Judul buku: Madilog:
Materialisme, Dialektika, dan Logika
Penulis: Tan Malaka
Penerbit : Narasi,
Yogyakarta
Terbit : pertama, 2010
Tebal : 568
halaman
Peresensi: Ahmad
Khotim Muzakka
|
Jika mau mencermati ketokohan seseorang, barangkali
tak cukup hanya bersandar pada catatan semacam biografi ataupun autobiografi
tokoh tersebut. Jauh lebih penting adalah menyelami lautan corak pikir dan
karya yang telah disepuhnya sebagai buah dari idealisme. Karena dengan begitu,
pembaca mampu memerkirakan dan memetakan ke arah mana ia akan berlabuh.
Berpijak pada kerangka seperti itulah,
seharusnya pembaca menilai penerbitan (kembali) karya monumental Tan Malaka
ini. Madilog, dengan demikian, merupakan proses kajian Tan Malaka yang tak
habis dibaca. Ia akan terus menjuntai. Ia akan menghantui pikiran pembaca.
Uraiannya yang demikian detil dan bercabang-cabang, setidaknya membikin pembaca
“ngos-ngosan”. Oleh karena itu, harus disertai bekal pengalaman pembacaan yang
cukup agar tiap istilah yang dipapar tidak menguar tanpa pemahaman yang
mengena.
Dalam buku ini, Tan Malaka mempersoalkan
sengkarut materialisme, dialektika, dan logika dengan nalar yang begitu
mencengangkan. Saya membayangkan, horizon pengetahuan yang direngkuhnya
melampaui dimensi orang-orang biasa. Bisa dikatakan isi otaknya berkali-kali
lipat dengan otak orang biasa. Dengan begitu bisa disimpulkan, sejarah baca Tan
Malaka pun merentang dari ujung hingga ke ujung.
Dalam bahasan dialektika (BabV), Tan Malaka
menyoal ilmu berfikir. Sekarang ini, pada zaman Tan, sudah saat merekonstruksi
gaya berlogika. Bahwa jawaban dari setiap pertanyaan tidak lagi cukup dijawab
dengan ya dan/atau tidak. Melainkan harus melalui sekian asumsi dan prediksi.
Dia mencontohkan pertanyaan apakah Thomas Edison bodoh atau pandai, tak
tercukupkan dijawab dengan jawaban ya atau tidak begitu saja.
Alkisah, ketika berumur 6 tahun, Edison diusir
oleh gurunya karena dianggap bodoh. Tapi, sekarang seluruh dunia mengakui
betapa klaim yang dilontarkan guru tersebut adalah salah kaprah. Apa yang
terjadi? Melihat ini, Tan Malaka mengurai waktu lah yang berperan dalam sekian
proses. Waktu telah mengubah Edison yang semula goblok menjadi cerdik-cendekia.
Dalam memproblematisasikan hal ini, Tan Malaka
menulis, “Kita diajari di sekolah menengah, bahwa “titik” kalau ditarik terus
akan menjadi garis dan garis ditarik terus akan menjadi bidang dan bidang yang
ditarik terus akan menjadi badan. Semua pekerjaan ini memakai waktu, hal 146”.
Dengan begitu, jelas lah sudah bahwa untuk mencapai suatu kemaksimalan yang
dibutuhkan tak lain adalah elemen yang dibentuk dan sekaligus membentuk waktu;
proses, kesungguhan, pendalaman, pengalaman, dan penngamalan.
Dari pemaparannya yang kompleks itu, terlihat
antusiasme Tan Malaka dalam abdi penyadaran cara berpikir manusia (Indonesia).
Meskipun, rujukan yang kerap disebut adalah buku-buku karangan bangsa Barat.
Meliputi Hegel, Plato, Aristoteles, Marx, Engels, Feuerbach, dan lain
sebagainya. Namun, adat ketimuran Tan Malaka tetap saja terbaca. Sebagai suatu
karya, ini merupakan perangkat berpikir dan berkontemplasi.
Sebagaimana diakuinya sendiri, Tan Malaka
menolak metode belajar mengahapal, hal 24. Kendati semasa kecilnya pernah
melampaui aktifitas semacam itu. Baginya, kebiasaan itu tidak menambah
kecerdasan. Sebaliknya menjadikan bodoh, mekanis, layaknya mesin. Menyoal
hal-ihwal mesin, kecakapannya dibawa pada pemahaman Mahatma Gandhi yang
menyatakan bahwa mesin itu setan. Dan kota di mana terkumpul mesin, ditasbihkan
sebagai neraka, hal 96.
Dalam pembacaan saya, ia bukan penyuka istilah
yang panjang dan bertele-tele. Pembaca pun akan menjumpai pemaknaan tentang
hidup yang terlihat biasa bagi Tan. Defenisi hidup ia artikan sebagai suatu
yang sangat simple. Dalam pengertiannya hidup ia benturkan dengan sifat
negatif. Ia mengartikannya dengan: bukan mati. Berbeda jauh dengan uraian yang
didapatkan dari Encyclopedia Eritanica, hal 370. Namun dalam hal ini, Tan
serasa mengingkari apa yang dijabarkan terlebih dahulu mengenai result, hal 80.
Bukankah dengan memberikan uraian cukup panjang segala sesuatu akan terasa
prosesnya?
Rangkaian dialektika, logika, dan materialisme
yang dijabarkan Tan Malaka diuji saat menilik kasus memaknai ketimuran, hal
296. Baginya, (adat) ketimuran adalah segala hal yang berhubungan dengan
mistika, kegaiban, dari manapun juga datangnya.
Pembaca bakal terbata-bata, menerjemahkan bahasa
ungkap Tan Malaka yang “lampau”. Dan itu, barangkali, adalah sisi kelemahan
proyek cetak ulang buku ini. Meskipun, hal itu bisa dipahami sebagai upaya
menjaga orisinilitas sebuah karya. Ini jadi hal yang dilematis. Di satu isi
hendak menghadirkan ulang gagasan kompleks Tan Malaka.Namun di sisi lain
ditekan dengan idealisme bernama orisinilitas.
Nah, dengan membaca Madilog ini, bisa jadi
pembaca tengah mengamalkan apa yang dijabarkan Tan Malaka mengenai geometri
(hal 82). Pembacaan mengenai itu, akan memahamkan pembaca pada tataran yang
lebih prinsipil. Meliputi pengetahuan terhadap sifat badan, muka garis, dan
titik. Semua elemen itu bisa dijumpai dan dierenungi ketika apa yang dipaparkan
Tan Malaka usai kita rasakan dan rayakan sebagai suatu metode berpikir.
Demikian. [*]
Dimuat
di harian Kompas, 1 Oktober 2010
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar