Judul: Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop
dalam Masyarakat
Komoditas Indonesia
Penyunting: Idi Subandi Ibrahim Edisi Kedua, Tahun 2005(?) Penerbit: Jalasutra Yogyakarta Tebal: xlvii + 397 halaman |
Idi
Subandi Ibrahim pernah menyunting sebuah kumpulan tulisan tentang kebudayaan
massa di Indonesia yang diberi judul Ecstasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam
Masyarakat Komoditas Indonesia (Mizan, Bandung, 1997) sembari menanyakan
keberadaan moralitas di dalamnya. Terlepas dari apapun moralitas yang dipertanyakan
dalam produk-produk kebudayaan massa, dalam Lubang Hitam Kebudayaan (Kanisius,
Yogyakarta, 2002) hasil penelitian Hikmat Budiman, generasi yang lahir dan
tumbuh di dalam kebudayaan tersebut di Indonesia ini justru telah berperan
penting menjatuhkan Suharto dari kekuasaannya pada tahun 1998. Generasi itu,
dengan mengutip istilah Bre Redana, seorang wartawan Kompas, olehnya disebut
sebagai “Generasi MTV.”
Penerbit
Jalasutra akhirnya menerbitkan kembali kumpulan tulisan tersebut. Ada 24
tulisan di dalamnya ditambah semacam “Kata Pengantar” oleh penyunting. Beberapa
kontributor antara lain—dapat disebutkan di sini—Ariel Heryanto, Ashadi
Siregar, Bre Redana, Clifford Geertz, Danarto, Darmanto Jatman, Jalaluddin
Rahmat, Keith Foulcher, Kuntowijoyo, Marwah Daud Ibrahim, Masri Singarimbun,
Sapardi Djoko Damono, Sarlito Wirawan Sarwono, Umar Kayam, dan Yasraf Amir
Piliang. Kesemuanya itu dibagi dalam empat bagian, yakni “Budaya Massa atau
Budaya Pop: Sebuah Pendahuluan,” “Budaya Media dan Budaya Citra,” “Budaya
Simbolik dan Komodifikasi Gaya Hidup,” dan “Hegemoni Kesadaran dan Industri
Budaya Kapitalisme.”
Mengenai
“kebudayaan massa”, ini adalah istilah kita untuk mass culture. Istilah Inggris
ini konon berasal dari bahasa Jerman Masse dan Kultur. Sebenarnya istilah
“kebudayaan massa” sendiri merupakan istilah yang mengandung nada mengejek atau
merendahkan. Istilah ini merupakan pasangan dari high culture, “kebudayaan
elite” atau “kebudayaan tinggi.”
Biasanya,
istilah “kebudayaan tinggi” diacukan tidak hanya ke berbagai jenis kesenian
produk simbolik yang menjadi pilihan kaum elit terpelajar dalam masyarakat
Barat, tetapi juga ke segala sesuatu yang ada kaitannya dalam pikiran dan
perasaan mereka yang memilih jenis kesenian dan produk simbolik tersebut. Sebaliknya,
“mass” atau “masse” mengacu ke mayoritas masyarakat Eropa yang tak-terpelajar
dan non-aristokratik, terutama sekali masyarakat yang sekarang ini biasa kita
sebut sebagai kelas menengah bawah, kelas pekerja, dan kaum miskin. Dengan
demikian, jika “kebudayaan tinggi” dikaitkan dengan mereka yang “berbudaya”,
yang elit dan terpelajar, maka istilah “kebudayaan massa” dianggap milik
mayoritas masyarakat tak berbudaya dan tak-terpelajar.
Dalam
sosiologi, istilah “massa” mengandung pengertian kelompok manusia yang tak bisa
dipilah-pilah, bahkan semacam kerumunan (crowd) yang bersifat sementara dan
dapat dikatakan: segera mati. Dalam kelompok manusia yang seperti ini,
identitas seseorang biasanya tenggelam. Masing-masing akan mudah sekali meniru
tingkah laku orang-orang lain yang “sekerumunan.” Puncak dari tingkah laku
mereka akan dilalui, katakanlah maksudnya selesai, apabila secara fisik mereka
sudah lelah dan tujuan bersamanya tercapai.
Begitu
pula halnya dengan kebudayaan. Kebudayaan massa lebih kurang menunjuk pada
berbagai produk dan praktek-praktek kultural yang melibatkan sekumpulan besar
orang tanpa organisasi sosial, adat, tradisi, struktur peran dan status, tidak
memiliki kompetensi dalam menilai kualitas suatu produk budaya, dan
juga...berselera dangkal! Bagi mereka yang “terjerat” di dalamnya,
produk-produk dari kebudayaan massa adalah komoditas yang semata-mata ditujukan
untuk konsumsi, (dan celakanya) tanpa mereka sendiri memiliki kesanggupan untuk
menolaknya—meskipun umur produk-produk itu relatif sementara.
Bagaimana
kita dapat mengenali produk-produk dan/atau praktek-prakteknya? Untuk
mengenalinya, menurut Kuntowijoyo dalam tulisannya (“Budaya Elite dan Budaya
Massa”), kita dapat lihat dari ciri-ciri yang selalu menyertainya. Sebab
kebudayaan massa adalah akibat dari massifikasi. Adapun massifikasi sendiri,
terjadi bila orang kebanyakan memakai simbol lapisan atas melalui proses
industrialisasi dan komersialisasi dalam sektor budaya, sekalipun
industrialisasi dan komersialisasi tidak selalu berarti negatif bagi budaya.
Ciri
pertama adalah objektivasi; artinya, pemilik hanya menjadi objek, yaitu
penderita yang tidak mempunyai peran apa-apa dalam pembentukan simbol budaya.
Ia hanya menerima produk budaya sebagai barang jadi yang tidak boleh berperan
dalam bentuk apapun. Ciri kedua adalah alienasi; artinya pemilik budaya massa
akan terasing dari dan dalam kenyataan hidup. Dengan demikian ia juga
kehilangan dirinya sendiri dan larut dalam kenyataan yang ditawarkan produk
budaya. Dan ciri ketiga (ciri terakhir) adalah pembodohan, yang terjadi karena
waktu terbuang tanpa mendapatkan pengalaman baru yang dapat dipetik sebagai
pelajaran hidup yang berguna jika ia mengalami hal serupa.
Senada
dengan itu, Sapardi Djoko Damono dalam tulisannya (“Kebudayaan Massa dalam
Kebudayaan Indonesia: Sebuah Catatan Kecil”) mengatakan bahwa, pada hakikatnya
yang kita risaukan adalah kebudayaan massa ini yang, sebagai akibat dari
semakin berkembangnya komunikasi, memang tak dapat dihindari. Menurutnya, ada
beberapa hal yang menyebabkan kerisauan kita itu: (1) kebudayaan massa
diproduksi secara besar-besaran berdasarkan perhitungan dagang belaka, (2)
kebudayaan massa itu merusak kebudayaan tinggi dengan cara meminjam atau
mencuri atau memperalatnya, (3) kebudayaan massa menanamkan pengaruh yang
sangat buruk terhadap khalayak, dan (4) penyebarluasan kebudayaan massa
dianggap tidak hanya memerosotkan atau mengurangi nilai kebudayaan (tinggi) itu
sendiri tapi juga menciptakan khalayak yang pasif yang sangat tanggap terhadap berbagai
teknik godaan dan bujukan, sehingga membuat peluang bagi munculnya
totalitarianisme.
Lantas,
bagaimana kita mengenali produk-produk kebudayaan tinggi? Dalam kebudayaan
tinggi, pemiliknya (1) tetap menjadi pelaku (subjek budaya); (2) tidak
mengalami alienasi, dan jati dirinya tetap; serta (3) akan mengalami
pencerdasan.
Bahwa
pemiliknya menjadi pelaku, artinya menjadi orang yang utuh, yang identitasnya
tidak tenggelam dalam budaya. Ia tetap menjadi dirinya sendiri dan ia pun
berhak penuh untuk menafsirkan apa yang dialaminya. Ia tidak larut dalam
objeknya, tetapi tetap menjadi subjek. Akibatnya, pemilik sekaligus pelakunya
tidak mengalami alienasi. Ia akan merasa akrab dengan kehidupan, sebab
disuguhkan realitas tanpa polesan. Karena menjadi pelaku yang utuh dan tak
teralienasi, maka ia akan mengalami pencerdasan. Ia pun akan mendapatkan
kebijaksanaan dan menjadi lebih pandai dari sebelumnya.
Sayangnya,
menurut Ashadi Siregar, istilah kebudayaan massa sering disaling-pertukarkan
dengan kebudayaan pop(uler), termasuk oleh penyunting buku ini. Sebab,
berdasarkan pandangan MacDonald yang dikutip Hikmat Budiman dalam Lubang Hitam
Kebudayaan (hal.114) tadi, keduanya memiliki perbedaan yang sering tak disadari
oleh banyak orang. Pembeda paling penting di antara keduanya tidak terutama
terletak pada jumlah khalayak yang menerimanya, melainkan lebih pada motif di
belakang produksi yang menghasilkan dua jenis produk budaya tersebut. Budaya
massa jelas budaya yang semata-mata dan secara langsung merupakan objek untuk
konsumsi massa, sedangkan budaya populer tak melulu hanya dikonsumsi massa tapi
juga sering dikonsumsi oleh kalangan elit-terpelajar.
Sebagai
sebuah kumpulan tulisan, buku ini merupakan pengantar-memadai untuk mengenal
kebudayaan massa berikut contoh-contohnya yang berkembang di Indonesia ini.
Menariknya, contoh-contoh tersebut diberikan sekaligus dianalisis oleh para
ahli di bidangnya. Misalnya, Clifford Geertz yang mengambil contoh “kesenian
populer” dalam tradisi Jawa; Kuntowijoyo yang mengambil contoh pergeseran
sensibilitas pers masa Orde Baru; Umar Kayam yang menggambarkan secara ringkas
perkembangan kebudayaan massa dalam film, musik, seni pertunjukan, dan sastra;
Marwah Daud Ibrahim, Danarto, Krishna Sen, dan Saraswati Sunindyo yang membahas
citra wanita dalam berbagai media; atau Ashadi Siregar, Sarlito W. Sarwono dan
Jalaluddin Rahmat yang mengangkat contoh gaya hidup anak muda sekarang ini; dan
tak ketinggalan adalah Bre Redana serta Yasraf Amir Piliang yang membahas gaya
hidup konsumerisme berikut motif di belakangnya. [*]
--Rimbun
Natamarga
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar