis baru yang menolak tubuhnya, dan dalam kasus ini melengkapi ideide Freud dalam berbagai perangkap cybernetika.
Dalam menilai signifikansi LéviStrauss bagi sosiologi secara keseluruhan dan kontribusinya bagi kesulitankesulitan teoretis dan metodologis, maka merupakan ide yang bagus jika kita melihat kembali sesaat sejarah pemikiran sosiologi sehingga dapat dilihat bagaimana ia memiliki kesesuaian dengannya.
Periode pertama pemikiran sosiologis, yang berjalan kira-kira pada permulaan abad ke19 sampai akhir kuartal ketiga bisa disebut sebagai Zaman Para Nabi. Zaman ini didominasi oleh figur-figur kenabian seperti St. Simon, Auguste Comte dan Karl Marx.
Masing-masing figur ini adalah figur yang kesepian kecuali dalam kehidupan intelektual pada zamannya. Masingmasing hidup kurang lebih dalam kehidupan yang sulit dan berbahaya, yang hanya memberikan sedikit atau bahkan tidak memberikan apapun jalan materi atau setiap jenis keuntungan lain dari karyakaryanya. Masing-masing memprotes keadaan masyarakat masa kini dan masa depan dengan nada retoris dan seringkali seperti wahyu. Marx, dengan kepala patriarkhalnya, pandangan Yahudi dan penampilan yang tidak rapi, muncul dan paling mendekati dengan prototipe Perjanjian Lama; tetapi Comte dan St. Simon samasama dipandang sebagai para nabi ilmu baru dan tatanan sosial baru. Sesungguhnya, gereja yang didirikan kedua orang ini tampaknya memberikan kualifikasi kepada keduanya untuk menyandang gelar “Nabi Sosiologi” dengan keadilan yang agung.
Buku yang diterjemahkan oleh Robby Habiba Abror ini sangat penting bagi kita untuk mengenal lebih dalam pemikiran Levi Strauss yang sangat memukau ini, khususnya di ranah antropologi budaya. [*]

*) Nanum Sofia, peresensi tinggal di Yogyakarta.

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar