Judul : Mencungkil Sumbatan Toleransi
Penyusun : Tim Impuls Yogyakarta
Penerbit : Kanisius dan Impuls
Yogyakarta
Tahun : I, November 2010
Tebal : viii + 231 halaman
Peresensi: M Abdullah Badri
|
Beberapa waktu lalu, wajah keberagamaan
kita tercoreng kembali setelah jemaah Ahmadiyah di Pendeglang, Banten menjadi
sasaran kekerasan orangorang yang berbeda keyakinan. Tiga orang jemaah tewas,
puluhan lainnya luka-luka, dan banyak bangunan rusak parah akibat amukan ribuan
massa. Sungguh, kekerasan tak pernah berujung solusi.
Mahatma Gandhi dengan Ahimsanya telah
membuktikan, melawan dengan kekerasan tidak pernah berujung perdamaian. Buku
Mencungkil Sumbatan Toleransi ini memiliki kontribusi besar dalam pemetaan
kehidupan beragama yang santun, harmonis dan bermartabat. Kekerasan yang
mengatasnamakan agama tak pernah lahir sebagai perintah dari langit. Ia muncul
karena orang yang memeluk agama dikepung oleh kata benci terhadap kelompok
lain, kepentingan mendominasi dan paham teologis yang sempit tafsir.
Itulah yang menyumbat indahnya sikap
beragama dengan toleransi. Ada tiga pola dimensi beragama yang dalam buku ini
disebut memengaruhi sikap keagamaan seseorang. Pertama, supernatural dan
transendental. Pola ini adalah pola hubungan intim pemeluk agama dengan
kekuatan suprastruktur di luar dirinya seperti meyakini sifat-sifat imajiner
Tuhan, menginspirasi para Nabi, dan meneladani tokoh-tokoh spiritual yang
dianggap berpengaruh terhadap kehidupannya.
Kedua, pola komunikasi internal.
Pemeluk agama secara psikologis membangun keyakinan primordialnya dengan sesama
yang memiliki keyakinan tak berbeda. Pola ini ada dalam dimensi relasional
antar pemeluk agama. Mereka saling meyakinkan, meneguhkan keimanan dan praktik
kesalehan. Pola ini tak memantik ketegangan, bahkan menumbuhkan kesejukan.
Ketiga, pola komunikasi eksternal. Orang akan mudah bersikap represif karena
bertemu dengan kelompok lain yang berbeda identitas dan keyakinan.
Dimensi ini sarat konfl ik dan ketegangan. Apalagi kepercayaan orang
lain itu dianggap sebagai benalu keyakinannya. Dalam tiga aras dimensi beragama
itulah, toleransi tersumbat. Satu tawaran dari buku ini untuk keluar dari
tersumbatnya kehidupan beragama yang intoleran itu adalah dengan
mengintegrasikan ketiga dimensi itu dalam satu terminologi: teologi pluralisme.
Fanatisme beragama timbul karena selain
latar belakang sosial, politik, ekonomi dan budaya, juga disebabkan oleh
runtuhnya sikap saling menghargai. Dalam pluralisme teologis, keintiman
berkomunikasi dengan Tuhan itu sinergis dengan keintiman komunikasi dengan
sesama umat beragama (internal) dan antarumat beragama (eksternal).
Pluralisme seperti tersirat dalam buku
ini adalah sebuah kesadaran teologis yang menganggap sah setiap keyakinan kita,
namun tetap ada kemungkinan mengandung kesalahan. Sebaliknya, keyakinan orang
lain mungkin saja sah dianggap salah, tetapi ada kemungkinan terkandung
kebenaran. Sesuatu yang dipegang bukan sah dan benar, melainkan Tuhan.
Menyembah Tuhan adalah laku pluralisme. Pluralisme bukan “menyembah” fanatisme
kebenaran. [*]
*)
Peresensi M Abdullah Badri, peneliti di Idea Studies Fakultas Ushuluddin IAIN
Walisongo Semarang.
Dimuat
di Koran Jakarta, 11 Februari 2011
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar